Minggu. Pekan Biasa II (H)
Lectio (Yoh. 1:35-42)
Meditatio-Exegese
Berbicaralah, sebab hamba-Mu ini mendengar
Rumah Allah merupakan bangunan yang dikhususkan untuk menyimpan tabut perjanjian, bukan Bait Allah di Yerusalem. Lampu menyala terus menerus dan menandai kehadiran-Nya. Harun dan keturunannya harus memastikan lampu terus terisi minyak zaitun dan menjaga nyalanya (bdk. Kel. 27:20-21).
Rumah Tuhan dan tabut-Nya ada di Silo (1Sam. 1:3). Di situlah Samuel, kira-kira berusia 12 tahun, mulai melayani Tuhan di bawah bimbingan Eli. Saat memulai tugas pelayanan, Samuel belum mengenal Allah. Sabda-Nya memang belum pernah didengarnya (1Sam. 3:7).
Ia berbeda dengan dua orang anak Eli, yang tidak mau mendengarkan dan melaksanakan sabda Allah. Kedua orang anak imam ini melakukan apa yang jahat di mata Tuhan. Mereka mencemarkan korban bakaran dengan merampas daging kurban yang seharusnya dipersembahkan kepada Allah (1Sam. 2:12-17).
Di samping itu, mereka juga tidur dengan perempuan yang melayani di depan pintu Kemah Pertemuan (1Sam. 2:22). Eli menegur kedua anak itu, tetapi mereka abaikan, sehingga Tuhan pun murka dan hendak mematikan mereka (1Sam. 2:25).
Sepertinya kedua anak Eli mencerminkan situasi umat. Umat tidak mau lagi mendengarkan sabda Allah. Penulis Kitab Samuel mengungkapkan ”Pada masa itu firman Tuhan jarang; penglihatan-penglihatan pun tidak sering” (1Sam. 3:1).
Tuhan, yang tidak berkenan bicara, menandakan penghukuman, karena umat Israel berlaku tidak setia pada-Nya (bdk. 1Sam. 28; Mzm. 79:4; Yes. 29:9-14; Mi. 3:6-7; Ams. 29:18). Maka, Suara Allah yang didengarkan Samuel menandakan kehendak Allah untuk mengundang manusia kembali kepada-Nya.
Pada dua kesempatan pertama saat mendengar ada suara memanggil namanya, Samuel mengira ia mendengar suara imam Eli. Ia mengira Eli memanggil dan membutuhkan bantuannya. Tertapi, Eli terlelap.
Semakin bertambah umur, Eli tidak semakin bijak jiwanya dalam membedakan suara Tuhan dengan suara lainnya. Samuel, yang muda usia, mendengar suara panggilan itu, karena berjaga, sama seperti Allah, yang dilambangkan dengan nyala lampu. Sedangkan Eli, yang berusia lanjut, tidur pulas.
Kedewasaan iman tidak ditentukan oleh jumlah umur. Tetapi ditentukan oleh hati yang mendengarkan dan melaksanakan sabda Allah. Dua kali Eli gagal mengenali suara Allah, ”Samuelpun bangunlah, lalu pergi mendapatkan Eli serta berkata, “Ya, bapa, bukankah bapa memanggil aku?”
Tetapi Eli berkata: “Aku tidak memanggil, anakku; tidurlah kembali.” (1Sam. 3:6). Baru pada panggilan ketiga Eli menyadari bahwa suara yang didengar anak muda yang membantunya bukanlah suaranya sendiri. Itulah suara Allah, yang hendak menyatakan sabda-Nya pada Samuel.
Eli membimbing Samuel untuk menata batin dan sikap hormat pada Allah, apabila suara serupa sampai ke pendengarannya. Maka, pada saat Allah menyatakan diri-Nya pada kesempatan terakhir, Samuel telah siap. Ia menyatakan diri-Nya pagi-pagi benar saat Eli tidur lelap.
Saat pagi dipilih karena itulah saat ketika manusia lemah. Tentang kesiapan dan ketaatan batin Samuel, Santo Gregorius Agung mengajarkan, “Anak muda ini memberi kita teladan tentang sikap taat tertinggi.
Ketaatan yang benar tidak pernah mempertanyakan apa yang diperintahkan, atau menghitung-hitung, karena ia yang memutuskan untuk melaksanan ketaatan yang sempurna itu menolak pertimbangan hatinya sendiri.” (In Primum Regum, 2, 4, 10-11)
Dua tugas utama dipikul para nabi dan pewarta sabda-Nya, dimulai dari Samuel: mendengarkan Allah dengan saksama (1Sam. 3:9-10) dan dengan setia mewartakan pesan yang didengarnya dari Allah, walau pesan itu terdengar sangat keras di telinga pendengarnya (1Sam. 3:11-14.18).
Santo Bernardus berkata, ”Sangatlah diberkati mereka yang mendengar bisikan lembut dari Allah dalam keheningan dan yang selalu mengulang-ulang perkataan Samuel, “Berbicaralah, sebab hamba-Mu ini mendengar.” (Sermones De Diversis, 23, 7).
Yohanes Pembaptis: Lihatlah Anak domba Allah
Yohanes Pembaptis diperkenalkan sebagai ‘orang yang diutus Allah’ untuk memberi kesaksian tentang Sang Terang (bdk. Yoh. 1:6). Melalui kesaksiannya, semua orang diharapkan percaya kepada kepada-Nya (Yoh. 1:6-8; bdk. 1:15; 5:33).
Pewartaan Yohanes menarik perhatian banyak orang. Ia kemudian membentuk komunitas permuridan setelah mengikuti upacara pembaptisannya untuk pertobatan. Komunitas itu memiliki peraturan puasa (Mrk. 2:18; Luk. 7:29-33), dan doa (Luk. 5:33, 11:1).
Beberapa anggota tetap menjadi muridnya setelah kematiannya di tangan Herodes Antipas (Mrk. 6:29; Kis. 19:3). Yang lain mengikuti Yesus, seprti Andreas dan temannya yang tidak dikenal, yang kemudian dikenal sebagai Yohanes anak Zebedeus (Yoh. 1:35-40).
Seruannya menarik perhatian para pemimpin agama Yahudi di Yerusalem. Mereka pasti meneliti apakah benar seruannya adalah suara Allah atau bukan. Mereka ingin memastikan apakah Allah kembali bersabda melalui nabi, setelah berabad-abad seolah-olah Allah diam.
Kepada utusan Sanhedrin, Majelis Agama Yahudi yang berkedudukan di Yerusalem, ia menjawab dengan tegas bahwa ia bukan pribadi yang dinubuatkan muncul di akhir zaman.
Dengan segenap lugas dan jujur, ia mengaku bahwa ia bukan Mesias atau Kritus atau Yand Diurapi (Yoh. 1:20; bdk. 1:8.15). Ia bukan Elia (Yoh. 1:21a). Ia juga bukan nabi yang seperti Musa (Yoh 1:21b; bdk. Yoh. 6:14; 7:40; Ul. 18:15.18).
Anak Imam Zakharia dan Ibu Elizabet tidak pernah menyesatkan siapa pun. Dalam seluruh pertimbangan hati dan budi, tutur kata dan tindakannya ia benar. Karena ia berbuat benar dan benar berasal dari Allah (bdk. 1Yoh. 3:7-10).
Namun, ketika Yesus lewat, Yohanes menyingkapkan identitas-Nya. Segera keduanya meninggalkannya dan dan mengikuti Yesus. Inilah kesaksiannya (Yoh. 1:36), “Lihatlah Anak domba Allah.”, Ecce agnus Dei.
Sebagai hewan yang lembut dan jinak, di samping bulu yang dipintal untuk kain, domba memiliki daging lunak dan enak. Maka domba memberikan segalanya, tanpa sisa, termasuk hidupnya, kepada sang tuan.
Anak Domba Allah mengacu pada hewan yang disucikan untuk persembahan di Bait Allah. Ia disembelih untuk perjamuan Paskah (Kel. 12). Yohanes pasti sangat memahami tata upacara kurban, karena menyertai ayahnya bertugas sebagai imam di Bait Allah (bdk. Luk. 1:8-10).
Ungkapan Yohanes Pembaptis, “Lihatlah Anak domba Allah.” (Yoh. 1:36), menyingkapkan nubuat akan apa yang akan dialami Yesus di kelak kemudian hari. Ia percaya Yesus memberikan segala-galanya agar yang percaya pada-Nya diselamatkan dari dosa, maut dan kematian kekal.
Nubuat Yohanes semakna dengan nubuat Nabi Yesaya. “Dia dianiaya, tetapi dia membiarkan diri ditindas dan tidak membuka mulutnya seperti anak domba yang dibawa ke pembantaian; seperti induk domba yang kelu di depan orang-orang yang menggunting bulunya, ia tidak membuka mulutnya.” (Yes. 53:7)
Nubuat itu dipenuni melalui kurban-Nya di kayu salib untuk menebus manusia dari dosa dan maut. Santo Paulus mengajar jemaat Korintus dan seluruh Gereja, “Anak Domba Paskah kita juga telah disembelih, yaitu Kristus.” (1Kor. 5:7).
Darah-Nya yang ditumpahkan di kayu salib membersihkan, menyembuhkan dan membebaskan kita dari perbudakan dosa, dan dari maut, yang menjadi upah dosa (Rm. 6:23) serta “membinasakan baik jiwa maupun tubuh di dalam neraka.” (Mat 10:28).
Andreas: Kami telah menemukan Mesias, artinya: Kristus
Tiga kali pekerjaan Andreas dikisahkan dalam Injil Yohanes. Masing-masing mengisahkan ‘ia membawa seseorang kepada Yesus’. Pertama, ia menghantar saudara tua, kakaknya, Simon kepada Yesus (Yoh. 1:40).
Selanjutnya, ia mengantar seorang anak laki-laki kecil yang membawa roti jelai dan dua ikan (Yoh. 6:8-9). Akhirnya, serombongan orang Yunani dihantarnya menemui Yesus (Yoh. 12:20-22), yang menandai bahwa tibalah saat Anak Manusia dimuliakan.
Andreas tidak pernah dikisahkan sendirian, selalu bersama-sama dengan orang lain. Ia misalnya disebut bersal dari kota yang sama dengan Filipus (Yoh. 1:44). Kedua orang itu memberi tahu Yesus tentang kedatangan sekelompok orang berbahasa Yunani (Yoh. 12:22).
Sepertinya penulis Injil menampilkan Andreas yang hidup dan berkarya di ‘bawah bayang-bayang’ kakaknya, Simon, yang kemudian disebut Petrus. Petrus sendiri seolah diberi panggung dalam Injil Keempat, karena dikisahkan dalam 32 ayat; sedangkan Andreas hanya 8 ayat.
Dalam denyut nadi hidup jemaat, lebih banyak dijumpai Andreas-Andreas lain. Mereka tidak disebut dan tidak suka tampil atau ditampilkan, tetapi tetap tanpa henti berkarya untuk membangun jemaat Allah.
Peran Andreas sangat menentukan ketika ia mengajak kakaknya berjumpa dengan Yesus. Ia memberi tahu dan mengajak, “Kami telah menemukan Mesias, artinya: Kristus.”, “Invenimus Messiam ” — quod est interpretatum Christus.
Adik Simon mengajak sang kakak “datang dan melihat”-Nya sendiri. Maka, Andreas adalah Rasul-Nya yang pertama dan Gereja menghormatinya dengan gelar Protokletos, yang dipanggil pertama.
Simon: engkau akan dinamakan Kefas, artinya Petrus
Simon diperkenalkan pada Yesus oleh Andreas, adiknya. Tindakan si adik mewujudkan pelayanan seperti yang dilakukan dalam pelayanan Gereja lainnya, membawa orang kepada Yesus.
Ketika Yesus melihatnya datang, Ia menyambut seperti yang dilakukan-Nya pada Andreas. Ia juga menyatakan telah mengenalnya, termasuk dari mana ia berasal. Kata-Nya, “Engkau Simon, anak Yohanes.” (Yoh. 1:42).
Kemudian Ia memberi nama baru bagi Simon, “Kefas”, ungkapan dalam bahasa Aram, dalam Yunani ‘Petros’ dan Latin ‘Petrus’, karang. Nama baru merupakan pernyataan bahwa pemberi memberikan kuasa kepada penerima.
Dikisahkan saat Allah mencari tempat untuk menciptakan dunia. Ia duduk dan memeriksa keturunan Henok dan keturunan dari air bah. Ia bersabda, “Mengapa aku menciptakan dunia dan membiarkan orang jahat bangkit dan mengganggu Aku?”
Tetapi, ketika Ia melihat Abraham timbul di masa depan, Ia bersabda, “Lihat, Aku telah menemukan batu karang, petra, untuk mendirikan dan meletakkan pondasi dunia.” Maka Ia memanggil Abraham Karang, seperti disingkapkan dalam Yes. 51:1-2, “Pandanglah gunung batu yang dari padanya kamu terpahat.” (Yalkut Shimoni, Bamidbar, 23:766)
Melalui Abraham Ia membangun umat bagi diri-Nya. Melalui iman, Petrus mengenal Sang Mesias, Kristus, Yang Diurapi, Putera Allah yang tunggal. Perjanjian Baru menggambarkan Gereja sebagai rumah rohani yang dibangun di atas batu yang hidup, yakni persekutuan iman para anggotanya (bdk. 1Ptr. 2:5).
Simon, anak Yunus dan dikenal sebagai Petrus, memegang peran penting bagi tumbuh kembang komunitas yang didirikan Yesus. Walau bertemperamen kurang berpikir panjang, mudah naik darah, mudah goyah, ia bertindak seperti Yunus, yang mewartakan pertobatan dan belas kasih Allah ke negeri-negeri asing.
Yesus: Datang dan lihatlah
Saat dua orang murid Yohanes mengikuti-Nya di belakang, Yesus menoleh dan bertanya, “Apakah yang kamu cari?” (Yoh. 1:38). Pertanyaan-Nya menunjukkan Ia selalu mengambil prakarsa dan mengundang para murid untuk mengikuti-Nya.
Yesus tidak mendapat jawaban, tetapi pertanyaan, “Guru, di manakah Engkau tinggal?” Ia tidak menjawab, “Aku tinggal di Kapernaum di Galilea.” Ia menjawab (Yoh. 1:39), “Marilah dan kamu akan melihatnya.”, Venite et videbitis.
Ia mengundang kedua murid Yohanes dan tiap pribadi untuk berjumpa dengan-Nya dalam waktu yang lama, hingga “kira-kira pukul empat” (Yoh. 1:39). Paus Fransiskus mengajar, “Inilah yang membuat kita selalu merenung: setiap perjumpaan otentik dengan Yesus selalu hidup dalam ingatan. Perjumpaan itu tidak pernah dilupakan.
Kalian melupakan banyak perjumpaan, tetapi perjumpaan sejati dengan Yesus tetap berlangsung abadi. Bertahun-tahun kemudian, dua orang itu bahkan ingat waktu perjumpaan itu. Mereka tidak melupakan perjumpaan yang begitu membahagiakan, sempurna, dan mengubah hidup mereka.
Kemudian mereka pergi meninggalkan perjumpaan itu dan kembali menjumpai saudara-saudara mereka, dengan sukacita dan hati yang dipenuhi sinar kebahagiaan seperti air yang membanjiri sungai.
Satu dari kedua orang itu, Andreas, berkata kepada saudaranya, Simon, yang akan dinamai Yesus Petrus ketika Ia berjumpa dengannya, berkata, “Kami telah menemukan Mesias, yaitu: Kristus.” (Yoh. 1:41). Mereka yakin bahwa Yesus adalah Mesias.” (Angelus, Perpustakaan Istana Kepausan, 17 Januari 2021).
Perjumpaan pribadi dengan Yesus bermakna pula menjadi sahabat-Nya. Persahabatan itu diikat dengan kesediaan untuk selalu melakukan apa yang dikehendaki-Nya. Sabda-Nya (Yoh. 15:14), “Kamu adalah sahabat-Ku, jikalau kamu berbuat apa yang Kuperintahkan kepadamu.”, Vos amici mei estis, si feceritis, quae ego praecipio vobis.
Menjadi sahabat-Nya juga bermakna tinggal atau bersatu dengan-Nya. Sabda-Nya (Yoh. 6:56), “Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia.”, Qui manducat meam carnem et bibit meum sanguinem, in me manet, et ego in illo.
Tinggal bersama Yesus menjadi tahap pertama perkembagan iman/pengenal akan Yesus. Perjumpaan ini selalu bermakna untuk saling mengenal pribadi masing-masing, terlebih Pribadi-Nya. Inilah undangan-Nya (Yoh. 1:39), “Marilah dan kamu akan melihatnya.”, Venite et videbitis.
Katekese
Diapanggil untuk menemukan Mesias. Paus Fransiskus, 1936-sekarang:
Mari hening sebentar dan mengingat pengalaman perjumpaan kita dengan Kristus, yang memanggil kita untuk tinggal bersama-Nya. Tiap panggilan Allah selalu merupakan prakarsa kasih-Nya. Dialah yang selalu mengambil langkah pertama.
Ia memanggil kalian. Allah memanggil untuk hidup, Ia memanggil untuk iman, dan Ia memanggial untuk menghayati status hidup khusus, “Aku menghendaki kamu di sini.” Panggilan Allah yang pertama adalah untuk hidup, yang menjadi sarana bagi-Nya untuk menjadikan kita seorang pribadi. Inilah panggilan pribadi, karena Allah tidak membuat segalanya seragam.
Lalu Allah memanggil kita untuk beriman dan menjadi bagian dari keluarga-Nya sebagai anak-anak Allah. Akhirnya, Allah memanggil kita untuk menghayati status hidup khusus: memberikan seluruh hidup kita dengan mengambil jalan perkawinan, imamat atau hidup bakti. Status hidup itu berbeda-beda dalam cara untuk mewujudkan rencana Allah. […]
Sikap kita pada saat Ia memanggil sering berupa penolakan. Tidak… “Saya takut.”… Penolakan disebabkan panggilan itu berlawanan dengan keinginan kita. Bahkan kita takut karena panggilan itu terlalu menuntut dan membuat tidak nyaman. “Tidak, saya tak mungkin dapat melakukannya. Lebih baik tidak. Lebih baik menikmati hidup yang lebih tenang dan nyaman… Allah jauh di sana dan aku di sini.”
Tetapi panggilan Allah selalu merupakan kasih. Kita harus mencoba menemukan kasih di balik tiap panggilan. Panggilan itu harus ditanggapi hanya dengan kasih. Inilah bahasa itu: tanggapan pada panggilan yang berasal dari kasih: hanya kasih. Pada awal mula ada perjumpaan, atau lebih tepat: perjumpaan dengan Yesus, yang berbicara pada kita tentang Bapa-Nya. Ia membuat kita mengenal kasih-Nya.
Kemudian hasrat spontan tumbuh dalam diri kita untuk menyebarkannya pada orang-orang yang kita kasihi: “Aku telah bertemu dengan Kasih.”, “Aku telah bertemu dengan Mesias.”, “Aku telah bertemu dengan Yesus.”, “Aku telah menemukan makna hidupku.” Satu kalimat, “Aku menemukan Allah.” (Angelus, Perpustakaan Istana Kepausan, 17 Januari 2021).
Oratio-Missio
Tuhan, buatlah hatiku selalu mencari-Mu dan melaksanakan sabda-Mu dalam segala hal. Amin.
- Apa yang perlu aku lakukan sebagai jawaban atas pertanyaan-Nya, “Apakah yang kamu cari?’ (Yoh. 1: 38)? Atau “Berbicaralah, sebab hamba-Mu ini mendengar!” (1 Sam 3:10)?
Venite et videbitis – Ioannem 1:39