Lectio Divina 13.11.2022 – Dikejar, Disiksa, Dibunuh, tapi Tak Kalah

0
508 views
Semuanya, batu dan batu berharga, akan diruntuhkan, by Vatican News

Minggu. Hari Minggu Biasa XXXIII (H)

  • Mal. 4:1-2a
  • Mzm. 98:5-6.7-8.9a
  • 2Tes. 3:7-12
  • Luk. 21:5-19

Lectio (Luk. 21:5-19)

Meditatio-Exegese

Bagimu akan terbit surya kebenaran dengan kesembuhan pada sayapnya

Kapankah kejahatan lenyap dari pandangan mata orang benar? Kapankan musuh orang benar akan memperoleh keadilan? Atau dengan nada positif dirumuskan: Tuhan, kapankah Engkau datang sebagai Hakim? Pertanyaan-pertanyaan itu selalu muncul sepanjang sejarah manusia.

Nabi Maleakhi merumuskan kegilaan manusia dengan pertanyaan yang menyayat hati. Yang berbuat jahat seolah baik di hadapan Allah. Ia diam saja. “Setiap orang yang berbuat jahat adalah baik di mata TUHAN; kepada orang-orang yang demikianlah Ia berkenan — atau jika tidak, di manakah Allah yang menghukum?” (Mal. 2:17).

Nabi Maleakhi bernubuat bahwa dunia sedang berubah dengan cepat. Pada abad ke-5 sebelum Masehi, penguasa kemaharajaan Persia mengijinkan bangsa Yahudi pulang ke tanah air dari pembuangan di Babel. Tetapi para penguasa kemaharaan itu diganggu oleh ancaman yang muncul dari barat, Alexander Agung.

Di tanah air, Palestina, suka cita bangsa Yahudi makin tipis. Para pemimpin umat, khususnya di Bait Allah, telah kembali ke pola hidup lama: perilaku hidup koruptif dan konsumtif tanpa batas.

Pengaruh politik makin memudar. Pemerintahan tidak mampu menjamin kesejahteraan umum. Maka, kaum miskin makin melarat. Dan dampak terparah adalah kemerosotan moral dan hidup iman. Dalam keadaan kacau, Allah pasti dilupakan.

Sang nabi, yang bernubuat sekitar 420 sebelum Masehi, menuliskan pesan Allah dengan bahasa sederhana. Allah akan kembali sebagai Hakim yang adil.

Kedatangan-Nya seperti pedang bermata dua. Pada saat kedatangannya, Allah akan menghanguskan kejahatan seperti jerami kering dilalap api. Tetapi orang benar akan bersuka cita karenanya.

Memang, sepertinya Allah menunda-nunda kedatangan-Nya pada hari itu. Hari itu pasti datang dalam bentuk kematian dan akhir jaman. Maka, tiap pribadi tak boleh lengah dan harus selalu mempersiapkan diri agar layak didapati-Nya. 

Jemaat Gereja Perdana menyematkan gelar Surya Keadilan atau Surya Kebenaran pada Yesus. Gelar ini dikenakan pada saat Ia datang kelak di kemudian hari pada kedatangan-Nya yang kedua.

Santo Lukas menyingkapkan iman Gereja dalam Madah Zakaria, “… oleh rahmat dan belas kasihan dari Allah kita, dengan mana Ia akan melawat kita, Surya pagi dari tempat yang tinggi, untuk menyinari mereka yang diam dalam kegelapan dan dalam naungan maut untuk mengarahkan kaki kita kepada jalan damai sejahtera.” (Luk 1:78-79)

Origenes dari Alexandria menulis, “Tuhan datang pada sore hari ke dunia yang sedang tenggelam, ketika rangkaian hidup manusia hampir masuk dalam gelap; tetapi ketika Sang Surya Keadilan datang, Ia menganugerahkan hidup baru dan memulai hari baru bagi mereka yang percaya kepada-Nya.” (Homiliae in Exodum, 7, 8).

Mengikuti jejak para nabi Perjanjian Lama dan peran-Nya sebagai nabi Allah yang utama, Yesus mewartakan Hari Penghakiman Tuhan dalam pengajaran-Nya ketika seluruh rahasia akan disingkapkan dan sikap pada Allah, sesama dan kaum miskin akan disingkapkan, misalnya: Mat 12:38-40; 25:31-46; Luk 12:1-3; Yoh 3:20-21.

Yesus melukiskan bagaimana pengadilan itu akan berlangsung pada khotbah pada hari terakhir masa pelayanan publik, sebelum Ia ditangkap (Mat 25:31-46). Ia memberitahu pada Pengadilan Terakhir Yesus adalah Sang Hakim yang adil.

Ia akan berkata pada masing-masing orang tolok ukur yang sama untuk ambil bagian dalam perjamuan abadi bersama-Nya (Mat. 25:40), “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.”, Amen dico vobis: Quamdiu fecistis uni de his fratribus meis minimis, mihi fecistis.

Beberapa orang berbicara dan mengagumi Bait Allah

Santo Lukas mengisahkan Yesus mengajar di Bait Allah. Ini merupakan penampilan-Nya di muka umum untuk terakhir kali. Saat Ia di situ, para murid dibiarkan-Nya menikmati pemandangan indah bangunan itu.

Kemegahannya mendatangkan kekaguman. Tetapi, Yesus justru menubuatkan (Luk. 21:6), “Apa yang kamu lihat di situ – akan datang harinya di mana tidak ada satu batu pun akan dibiarkan terletak di atas batu yang lain; semuanya akan diruntuhkan.”, Haec quae videtis, venient dies, in quibus non relinquetur lapis super lapidem, qui non destruatur.

Kehancuran Bait Allah selalu dikaitkan dengan akhir jaman. Namun, berpijak dari pengalaman Gereja Perdana, terutama kaum miskin dan yang dikejar-kejar, keruntuhan Bait Allah pada tahun 70 menjadi sarana pengajaran iman.

Di masa lalu, pada masa Bait Allah Salomo, orang Israel percaya bahwa Allah selalu hadir dan melindungi mereka. Akan tetapi, kehancuran itu memporak-porandakan rasa aman ilusif pada Bait Allah duniawi itu.

Allah tidak bisa dikurung untuk bersemayam di bangunan buatan tangan manusia. Ia berkenan berdiam di antara manusia bila mereka berperi hidup sesuai kehendakNya.

“Janganlah percaya kepada perkataan dusta yang berbunyi: Ini bait TUHAN, bait TUHAN, bait TUHAN, melainkan jika kamu sungguh-sungguh memperbaiki tingkah langkahmu dan perbuatanmu, jika kamu sungguh-sungguh melaksanakan keadilan di antara kamu masing-masing, tidak menindas orang asing, yatim dan janda, tidak menumpahkan darah orang yang tak bersalah di tempat ini dan tidak mengikuti allah lain, yang menjadi kemalanganmu sendiri, maka Aku mau diam bersama-sama kamu di tempat ini.” (Yer. 7:4-7).

Bait Allah dipugar dan diperluas pada masa kekuasaan Herodes Agung mulai tahun 19 SM hingga 64 M. Namun Kenisah itu telah berubah menjadi “sarang penyamun” (Luk. 19:46).

Santo Yohanes dengan rinci menggambarkan Bait Allah telah menjadi tempat jual-beli hewan ternak persembahan dan penukaran uang (Yoh. 2:14).

Guru, bilamanakah itu akan terjadi? Dan apakah tandanya, kalau itu akan terjadi?

Tidak akan pernah ditemukan jawaban waktu dalam makna chronos, hitungan satuan waktu dalam detik, menit, jam, hari, minggu, bulan dan tahun. Juga tanda-tanda, σημειον, semeion,  akhir dunia, tak akan ditemukan.  

Memang, akan banyak terjadi pergolakan dalam seluruh sendi hidup manusia. Bencana alam tidak berkesudahan. Epidemi dan pandemi memakan jutaan nyawa manusia. Kelaparan memporak porandakan peradaban.

Di samping itu, para murid Kristus menghadapi pengejaran, penganiayaan. Mereka, bahkan, harus menelan kematian. Menghadapi semua itu, Yesus mengingatkan supaya setiap murid selalu berpegang pada diri-Nya. Masing-masing pribadi tidak goyah atas penyesatan yang dilakukan atas nama-Nya.

Menghadapi para penyesat, Bunda Gereja mengajarkan, “Sebelum kedatangan Kristus, Gereja harus mengalami ujian terakhir yang akan menggoyahkan iman banyak orang. Penghambatan, yang menyertai penziarahannya di atas bumi, akan menyingkapkan ‘misteri kejahatan’.

Satu khayalan religius yang bohong memberi kepada manusia satu penyelesaian semu untuk masalah-masalahnya sambil menyesatkan mereka dari kebenaran.

Kebohongan religius yang paling buruk datang dari Anti-Kristus, artinya dari mesianisme palsu, di mana manusia memuliakan diri sendiri sebagai pengganti Allah dan mesias-Nya yang telah datang dalam daging.” (Katekismus Gereja Katolik,  675)

Ditangkap dan dianiaya; diserahkan dan dihadapkan

Dalam Luk 21:5-11, Yesus menyingkapkan 5 tanda yang menenandai akhir jaman: mesias palsu (Luk. 21:8); perang dan pemberontakan (Luk. 21:9); bangsa bangkit melawan bangsa, kerajaan melawan kerajaan (Luk. 21:10; gempa bumi di mana-mana (Luk. 21:11); dan kelaparan, penyakit sampar serta tanda-tanda langit (Luk. 21:11). 

Tanda-tanda ini memang terjadi di jaman akhir (Ibr 1:2), “tetapi itu tidak berarti kesudahannya akan datang segera” (Luk. 21:9). Dan sekarang tanda keenam: pengejaran pada para murid Yesus (Luk. 21:12-19).

Selama waktu antara kedatangan-Nya yang pertama dan kedatangan-Nya yang kedua, para murid dipanggil untuk “sungguh-sungguh melaksanakan keadilan di antara kamu masing-masing, tidak menindas orang asing, yatim dan janda, tidak menumpahkan darah orang yang tak bersalah di tempat ini dan tidak mengikuti allah lain, yang menjadi kemalanganmu sendiri, maka Aku mau diam bersama-sama kamu di tempat ini” (Yer 7:5-7).

Panggilan itu bermakna bahwa mereka hanya tunduk pada Yesus Kristus, bukan setan dan seluruh anak buahnya. Konsekuensinya (Luk. 21: 12): “Kamu akan ditangkap dan dianiaya; kamu akan diserahkan ke rumah-rumah ibadat dan penjara-penjara, dan kamu akan dihadapkan kepada raja-raja dan penguasa-penguasa oleh karena nama-Ku.”, inicient vobis manus suas et persequentur tradentes in synagogas et custodias, et trahemini ad reges et praesides propter nomen meum.

Pengejaran, penangkapan, pemenjaraan, penyiksaan dan pembunuhan sepertinya menjadi akhir iman akan Yesus Kristus. Tetapi, ternyata, saat itu menjadi kesempatan untuk bersaksi bahwa kuasa apa pun akan tunduk pada Yesus Kristus.

Jaman pengejaran, penangkapan, pemenjaraan, penyiksaan dan pembunuhan ini diumpamakan seperti ibu yang akan melahirkan.

Kesakitannya luar biasa, bahkan hampir menyentuh maut, tetapi setelah kelahiran, semua duka-derita hilang dan diganti suka cita, karena seorang manusia telah dilahirkan ke dunia (Yoh. 16:21) .  

Tetapi tidak sehelaipun dari rambut kepalamu akan hilang

Ketika harus bersaksi, para murid Yesus tidak boleh gentar. Ia terus menyertainya. Ia juga mengutus RohNya untuk berbicara atas nama-Nya, “Kamu jangan memikirkan lebih dahulu pembelaanmu. Sebab Aku sendiri akan memberikan kepadamu kata-kata hikmat, sehingga kamu tidak dapat ditentang atau dibantah lawan-lawanmu.” (Luk. 21:14-15).

Penyertaan Yesus dan Roh Kudus membuat gentar para musuh. Mereka akhirnya sadar bahwa, ternyata, mereka berperang melawan Allah, seperti seruan para ahli itu kepada Firaun (Kel 8:19), “Inilah tangan Allah.”, digitus Dei.

Para murid mungkin dibenci semua orang dan dikhianati oleh orang-orang terdekat – sanak saudara, adik atau kakak, bahkan orang tua. Namun, apabila ia berpegang teguh pada-Nya, ia tidak akan kehilangan nyawanya.

Tertullianus, ahli hukum abad kedua yang bertobat ketika melihat orang-orang Kristen bernyanyi menjelang kematian di hadapan para algojo, berseru, “Darah para martir merupakan benih!” Darah mereka adalah benih yang menumbuhkan pengikut Kristus yang baru, benih bagi Gereja. 

Santo Cyprianus, uskup pada abad ketiga, berkata, “Ketika pengejaran tiba, tentara Allah dimasukkan dalam ujian, dan sorga terbuka bagi para martir. Kita belum terdaftar dalam pasukan itu untuk mempertimbangkan damai dan menghentikan perang, karena kita sadar bahwa Tuhan  telah menempatkan pertama-tama dalam perselisihan.”

Panggilan menjadi martir atau hidup kudus bermakna hidup benar dan mati sebagai saksi Injil. Tiap murid mengalahkan musuh melalui penyebar luasan harapan dan keberanian, kasih yang tak terkalahkan dan kesabaran, kebaikan hati, kejujuran dan belas kasih.

Katekese

Orang Kristiani dikenal karena kepercayaan pada kebangkitan badan. Santo Augustinus dari Hippo, 354-430 :

“Kita seharusnya tidak ragu bahwa tubuh jasmani kita juga akan bangkit lagi pada hari kiamat… Inilah kepercayaan Kristiani. Inilah iman Katolik. Inilah iman rasuli. Percayalah pada Kristus ketika Ia bersabda, “Tetapi tidak sehelaipun dari rambut kepalamu akan hilang”.

Kesampingkan semua orang yang tidak percaya. Pikirkan betapa engkau bernilai tinggi. Bagaimana Sang Juruselamat kita mengabaikan orang saat ia sendiri pasti mengabaikan sehelai rambut yang menempel pada kepalanya?

Bagaimana kita akan ragu bahwa Ia hendak menganugerahkan hidup abadi pada jiwa dan badan kita? Ia mengambil jiwa dan tubuh yang bagi kita dapat mati.

Ia mempertaruhkan Diri-Nya bagi kita ketika Ia mati dan Ia membangkitkannya kembali agar kita tidak takut akan kematian.” (Sermon  214.11-12

Oratio-Missio

Tuhan, bantulah aku untuk, lebih dahulu, mencari Kerajaan-Mu dan menolak apa pun yang menjauhkan dari jalan, damai, kebenaran, dan kesucian. Amin.

Apa yang perlu aku lakukan untuk tidak mengasihi yang fana dan menjadi saksi-Nya?

“Qui dixit videte ne seducamini: multi enim venient in nomine meo dicentes, “Quia ego sum” et, “Tempus adpropinquavit.” Nolite ergo ire post illos.” – Lucam 21:8

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here