Lectio Divina 12.04.2023 – Mata Mereka Dibuka

0
226 views
Perjamuan di Emaus, by Rembrandt, 1648

Rabu. Hari Rabu Dalam Oktaf Paskah (P)

  • Kis. 3:1-10        
  • Mzm. 105:1-2.3-4.6-7.8-9                         
  • Luk. 24:13-35

Lectio (Luk. 24:13-35)

Meditatio-Exegese

Mereka dengan muka muram

Dua orang murid  pergi meninggalkan kelompok yang dibentuk Yesus. Mereka bermuka muram dan kehilangan harapan.

Mereka berharap Yesus dan kelompok itu mampu membangun dan mewujudkan mimpi kemuliaan Israel. Tapi mimpi itu sirna seiring dengan kematian Yesus. 

Kisah penampakan Yesus pada dua murid yang sedang dalam perjalanan ke Emaus bertujuan membina jemaat yang kehilangan arah. Yesus seolah hilang ditelan bumi saat mereka dalam kondisi terpuruk, tanpa ada landasan untuk berharap.

Santo Lukas menulis Injil seputar tahun 80-an bagi umat dengan latar belakang budaya Yunani. Kebanyakan dari mereka berasal dari bangsa bukan Yahudi.

Terlebih, tahun 60-an hingga 70-an, jemaat mengalami masa yang sulit. Tahun 64 Kaisar Nero memerintahkan pengejaran pada semua pengikut Kristus di kekaisaran Romawi.

Mereka dituduh sebagai biang kerok pembakaran kota Roma. Banyak yang dipenjara, disiksa, dijadikan umpan binatang buas dan dibunuh dengan kejam.

Enam tahun berikut, Yerusalem dan Bait Allah luluh lantak, dihancurkan oleh Jenderal Titus. Lalu, tahun 72, Mesada, benteng terakhir di gurun Yudea, berhasil dijebol. Seluruh prajurit Yahudi yang bertahan dibantai habis.

Di samping itu, pada tahun 80-an, satu demi satu dari para rasul dan para saksi generasi pertama Gereja Purba, wafat dengan pelbagai cara. Situasi mencekam itu membawa situasi gelap seolah tidak ada secercah harapan.

Dalam rentetan peristiwa tragis itu, para jemaat bertanya-tanya, “Tuhan, hadirkah Engkau dalam peristiwa hidup kami?”

Apakah yang kamu percakapkan sementara kamu berjalan?

Saat Yesus bertemu dengan dua orang murid yang sedang dalam perjalanan meninggalkan Yerusalem, Ia mendapati mereka dalam situasi ketakutan dan kehilangan iman.

Kuasa kematian dan salib telah membunuh harapan mereka. Sekarang pun situasi yang sama juga dihadapi.

Dalam perjalanan Yesus mendengarkan keluh kesah mereka (Luk. 24:17), “Apakah yang kamu percakapkan sementara kamu berjalan?”, Qui sunt hi sermones, quos confertis ad invicem ambulantes?

Mereka lalu bercerita tentang apa yang terjadi pada Yesus, orang Nazaret.  Dia adalah seorang nabi, yang berkuasa dalam pekerjaan dan perkataan di hadapan Allah dan di depan seluruh bangsa.

Tetapi para imam dan pemimpin bangsa Yahudi telah menyerahkanNya untuk dihukum mati. Ia disalibkan.

Mereka berharap pada Yesus untuk membebaskan dari penjajahan bangsa Romawi, tetapi Ia gagal. Mereka mendengar warta bahwa Ia hidup, tetapi warta itu bagi mereka tidak masuk akal (Luk. 24:18-24). 

Rupanya mereka berdua telah terkena pengaruh buruk pemberitaan yang dihembuskan pihak penguasa agama bahwa Orang Nazaret itu keliru.

Mereka menelan informasi yang keliru, hoax, tanpa mau menelisik dan meneliti dengan budi yang lebih jernih tentang Yesus.

Masalah yang dihadapi Gereja saat ini pun relatif serupa. Gereja dan setiap pribadi yang dibaptis seharusnya mampu mengenali dengan lebih dekat masalah yang dihadapi tiap anggota umat.

Masing-masing mencermati masalah yang dihadapi dengan lebih kritis, terutama berita bohong, kesaksian palsu. Akhirnya, membawa mereka lebih dekat pada Sosok Yesus.

Mesias harus menderita semuanya itu

Setelah mendengarkan masalah yang dialami, Yesus kemudian mengajak mereka merenungkan, mendalami dan menyelami jalan keselamatan yang direncanakan Allah melalui Kitab Suci dan tradisi. Ia mengajak mereka untuk membaca ulang Sabda Allah sejak jaman Musa hingga para nabi.

Dengan cara ini, Ia menunjukkan bahwa Allah adalah pengendali sejarah manusia. Yesus menemani mereka untuk melihat sisi lain yang tidak diperhatikan, misalnya: kisah tentang Hamba Yahwe yang menderita dalam nubuat Nabi Yesaya. Dengan cara ini, Ia membangkitkan apa yang mereka kubur dalam memori iman.

Teguran-Nya (Luk. 24:25), “Hai kamu orang bodoh, betapa lambannya hatimu, sehingga kamu tidak percaya segala sesuatu, yang telah dikatakan para nabi.”, O stulti et tardi corde ad credendum in omnibus, quae locuti sunt Prophetae.

Teguran ini menguak kesadaran untuk melihat peristiwa dari sudut pandang Allah. Atas kegagalan mereka, Santo Augustinus dari Hippo, 354-430 menulis, “Mereka begitu tergoncang ketika mereka menyaksikan Ia digantung di kayu salib. Sehingga, mereka melupakan ajaran-Nya, tidak mencari Ia yang telah dibangkitkan, dan gagal mengingat-ingat janji-Nya kepada mereka.” (Sermon 235.1).

Perlahan Yesus menanamkan daya ubah salib; salib bukan lagi menjadi kutuk dan kematian, tetapi tanda kehidupan dan harapan. Santa Teresa dari Salib atau Edith Stein menulis, “O, Salib, Engkau harapan satu-satunya.”, O, Crux, Tu es spes unica.

Ia mengambil roti, mengucap berkat, lalu memecah-mecahkannya dan memberikannya kepada mereka

Hanya Kitab Suci dan tradisi saja tidak mencukupi untuk membuka mata mereka akan kehadiran Yesus. Kitab Suci dan tradisi hanya membuat hati mereka berkobar-kobar.

Santo Agustinus mengatakan, “Mata mereka terhalang, sehingga mereka tidak mampu mengenali-Nya hingga saat pemecahan roti. Maka, seturut apa yang mereka pikirkan, karena belum mengetahui kebenaran.

Kebenaran itu adalah Kristus harus mati dan dibangkitkan, mata iman mereka tetap buta. Bukan kebenaran yang salah membimbing mereka, tetapi mereka sendiri yang tidak mampu memahami kebenaran.” (The Harmony of the Gospels, 3.25.72).

Yang membuat mereka menyadari kehadiran Yerus yang telah bangkit adalah saat Ia mengajak mereka berkumpul, membentuk komunitas yang berpusat pada-Nya. Saat itu Ia mengambil roti, mengucap berkat, lalu memecah-mecahkannya dan memberikannya kepada mereka (Luk. 24:30).

Pada momentum ini Yesus mengundang untuk membentuk persaudaraan dan komunitas iman, merayakan Ekaristi, berbagi pengalaman hidup untuk saling menguatkan dan membuka diri pada bimbingan Roh. Roh itulah yang membimbing tiap murid-Nya memahami sabda Yesus Kristus (bdk. Yoh. 14:26; 16:3).

Bangunlah mereka dan terus kembali ke Yerusalem

Begitu mengenali kehadiran Yesus, mereka sadar bahwa (Luk. 24:34) “Sesungguhnya, Ia telah bangkit dan menampakkan diri pada Simon.”,  Surrexit Dominus vere et apparuit Simoni.

Pengalaman ini membangkitkan semangat untuk melangkahkan kaki kembali ke Yerusalem. Mereka berdua ambil bagian dalam karya Yesus Kristus untuk mengubah budaya maut menjadi budaya hidup, mengubah duka cita menjadi sukacita, dan menggelorakan harapan yang terhimpit oleh rasa putus asa.

Singkatnya, mereka harus memperjuangkan iman akan Yesus yang sengsara, wafat dan dibangkitkan melawan ketidak percayaan. Mereka berjuang demi kemerdekaan dan bukan penindasan.

Harapan, bukan putus asa. Hidup, bukan kematian. Mengalahkan kematian bermakna merebut hidup dan mengalami hidup dalam segala kelimpahannya (Yoh. 10:10). 

Katekese

Alleluia, Paskah. Santo Augustinus, Uskup dari Hippo, 354-430 :

“Saudara-saudara, kami mengajak kalian untuk memuji Allah. Inilah apa yang kami sampaikan kepada masing-masing di antara kita ketika kita memadahkan Alleluia. Kalian berkata pada sesama, “Pujilah Tuhan!” dan ia berkata hal yang sama padamu.

Kita semua saling mengajak satu sama lain untuk memuliakan Tuhan, dan semua melakukan apa yang ajak untuk dilakukan. Tetapi, ketahuilah bahwa pujianmu berasal dari seluruh hidupmu.

Dengan kata lain, ketahuilah bahwa kalian memuliakan Allah tidak dengan bibir dan suaramu saja, melainkan juga dengan budi, hidup dan seluruh perbuatan kalian.” (Commentary on Psalm 148)

Oratio-Missio  

Tuhan, bukalah mata hatiku untuk mengenali kehadiran-Mu dan buatlah hatiku mengerti kebenaran sabda-Mu. Kenyangkanlah aku dengan Sabda-Mu yang hidup dan dengan Roti Hidup. Amin.

  • Apa yang perlu aku lakukan di tengah pandemi untuk membangun komunitas yang percaya akan kehadiran-Nya?

Surrexit Dominus vere et apparuit Simoni – Lucam 24:34

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here