Jumat (H)
- 1Kor. 9:16-19,22b-27
- Mzm. 84:3,4,5-6,12
- Luk. 6:39-42
Lectio
39 Yesus mengatakan pula suatu perumpamaan kepada mereka: “Dapatkah orang buta menuntun orang buta? Bukankah keduanya akan jatuh ke dalam lobang? 40 Seorang murid tidak lebih dari pada gurunya, tetapi barangsiapa yang telah tamat pelajarannya akan sama dengan gurunya.
41 Mengapakah engkau melihat selumbar di dalam mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu sendiri tidak engkau ketahui? 42 Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Saudara, biarlah aku mengeluarkan selumbar yang ada di dalam matamu, padahal balok yang di dalam matamu tidak engkau lihat?
Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu.”
Meditatio-Exegese
Yesus mengatakan pula suatu perumpamaan
Perumpamaan ini ditujukan pada setiap pembaca Injil Lukas yang hendak menuntun orang lain berjumpa dengan Yesus. Ia harus mengenal betul dirinya sendiri dan mengenal Yesus. Jika tidak, dengan nada humor Yesus menyindir (Luk 6:39), “Dapatkah orang buta menuntun orang buta? Bukankah keduanya akan jatuh ke dalam lobang?”, Numquid potest caecus caecum ducere? Nonne ambo in foveam cadent?
Setiap orang yang hendak menuntun orang lain berjumpa dengan Yesus harus bersedia untuk menjadi murid-Nya. Yesus tidak mengajarkan seperangkat ajaran indah dan tersusun rapi serta sistematis.
Sebagai Guru dan Tuhan (Yoh 13:13), Yesus mengajak para murid mengenal diri-Nya, kesaksian-Nya, dan cara hidup-Nya.
Mengenal Yesus sebagai Guru dan Tuhan mencakup 3 aspek:
- Sang Guru adalah model atau teladan untuk ditiru (bdk. Yoh 13: 13-15);
- Si murid tidak hanya merenungkan dan meniru-Nya, tetapi ikut ambil bagian dalam panggilan Sang Guru, dalam pencobaan-Nya ( Luk 22: 28); penyiksaan yang dialami-Nya (Mat. 10: 24-25); kematian-Nya (Yoh 11: 16); dan, akhirnya, ikut serta dibangkitan bersama-Nya (1 Kor 6:14; 2 Kor 4:14); dan
- Sang murid tidak hanya meniru Sang Model, tetapi juga bertekad kuat untuk mengidentifikasikan diri dengan Yesus. Sehingga, seperti kesaksian Santo Paulus, “Aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku.” (Gal. 2: 20).
Engkau akan melihat dengan jelas
Orang yang tidak memiliki pandangan yang jernih disamakan dengan ‘munafik’. Kata Yunani υποκριτα, hypocrita, diterjemahkan dengan ‘munafik’.
Dalam PB, kata ini bermakna “pembenaran diri sendiri”, seperti kecaman Yesus pada orang Farisi dalam Mat 23.
Lukas, tabib terdidik dan terlatih, mengajak pembaca wartanya untuk memiliki penglihatan yang jernih dengan datang pada Yesus. Pada-Nya kita mohon dibebaskan dari perbudakan dosa, ketakutan dan penghukuman.
Langkah yang dilalui adalah berserah diri pada Sang Penyembuh, karena hanya Dialah yang mampu menyembuhkan seluruh hidup kita, jiwa dan raga, budi dan hati.
Dengan cara ini, kita bisa menjadi manusia baru yang mampu melihat kebaikan pada diri sesama dan menemukan Yesus di antara para saudara yang paling kecil dan hina. Dan, akhirnya, mampu mewartakan “Yesus, orang Nazaret, melalui sabda, tindakan dan seluruh pribadi-Nya, menyingkapkan belas kasih Allah” (Paus Fransiskus, dalam bulla Misericordiae Vultus, nomer 1).
Katekese
Melihat selumbar di mata orang lain. Santo Augustinus, Uskup Hippo, 354-430 :
“Kata munafik sangat tepat digunakan dalam perikop ini (Luk. 6:42; Mat. 7:5), karena mengecam kejahatan dipandang sangat tepat hanya bagi orang yang memiliki kehendak baik. Ketika orang berdosa melibatkan diri dalam usaha ini, mereka seperti pemain sandiwara, pemakai topeng, yang menyembunyikan jati dirinya di balik topeng; sementara mereka menilai watak orang lain melalui topeng yang dipakai menutupi wajahnya.
Kata munafik sejatinya bermakna ‘orang yang berpura-pura’. Maka kita secara khusus harus menghindari golongan orang yang suka berpura-pura dan mengendus-endus untuk meminta nasihat pada kita, padahal, sebenarnya, mereka sedang menimpakan segala yang jahat. Mereka sering digerakkan oleh kebencian dan kekejaman.
Terlebih, ketika situasi tertentu memaksa untuk mengecam atau mengutuk orang lain, kita harus bertindak seperti Tuhan: menimbang dan berjaga-jaga.
Pertama-tama, mari kita pertimbangkan apakah ada kesalahan lain seperti yang telah kita alami atau apakah kesalahan itu merupakan salah satu yang telah kita atasi.
Kemudian, jika kita tidak pernah mengalami kesalahan seperti itu, marilah kita ingat bahwa kita adalah manusia dan mungkin mengalaminya.
Tetapi jika kita telah mengalaminya dan menyingkirkannya sekarang, marilah kita mengingat kelemahan kita bersama, agar belas kasih, bukan kebencian, dapat menuntun kita untuk menolong sesama untuk memperbaiki diri dan menasihatinya.
Dengan cara ini, apakah peringatan tersebut mendorongnya memperbaiki diri atau justru menjadikannya lebih parah, karena dampak nasihat kita tidak dapat diperkirakan, kita diselamatkan dari cara pandang yang picik.
Tetapi, jika, ketika kita merenung, mendapati bahwa diri kita sendiri mengalami kesalahan yang sama dengan kesalahan dia yang hendak kita tegur, janganlah kita mengoreksi atau menegur orang itu.
Sebaliknya, mari kita meratapi kesalahan diri kita sendiri dan mengajak orang itu mawas diri atas kesalahan yang sama dengan kita, tanpa memintanya untuk melakukan nasihat kita” (dikutip dari Sermon on the Mount 2.19.64)
Oratio-Missio
- Ya Bapa, anugerahilah kami kerendahan hati, agar kami sadar akan kebodohan, mengakuli kesalahan, mengingat perbuatan kami, menyambut nasihat dan menanggung kecaman. Bantulah aku selalu untuk lebih mudah memuji dari pada mengecam, berbela rasa dari pada memadamkan semangat, membangun dari pada menghancurkan, dan mendoakan yang terbaik bagi sesama dari pada mengutuki mereka. Semua ini kami mohon demi keluhuran namaMu. Amim (doa dari William Barclay, abad ke-20, terjemahan bebas)
- Apa yang perlu aku lakukan agar Yesus hidup dalam diriku?
Hypocrita, eice primum trabem de oculo tuo et tunc perspicies, ut educas festucam, quae est in oculo fratris tui – Lucam 6:42