Minggu. Hari Minggu Biasa XXIV (H)
- Kel. 32:7-11,13-14
- Mzm. 51:3-4,12-13,17,19
- 1Tim. 1:12-17
- Luk. 15:1-32 (Luk. 15:1-10)
Lectio (Luk. 15:1-32; Luk. 15:1-10))
Meditatio-Exegese
Dan menyesallah TUHAN, karena malapetaka yang dirancangkan-Nya atas umat-Nya
Yang ada dalam hati Allah belas kasih dan kerahiman. Saat manusia bertobat dan berpaling kepada-Nya serta meninggalkan cara hidup yang bergelimang dosa, Ia menyambut dengan suka cita. Ia menyesal atas malapetaka yan dirancang-Nya.
Setelah menyepakati perjanjian dengan Allah, Perjanjian Sinai, Musa tinggal di puncak Gunung Sinai selama empat puluh hari. Di tinggal Musa pergi beberapa hari, orang-orang Israel mulai percaya bahwa Musa telah meninggal dunia.
Mereka memutuskan membuat patung lembu emas dan menyembahnya sebagai ilah atau pengganti Allah, seperti yang mereka lihat saat perbudakan di Mesir (Kel. 32:1-4). Memandang kelakuan umat yang menyimpang, Allah meminta Musa turun gunung dan menemui umat yang berdosa itu.
Penulis suci dengan nada getir bermain kata-kata, tidak lagi menggunakan ungkapan bangsa-Ku (kepunyaan Allah), tetapi bangsamu (kepunyaan Musa). Bangsa yang dituntun keluar dari Mesir sudah tidak memiliki kehormatan lagi, seperti diungkapkan dalam kata bangsa ini (Kej. 32:9).
Peristiwa penyembahan berhala, patung lembu emas, menjadi pelanggaran atas perintah pertama dan kedua dari Sepuluh Perintah-Nya (Kel. 20:3-7). Pelanggaran ini, sekaligus, mengawali keretakan hubungan antara Allah dan umat Israel.
Keretakan itu dilambangkan dengan pematahan kuk dan pelepasan tali yang mengikat lembu pada kuk. Lembu menjadi liar, tidak mau tunduk pada perintah atau bimbingan Sang Pemilik. Kecenderungan hatinya hanya melakukan kejahatan, seperti kisah manusia zaman kuna (Kej. 6:5).
Maka bangsa itu menjadi liar seperti hewan di belantara (bdk. Yes. 50:6; 53:6; Yer. 5:5d-6; 8:6b-7; 23:1-2; Yeh. 19:1-9). Perintah untuk tidak membuat dan menyembah berhala diulangi terus menerus setelah Allah mengampuni bangsa Israel (bdk. Im. 19:4; Ul. 5:8; 27:15).
Tetapi, setelah mereka dibebaskan dan dibawa keluar dari Mesir, bangsa itu masih terus-menerus mengingat Mesir dan ingin kembali ke sana. Mereka lebih suka hidup dijajah, dibelenggu dan disiksa dari pada hidup merdeka dan taat pada Allah (Kel. 14:12; 16:3; Kis. 7:39-43).
Penciptaan berhala lembu emas dan keputusan untuk menyembah dan beribadat padanya merupakan dosa berat yang membawa maut.
Gereja mengajarkan, “Dosa berat menuntut pengertian penuh dan persetujuan penuh. Ia mengandaikan pengetahuan mengenai kedosaan dari suatu perbuatan, mengenai kenyataan bahwa ia bertentangan dengan hukum Allah.
Dosa berat juga mencakup persetujuan yang dipertimbangkan secukupnya, supaya menjadi keputusan kehendak secara pribadi. Ketidaktahuan yang disebabkan oleh kesalahan dan ketegaran hati (bdk. Mrk. 3:5-6; Luk. 16:19-31) tidak mengurangi kesukarelaan dosa, tetapi meningkatkannya.” (Katekismus Gereja Katolik, 1859).
Ketidak-setiaan pada Perjanjian Sinai tetap menjadi penghalang relasi Allah dengan umatNya hingga kedatangan Mesias-Sang Juruselamat (Kel. 33:3; Yer. 31:31-34).
Saat Allah menjatuhkan hukukan atas dosa penyembahan berhala, Allah memberitahu Musa keputusan-Nya untuk membinasakan bangsa itu dan berjanji akan membuat bangsa yang besar melalui keturunan Musa (Kel. 32:10).
Ungkapan Allah bangsa yang besar mengingatkan akan janji-Nya yang diucapkan pada para bapa bangsa (Kej. 12:2: 18:18; 46:3).
Segera setelah Allah menjatuhkan hukuman, hati-Nya menyesal. Ia menyesal bukan atas kesalahan yang dilakukan. Ia menyesal karena penolakan bangsa yang tegar tengkuk atas belas kasih dan keselamatan yang ditawarkan-Nya.
Penyesalan yang sama dijumpai ketika Ia memutuskan untuk membinasakan semua manusia, hewan, dan burung. Tetapi, di masa lalu, melalui Nuh, Allah selalu mencari cara untuk menyelamatkan umat (Kej. 6:9-22). Di masa ini, melalui keturunan Musa.
Sabda-Nya (Kel 32:14), “Dan menyesallah TUHAN karena malapetaka yang dirancangkan-Nya atas umat-Nya.”, Placatusque est Dominus, ne faceret malum, quod locutus fuerat adversus populum suum.
Pemungut cukai, orang berdosa dan orang Farisi, ahli Taurat
SantoLukas melukiskan dua kelompok pendengar Yesus: pemungut cukai-pendosa dan orang Farisi-ahli Taurat. Para pemungut cukai dan orang-orang berdosa menjumpai Yesus dan mendengarkan pengajaran-Nya. Sedangkan kaum Farisi-ahli Kitab bersungut-sungut, mengecam, bahkan, hendak membunuh-Nya.
Melalui tiga perumpamaan: domba yang hilang, dirham yang hilang dan bapa yang berbelas kasih, Santo Lukas menyingkapkan belas kasih Allah.
Santo Ambrosius menulis, “Santo Lukas tidak sembarangan menyajikan tiga perumpamaan berturut-turut … Belas kasih yang berasal dari Allah selalu sama, tetapi rahmat berbeda seturut dengan perbuatan kita.
Domba yang lelah diingat oleh sang gembala; uang logam yang hilang ditemukan; anak yang melangkahkan kaki dan pulang ke rumah bapa, merasa diri penuh dosa dan salah, benar-benar bertobat.” (Exposition of the Gospel of Luke, 7.208).
Santo Paus Yohanes Paulus II mengajarkan, “Penulis Injil yang secara khusus memberi perhatian pada tema- tema seperti itu dalam pengajaran Kristus adalah Lukas, yang Injilnya layak disebut sebagai “Injil Belas Kasih.” (Ensiklik Dives In Misericordia, 3).
Santo Paulus menyingkapkan, Yesus menampakkan wajah “Allah yang kaya akan belas kasih” (Ef 2:4, vulgata), Deus autem qui dives est in misericordia.
Kehilangan satu di antaranya
Sebenarnya, mengabaikan seekor domba dan sedirham tidak menjadi masalah besar bagi si gembala dan perempuan itu. Mereka masih memiliki sembilan puluh sembilan ekor domba dan sembilan keping dirham. Tetapi, memperhatikan permainan kata: 99 dan 9, Santo Lukas menyingkapkan bahwa Allah menghendaki keutuhan: 100 dan 10.
Ketika mendapati seekor domba hilang, si gembala segera meninggalkan yang 99 tetap dalam kawanan. Ia tidak khawatir, karena dalam kawanan domba-domba itu akan aman. Sedangkan yang tersesat, pasti, akan panik, tertekan dan ketakutan.
Sang gembala terus berusaha mencari ke setiap jengkal padang gembalaan dan gurun sampai domba yang hilang itu ditemukan. Ia khawatir karena domba itu (Mzm. 49:15), “Seperti meluncur ke dalam dunia orang mati, digembalakan oleh maut.”, Sicut oves in inferno positi sunt, mors depascet eos.
Perumpamaan tentang domba yang hilang menggunakan bahasa lambang yang digunakan para nabi Perjanjian Lama tentang hewan yang telah dijinakkan, misalnya: domba. Dan, Allah dilukiskan sebagai Gembala kawanan domba, yakni umat yang didirikan di atas perjanjian dengan-Nya.
Melalui Nabi Yehezkiel, Allah menjanjikan seorang gembala yang benar, “Dengan sesungguhnya Aku sendiri akan memperhatikan domba-domba-Ku dan akan mencarinya. Seperti seorang gembala mencari dombanya pada waktu domba itu tercerai dari kawanan dombanya,
begitulah Aku akan mencari domba-domba-Ku dan Aku akan menyelamatkan mereka dari segala tempat, ke mana mereka diserahkan pada hari berkabut dan hari kegelapan. Aku akan membawa mereka keluar dari tengah bangsa-bangsa dan mengumpulkan mereka dari negeri-negeri dan membawa mereka ke tanahnya.” (Yeh. 34:11-13a).
Sejak Nabi Yehezkiel, yang hidup pada abad ke-6 dan Raja Daud yang hidup di akhir abad ke-11 sebelum Masehi, para nabi menubuatkan kedatangan Sang Gembala yang baik. Dalam diri Yesus dari Nazaret dipenuhi nubuat sang nabi.
Yesus adalah Anak Daud dan Anak Allah, yang bersabda, “Aku sendirilah” yang akan pergi dan mengupulkan “domba-domba yang hilang dari umat Israel.” (Mat. 10:6). Dialah Gembala yang baik yang mempertaruhkan nyawa-Nya untuk domba-domba-Nya (Yoh. 10:11-16)
Sang perempuan itu, pasti, menyimpan 9 keping dirhamnya di tempat yang aman. Setelah itu menyalakan pelita dan menyapu rumah serta mencarinya dengan cermat sampai ia menemukan sekeping dirham yang hilang.
Allah, bagai gembala dan ibu rumah tangga, terus mencari sampai menemukan, karena satu yang hilang itu bernilai luhur bagiNya, bahkan melebihi kumpulan lain yang lebih besar. Cara pandang ini berbeda dengan cara pandang orang kebanyakan, seperti kaum Farisi dan ahli kitab, “Adalah lebih berguna jika satu orang mati untuk seluruh bangsa.” (Yoh. 18:14).
Santo Cyrilus, dari Alexandria, 376-444, menulis, “Perumpamaan kedua membandingkan apa yang hilang dengan sekeping dirham (Luk. 15:8-9). Sekeping dari sepuluh, jumlah yang lengkap dalam pembukuan. Angka sepuluh juga bermakna sempurna, karena menjadi penutup dari rangkaian angka terendah ke yang tinggi.
Perumpamaan ini dengan jelas menyingkapkan bahwa kita sepenuh-penuhnya secitra dan serupa dengan Allah, Raja semesta alam. Saya kira di permukaan mata uang drahma tercetak gambar raja. Kita, yang telah jatuh dan hilang, telah ditemukan kembali oleh Kristus dan diubah melalui kekudusan dan kebenaran-Nya sehingga kita serupa dengan-Nya…
Pencarian selalu dilakukan untuk apa yang jatuh dan hilang, sehingga perempuan itu menyalakan pelita. Dengan terang, apa yang hilang diselamatkan, dan pasti ada suka cita bagi kuasa-kuasa di surga. Mereka bersuka cita karena satu orang pendosa bertobat, karena ia yang tahu segala hal telah diajarkan kepada kita.
Mereka terus bersuka cita ata satu orang yang diselamatkan, dipersatukan karena dipersatukan dengan kehendak ilahi, dan tak pernah berhenti memuliakan kelembutan hati Sang Juruselamat. Suka cita besar macam apa yang memenuhi mereka ketika semua yang di bawah surga diselamatkan dan Kristus memanggil mereka karena iman untuk mempercayai kebenaran?
Mereka menghilangkan noda dosa dan membebaskan leher mereka dari belenggu kematian. Mereka telah bebas dari kesalahan atas peri hidup yang menyimpang dan jatuh dalam dosa! Kita memperoleh semua ini dalam Kristus.” (Commentary On Luke, Homily 106)
Kita patut bersukacita dan bergembira karena adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali
Melalui perumpamaan ini Santo Lukas menyingkapkan Allah sebagai Bapa yang berbelas kasih dan maharahim, dan lubuk hati-Nya penuh pengertian tanpa batas (bdk. Mat. 6:8; Rm. 8:15; 2Kor. 1:3).
Santo Paus Yohanes Paulus II menulis, “Walaupun kata “belas kasih” tidak muncul, perumpamaan itu mengungkapkan hakikat belas kasih ilahi dengan cara yang sangat jelas.” (Ensiklik Dives in Misericodia, 5).
Setelah menerima warisan yang menjadi bagiannya, si bungsu segera meninggalkan rumah. Ia memutuskan jalinan relasi mesra dengan bapaknya. Pergi ke negeri yang jauh dan hidup dalam kesia-siaan.
Santo Paus Yohanes Paulus II mengajar, “Dalam arti tertentu ia mewakili manusia di segala jaman, yaitu berawal dari orang pertama yang kehilangan warisan rahmat dan keadilan asali. Pada tahap ini, yang menerima bagian warisannya dari ayahnya kemudian meninggalkan rumah untuk menghambur-hamburkannya di negeri yang jauh sehingga “hidup dalam kesiasiaan,”.
Dalam arti tertentu mewakili manusia di segala zaman, yaitu berawal dengan orang pertama yang kehilangan warisan rahmat dan keadilan asali. Pada tahap ini kemiripan kisah itu sifatnya sangatlah luas. Perumpamaan itu secara tidak langsung menyentuh setiap pelanggaran atas perjanjian kasih, setiap hilangnya rahmat, setiap dosa.” (Ensiklik Dives in Misericordia, 5).
Pengalaman si bungsu akan kecemasan, kelaparan, dan kesepian merupakan akibat dari pemberontakan dan penghambaan dirinya pada dosa (Rm. 1:25; 6:6; Gal. 5:1). Ia telah kehilangan segala hak dan status sebagai anak yang dikasihi bapa.
Dan sekarang, ia menempatkan diri sendiri di bawah kuasa setan (Rm. 8:21; Gal. 4:31;5:13). Lambang seluruh penghambaan pada dosa adalah kesediaan untuk bekerja di tempat yang najis bagi orang Yahudi; bahkan ia menyamakan diri sebagai babi dengan cara makan makanan babi.
Mengalami situasi tanpa rahmat mendorong si bungsu untuk kembali pulang ke rumah. Rohlah yang selalu menuntun untuk sampai pada titik untuk mengambil keputusan kembali kepada Allah (Luk. 15:17). Allah terus mamanggil tiap manusia untuk kembali kepada-Nya.
Santo Agustinus, Uskup Hippo, 354-430, bersaksi, “Apakah kamu merasa diri layak menerima belas kasih Allah karena kamu berpaling padaNya? Jika kamu dipanggil Allah, apa yang telah kamu lakukan untuk kembali kepadaNya?
Bukankah Dia Yang memanggilmu ketika kamu menentangNya selalu membuka hatiNya agar kamu kembali pada-Nya? Jangan menanggap pertobatanmu sebagai hasil tindakanmu sendiri. Jika Ia tidak memanggil kamu ketika kamu melarikan diri dariNya, kamu tak akan mungkin kembali kepadaNya.” (Commentary on Psalm 84, 8).
Sikap hati sang bapa diungkapkan pada saat ia menyambut anak yang pergi dari jangkauan kasihnya. Katanya (Luk. 15:23-24), “Marilah kita makan dan bersukacita. Sebab anakku ini telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali.”, manducemus et epulemur, quia hic filius meus mortuus erat et revixit, perierat et inventus est.
Ia memotong kata-kata yang telah dilatih anaknya untuk mengakukan dosa dan salah, “Aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa…” (Luk. 15:19). Sang bapa pasti tahu apa yang bergejolak di hati si bungsu. Maka, ia segera memulihkan martabat anak yang baru saja pulang: jubah terbaik, anal lembu yang gemuk, sepatu dan cincin.
Paus Fransiskus mengajar, “Yesus tidak melukiskan sang bapak yang merasa terluka dan marah, misalnya, dengan berkata pada anaknya, “kamu harus mengganti semua ini”. Sebaliknya, ia memeluk anaknya yang nakal, menantinya dengan penuh kasih.
Satu-satunya yang ada dalam hatinya adalah anak bungsu itu tiba di rumah sehat dan selamat. Inilah yang membuatnya bahagia dan merayakan kebahagiaannya. Penerimaan atas anak yang nakal dilukiskan dengan nada yang menyentuh hati.
“Ketika ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ayahnya itu berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia.” (Luk 15:20).” (Audiensi Umum, Lapangan Santo Petrus, Rabu, 11 Mei 2016).
Selanjutnya, Bapa Suci mengajarkan, “Belas kasih bapa selalu meluap-luap, tanpa syarat dan selalu membuncah bahkan sebelum anak itu bicara. Pasti, anak itu tahu ia telah tersesat dan mengakui jalannya yang serong, “Bapa, aku telah berdosa terhadap surga dan terhadap bapa … jadikanlah aku sebagai salah seorang upahan bapa.” (Luk. 15:18-19).
Kata-kata ini lenyap di hadapan pengampunan bapa. Pelukan dan ciuman bapa membuatnya paham bahwa ia selalu dianggap sebagai anak, apapun yang terjadi.
Ajaran Yesus ini sangat penting: manusia diangkat sebagai anak-anak Allah disebabkan oleh buah kasih yang selalu berkobar di hati Bapa; bukan bergantung pada jasa atau tindakannya. Maka, tak seorang pun dapat merampasnya, bahkan kejahatan sekalipun. Tak seorang pun dapat melenyapkan martabat ini”.
Pengalaman batin si sulung sangat berbeda dengan apa yang dialami adiknya. Walau ia tinggal serumah dengan bapanya hampir sepanjang hari, ia gagal menyelami lubuk hati bapanya. Belas kasih bapanya ditanggapi dingin. Hatinya membeku dan kaku.
Terlebih di hadapan bapanya, ia tidak menempatkan diri sebagai anak, tetapi sebagai budak belian yang bekerja bagi tuannya. Santo Lukas menggunakan kata δουλευω, douleuo, saya bekerja seperti budak (Luk. 15:29).
Sedang terjemahan TB: aku melayani. Sikap batin yang dikembangkan bukanlah sikap batin yang berbelas kasih. Tanggapan yang tersamar sepanjang waktu menjadi nyata saat kedatangan adiknya, si bungsu, yang nakal itu.
Si sulung memerlukan belas kasih dan pengampunan juga. Cara pikir, cara tindak dan cara merasa si sulung mencerminkan watak masing-masing jemaat juga. Saat ragu akan seluruh usaha keras, sering muncul pertanyaan: mengapa jerih payahku tidak menghasilkan apa-apa.
Yesus mengingatkan bahwa siapa pun juga yang tinggal di rumah Bapa harus tidak mengharapkan ganjaran sama sekali. Setiap orang memiliki martabat sebagai anak dengan cara berbagi tanggung jawab.
Tidak ada tawar-menawar dengan Allah. Hanya ada satu jalan: mengikuti jejak Krisus yang membuatNya digantung di salib tanpa syarat.
Katekese
Di hati Bapa hanya ada belas kasih. Paus Fransiskus, Buenos Aires, 17 Desember 1936:
“Anakku, engkau selalu bersama-sama dengan aku, dan segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu. Kita patut bersukacita dan bergembira.” (Luk. 15:31-32). Bapa berbicara demikian pada anak sulungnya.
Pikiran hati-Nya hanya: belas kasih. Si bungsu mengira ia layak dihukum karena dosa yang dibuatnya. Si sulung menanti upah atas pelayannya. Kedua saudara itu tidak saling bicara. Mereka hidup dengan cara yang berbeda.
Tetapi keduanya memiliki alasan yang sangat ganjil bagi Yesus: jika engkau melakukan kebaikan, engkau dapatkan imbalan. Jika engkau berdosa, engakau dihukum.
Ini bukan cara pikir Yesus, bukan! Cara pikir ini berlawanan dengan kata-kata sang bapa, “Kita patut bersukacita dan bergembira karena adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali.” (Luk. 15:31-32).
Sang bapa memulihkan martabat anak yang hilang; dan sekarang ia dapat mengembalikannya kepada saudaranya! Tanpa si bungsu, yang sulung berhenti menjadi saudara. Suka cita terbesar yang dialami bapa adalah menyaksikan anak-anaknya mengenali satu dengan yang lain sebagai saudara.
Anak-anaknya dapat memutuskan apakah bergabung dengan sukacita sang bapa atau menolaknya. Mereka harus bertanya pada diri sendiri apa yang benar-benar mereka kehedaki dan apa visi mereka atas hidup mereka sendiri.
Perumpamaan ini dibiarkan terbuka: kita tidak tahu apa tidakan apa yang diputuskan si sulung untuk dilakukan. Dan inilah tantangan bagi kita. Kutipan Injil ini mengajarkan pada kita bahwa kita semua harus masuk ke rumah Bapa dan ambil bagian dalam suka cita-Nya, dalam perayaan belas kasih dan persaudaraan.
Saudara dan saudariku, mari kita buka hati kita, agar menjadi “berbelas kasih seperti Bapa” (Audiensi Umum, Lapangan Santo Petrus Rabu, 11 Mei 2016).
Oratio-Missio
Tuhan, ubahlah hatiku agar menjadi penuh belas kasih. Bantulah aku menunjukkan pada sesama warta Suka Cita akan pengampunan, damai sejahtera dan hidup baru yang Engkau tawarkan. Dan, akhirnya, bantulah aku untuk percaya pada-Mu, Gembala yang baik dan Juruselamat dunia. Amin.
Apa yang perlu aku lakukan agar menjadi seperti Bapa: penuh belas kasih?
epulari autem et gaudere oportebat, quia frater tuus hic mortuus erat et revixit, perierat et inventus est_ – Lucam 15:32