Minggu. Minggu Biasa XIX
- 1Raj. 19:4-8
- Mzm. 34:2-3,4-5,6-7,8-9
- Ef. 4:30-5:2
- Yoh. 6:41-51
Lectio
41 Maka bersungut-sungutlah orang Yahudi tentang Dia, karena Ia telah mengatakan: “Akulah roti yang telah turun dari sorga.” 42 Kata mereka: “Bukankah Ia ini Yesus, anak Yusuf, yang ibu bapanya kita kenal? Bagaimana Ia dapat berkata: Aku telah turun dari surga?”
43 Jawab Yesus kepada mereka: “Jangan kamu bersungut-sungut. 44 Tidak ada seorangpun yang dapat datang kepada-Ku, jikalau ia tidak ditarik oleh Bapa yang mengutus Aku, dan ia akan Kubangkitkan pada akhir zaman. 45 Ada tertulis dalam kitab nabi-nabi: Dan mereka semua akan diajar oleh Allah. Dan setiap orang, yang telah mendengar dan menerima pengajaran dari Bapa, datang kepada-Ku.
46 Hal itu tidak berarti, bahwa ada orang yang telah melihat Bapa. Hanya Dia yang datang dari Allah, Dialah yang telah melihat Bapa. 47 Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa percaya, ia mempunyai hidup yang kekal. 48 Akulah roti hidup.
49 Nenek moyangmu telah makan manna di padang gurun dan mereka telah mati. 50 Inilah roti yang turun dari sorga: Barangsiapa makan dari padanya, ia tidak akan mati. 51 Akulah roti hidup yang telah turun dari sorga. Jikalau seorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama-lamanya, dan roti yang Kuberikan itu ialah daging-Ku, yang akan Kuberikan untuk hidup dunia.”
Meditatio-Exegese
Bangunlah, makanlah
Nabi Elia tidak hanya mengalami krisis iman, tetapi juga krisis harapan, setelah ia gagal mengantar umat di Kerajaan Utara untuk berbalik kepada Allah. Kemenangannya atas para nabi palsu, di Gunung Karmel di abad ke-9 sebelum Masehi, terasa hambar.
Ia mengharapkan kegemilangannya mengalahkan nabi palsu yang menghamba pada Baal, dewa asing dari Kanaan dan Fenisia, membawa umat Israel di Utara berpegang pada perjanjian Sinai. Tetapi umat menolak tawaran belas kasih Allah.
Mereka tidak mengubah peri hidup yang menyimpang dari perjanjian dengan Allah. Sang nabi sadar bahwa ketidak setiaan pada Allah mengakibatkan penghancuran, penaklukkan dan pembuangan ke sepanjang Sungai Efrat, seperti nubuat Nabi Ahia (1Raj. 14:15-16).
Setelah merasa gagal mengajak umat Kerajaan Utara berbalik kepada Allah, Nabi Elia melarikan diri ke gurun. Ia mengalami jalan hidup yang sunyi dan penolakan dari kaum sebangsa.
Ia memandang diri seperti bangsanya yang suka memberontak kepada Allah. Mereka memberontak melawan Allah di gurun tak berapa lama setelah dibebaskan dari perbudakan Mesir (Kel. 19:6; Im. 11:44-45; 19:2; 20:7; Bil. 15:40; Ul. 7:6; 14:2, 21b; 26:19; 28:9).
Generasi pertama kaum yang dibebaskan gagal dalam kesetiaan pada Allah. Mereka memberontak dengan menyembah patung lembu emas di kaki gunung Tuhan, Sinai (bdk. Kel. 19:6; Im. 11:44-45). Kegagalan ini diulang umat di Israel Utara.
Di bawah sebuah pohon arar, Nabi Elia menghendaki kematian, katanya, “Cukuplah itu. Sekarang, ya Tuhan, ambillah nyawaku, sebab aku ini tidak lebih baik dari pada nenek moyangku.” (1Raj. 19:4). Tetapi, Allah menunjukkan belas kasih dengan mengutus malaikat-Nya untuk menguatkan sang nabi.
Seolah, saat membangunkannya, malaikat Tuhan berbisik, “Engkau tidak bersalah. Engkau telah melaksanakan tugas perutusan Allah. Yang gagal adalah umat di Kerajaan Utara dan para raja serta pemimpin mereka.”
Allah menyediakan roti dan air. Dua kali malaikat-Nya mengatakan bahwa ia membutuhkan semua itu untuk melanjutkan perjalanan ke gunung suci, Gunung Horeb atau Sinai (1Raj. 19:7), “Bangunlah, makanlah. Sebab kalau tidak, perjalananmu nanti terlalu jauh bagimu.”, Surge, comede. Grandis enim tibi restat via.
Di gunung ini Allah memperkenalkan diri-Nya pada bangsa Israel. Dan Ia memanggil mereka untuk menjadi umat-Nya sesuai dengan pilihan hati-Nya. Allah mendidik mereka untuk menjadi suatu bangsa yang setia mengikuti Raja semesta alam dan Hukum-Nya (Kel. 24:7-8).
Di gunung ini pula Allah menampakkan diri kepada Musa, ketika ia mengalami tekanan batin dan mengeluh kepada-Nya, “Perlihatkanlah kiranya kemuliaan-Mu kepadaku.”, setelah umat berpaling ke ilah lain, menyembah lembu emas (Kel. 33:18).
Ketika Musa meminta Allah menampakkan wajah-Nya, Ia menjawab, “Engkau tidak tahan memandang wajah-Ku, sebab tidak ada orang yang memandang Aku dapat hidup.” (Kel. 33:20). Maka, Ia memasukkan Musa ke gua, melindungi wajahnya hingga Ia ‘melewati’-nya. Allah melakukan hal yang sama pada Nabi Elia (Kel. 33:19-23; 1Raj. 19:9-18).
Allah mendukung Nabi Elia melalui makanan dan penampakan diri-Nya. Dukungan-Nya memungkinkan sang nabi melanjutkan karya perutusan dari-Nya.
Sama seperti dialami umat Israel di Kerajaan Utara, Allah memanggil setiap pribadi untuk berpaling kepada-Nya dan menjalin relasi erat dengan-Nya. Panggilan-Nya selalu bergema untuk menyambut Sakramen Rekonsiliasi selama tiap pribadi berziarah ke Yerusalem abadi.
Di samping, Ia menyediakan makanan rohani, Roti Hidup, Kristus sendiri (Yoh. 6:48). Maka, Ekaristi selalu menjadi makanan rohani yang menjamin kesejahteran jiwa dan raga untuk berjuang di dunia yang penuh dengan pergolakan.
Bukankah Ia ini Yesus, anak Yusuf, yang ibu bapanya kita kenal?
Yesus menyapa dan melayani orang banyak yang menjumpainya di Kapernaum. Mereka mencari-Nya bukan untuk mengenal dan mengikuti-Nya, tetapi untuk mengulang mujizat yang telah dilakukan-Nya.
Mereka ingat akan kisah Musa saat ia memberi makan leluhur mereka dengan manna dan burung puyuh di gurun. Tetapi Yesus mengkoreksi pemahaman mereka yang keliru. Bukan Musa yang memberi makan, tetapi Allah menurunkan tepung dari langit dan mengirim puyuh dari udara.
Ia kemudian melanjutkan dengan menyingkapkan bahwa Ia adalah Roti sejati yang turun dari surga dan Ia berkuasa untuk memberi hidup abadi (Yoh. 6:22-40). Tetapi, orang banyak itu justru menolak-Nya. Mereka merasa mengenal-Nya, karena tahu asal-usul-Nya, siapa ayah dan ibu-Nya.
Terlebih, mereka terusik ketika Ia memperkenalkan jati diri-Nya yang sebenarnya (Yoh. 6:41), “Akulah roti yang telah turun dari sorga.”, Ego sum panis, qui de caelo descendi.
Penolakan mereka seperti penolakan para leluhur atas karya agung Allah yang membebas mereka dari Mesir di Masa dan Meriba. Penolakan mereka bermakna bahwa mereka membatasi kuasa Allah yang sebetulnya mampu bertindak demi keselamatan mereka sendiri (bdk. Kel. 16:2, 17:2-3; Bil. 11:1; 14:27; 1Kor. 10:10).
Yesus melanjutkan pernyataan Diri-Nya dengan mengutip nubuat Nabi Yesaya, saat ia melukiskan di ‘Yerusalem baru’ di masa Mesianis, “Semua anakmu akan menjadi murid TUHAN, dan besarlah kesejahteraan mereka.” (Yes. 54:13).
Sang nabi kemudian melanjutkan nubuatnya bahwa semua orang akan hidup dalam kebenaran dan dijauhkan dari penindasan (Yes. 54:14). Nabi melanjutan undangan Allah, “Ayo, hai semua orang yang haus, marilah dan minumlah air.” (Yes. 55:1).
Gereja meyakini undangan-Nya kelak terpenuhi saat Yesus menetapkan Sakramen Ekaristi. Mengutip Yes. 55:2 dan mengulang Yoh. 6:45, Ia mengajak tiap pribadi, “Dengarkanlah Aku maka kamu akan memakan yang baik dan kamu akan menikmati sajian yang paling lezat. Dengarkan dan datanglah kepada-Ku dan kamu akan hidup.”
Ia menjanjikan Sakramen Ekaristi (bdk. Yoh. 6:41.48) dan hidup kekal (Yoh. 6:44.47).
Setiap orang, yang telah mendengar dan menerima pengajaran dari Bapa, datang kepada-Ku
Datang atau percaya kepada Yesus berarti membuka diri dan setia mendengarkan Allah. Jauh dalam lubuk hati Allah meletakkan sabda-Nya untuk didengarkan dan dilakukan (bdk. Ul. 30:14).
Nabi Yeremia menyingkapkan kehendak Allah, “Aku akan menaruh Taurat-Ku dalam batin mereka dan menuliskannya dalam hati mereka; maka Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku.” (Yer. 31:33).
Maka, semua manusia yang mendengarkan sabda-Nya dan melakukan-Nya akan ditarik untuk percaya kepada Yesus, seperti tertera dalam nubuat Nabi Yesaya yang dikutip secara bebas, “Mereka semua akan diajar oleh Allah.
Dan setiap orang, yang telah mendengar dan menerima pengajaran dari Bapa, datang kepada-Ku.” (Yoh. 6:45; bdk. Yes. 54:13). Ungkapan diajar oleh Allah selalu mengandaikan manusia dengan suka rela mendengarkan dan menerima pengajaran dari Bapa.
Mendengarkan dan menerima pengajaran dari Bapa tidak berarti bahwa orang itu telah melihat Bapa. Ia ditarik untuk percaya kepada Yesus karena Ia berasal dari Bapa, sehingga telah melihat Bapa. Dialah Jalan menuju kepada-Nya (Yoh. 14:6-9).
Setiap orang yang percaya diundang untuk percaya kepada-Nya, mendengarkan ajaran-Nya dan melihat pekerjaan-Nya yang menyatakan Bapa. Kepada yang percaya, Ia menganugerahkan hidup kekal.
Akulah roti hidup
Injil keempat tidak secara khusus menyingkapkan penetapan Sakramen Ekaristi. Tetapi ia memberi makna atas sakramen yang luhur itu. Sabda-Nya (Yoh. 6:48), “Akulah roti hidup”, εγω ειμι ο αρτος της ζωης, ego eimi ho artos tes zoes, Ego sum panis vitae.
Roti ini diperbandingkan dengan manna yang dimakan para leluhur bangsa Yahudi di gurun. Manna melambangkan Roti Ekaristi yang diserahkan Yesus kepada para murid pada malam sebelum Ia diserahkan kepada musuh, disiksa dan dibunuh.
Manna menjamin hidup bangsa Israel untuk bertahan sementara dalam perjalan ke tanah yang dijanjikan. Manna tidak menjadi sumber hidup kekal.
Roti yang diberikan Yesus pada para murid-Nya menjamin tidak hanya membantu manusia mengarungi peziarahan menuju sorga; tetapi menganugerahkan hidup adi kodrati dari Allah untuk hidup abadi.
Ketika menerima Roti Ekaristi dari altar Tuhan, tiap pribadi dipersatukan dengan Yesus Kristus. Ia memberikan tubuh dan darah-Nya dan mengijinkan kita ambil bagian dalam hidup abadi-Nya.
Santo Ignatius dari Antiokhia, 35-107, menulis, “Roti yang menjadi obat melawan kematian, racun melawan maut, dan makanan yang membuat kita hidup selamanya dalam Yesus Kristus.” (Ad Ephesios. 20,2).
Katekese
Kerapuhan Yesus dalam Ekaristi. Paus Fransiskus, 17 Desember 1936
“Injil menyajikan narasi Perjamuan Malam Terakhir (Mrk. 14:12-16.22-26). Sabda dan gerak tubuh Tuhan menyentuh hati kita: Ia mengambil roti, mengucap berkat, memecah-mecahkannya lalu memberikannya kepada mereka dan berkata: “Ambillah, inilah tubuh-Ku.” (Mrk. 14:22)
Maka, dengan kesederhanaan-Nya, Yesus menganugerahkan pada kita sakramen paling agung. Seluruh kepunyaan-Nya hanyalah gerak rendah untuk untuk memberi, gerak untuk berbagi. Pada puncak hidup-Nya, Ia tidak membagi-bagikan roti dalam jumlah banyak untuk banyak orang, tetapi diri-Nya sendiri sebagai bagian Perjamuan Paskah bersama para murid.
Dengan cara ini, Yesus menunjukkan bahwa tujuan hidup terletak pada pemberian diri, yakni pemberian teragung adalah melayani. Dan hari ini, sekali lagi, kita menemukan keagungan Allah dalam sekeping Roti., yang kerapuhan-Nya selalu mengalirkan kasih, yang melimpahi dengan pemberian diri.
Kerapuhan merupakan kata yang hendak saya garis bawahi maknanya. Yesus menjadi rapuh seperti roti yang dipecah-pecah dan diremas-remas. Namun, kuasanya terletak dalam pecahan dan remasan roti yang amat kecil. Kuasanya nampak dalam kerapuhan-Nya.
Dalam Ekaristi kerapuhan menjadi kekuatan: kekuatan kasih yang menjadi kecil, sehingga ia dapat disambut dan tidak ditakuti. Kekuatan kasih yang dipecah-pecah dan dibagikan sehingga menopang dan memberi hidup. Kekuatan kasih yang dibagi-bagikan mempersatukan kita yang terpisah-pisah.” (Angelus. Lapangan Santo Petrus, Minggu, 6 Juni 2021).
Oratio-Missio
Tuhan, Engkaulah Roti Hidup dari sorga. Semoga aku selalu hidup dengan penuh suka cita dan damai, bersatu dengan Bapa, Putera dan Roh Kudus, sekarang dan selamanya. Amin.
- Apa yang harus kulakukan untuk selalu merindukan Tuhan?
Ego sum panis vivus, qui de caelo descendi. Si quis manducaverit ex hoc pane, vivet in aeternum; panis autem, quem ego dabo, caro mea est pro mundi vita – Ioannem 6:51