Minggu. Hari Minggu Biasa II (H)
- Yes. 62:1-5
- Mzm. 96:1-2a.2b-3.7-8a.9-10ac
- 1Kor. 12:4-11
- Yoh. 2:1-11
Lectio (Yoh. 2:1-11)
Meditatio-Exegese
Oleh karena Sion aku tidak dapat berdiam diri, dan oleh karena Yerusalem aku tidak akan tinggal tenang
Selama masa pembuangan, umat Israel menuduh Allah menyembunyikan wajah-Nya dari mereka (Yes. 45:15), “Sungguh, Engkau Allah yang menyembunyikan diri, Allah Israel, Juruselamat.”, Vere tu es Deus absconditus, Deus Israel, salvator.
Terlebih, Allah dianggap tinggal diam dan menindas mereka (Yes 64:12; bdk. 42:14; 57:11; 65:6). Mereka mudah menganggap Allah bertindak kejam karena membiarkan dalam kurun 50 tahun pembuangan.
Mereka lupa akan pelanggaran yang mereka lakukan ketika tidak setia pada perjanjian dengan Allah. Namun, Allah bersabar hati hingga maksud dan tujuan karya penebusan-Nya selesai dilaksanakan.
Allah menggunakan tangan Koresh, raja Persia, untuk membebaskan dan memulangkan umat Israel. Tahun 538 sebelum Masehi, maklumat raja Persia itu diumumkan: umat Israel diperbolehkan kembali ke tanah air, Yerusalem dan membangun kembali Bait Allah (2Taw. 36:22-23; Ezr 1:1-4).
Atas jasa membebaskan umat, Nabi Yesaya menyebut Koresh sebagai gembala dan yang diurapi, mesias, pembebas (bdk. Yes. 44:28; 45:1).
Dan Allah membutuhkan waktu sangat panjang untuk mendidik umat agar mereka mengimani bahwa Ia mengasihi mereka. Ia menebus, membebaskan dan menulihkan mereka.
Setelah pembebasan, Allah memenuhi janji untuk memulihkan dan menghapus kesalahan dan dosa mereka. Kitab Ezra dan Nehemia mencatat dengan rinci pembangungan kembali Yerusalem dan Bait Allah setelah bangsa Israel kembali dari pembuangan Babel kira-kira abad ke-6 sebelum Masehi (Ezr. 4; Neh. 4-5).
Melalui cara inilah Allah memulihkan nama baik bangsa Israel yang memancar ke seluruh penjuru seperti cahaya dan nyala suluh.
Saat tiap anggota umat Allah bertobat dan berpaut pada-Nya, Ia pasti menganugerahkan kebenaran dan keselamatan. Kebenaran dan keselamatan selalu bermakna tunggal: tindakan Allah untuk menyelamatkan manusia.
Maka Ia selalu berkenan tinggal bersama mereka masing-masing. Relasi yang mesra antara Allah dan umat dilukiskan seperti relasi suami-istri yang selalu dipenuhi dengan sukacita.
Sabda-Nya, “Sebab seperti seorang muda belia menjadi suami seorang anak dara, demikianlah Dia yang membangun engkau akan menjadi suamimu, dan seperti girang hatinya seorang mempelai melihat pengantin perempuan, demikianlah Allahmu akan girang hati atasmu.” (Yes. 62:5).
Umat sebagai pengantin perempuan hanya akan bersuka cita bila ia mampu menjadikan Allah pusat seluruh hidup dan perhatiannya (bdk. Yes. 62:4).
Relasi yang mesra dengan Allah juga ditandai dengan kehendak-Nya untuk memanggil tiap orang dengan nama masing-masing.
Bahkan Allah berkehendak agar tiap pribadi menjadi milik-Nya. Sabda-Nya (Yes. 43:1), “karena Aku telah menebus engkau, Aku telah memanggil engkau dengan namamu, engkau ini kepunyaan-Ku.”, quia redemi te et vocavi te nomine tuo; meus es tu.
Dan dalam tradisi Kitab Suci, pribadi yang dekat dengan Allah sering mengalami perubahan nama: Abram menjadi Abraham (Kej. 17:5); Yakub menjadi Israel (Kej. 32:28); Simon menjadi Petrus (Mat. 16:18) dan Saulus menjadi Paulus (Kis. 13:9).
Terlebih umat Allah yang baru didirikan disebut dengan nama baru sebagai Sion atau Yesusalem (Yes. 62:1-2; bdk. Ibr. 12:22-24).
Perkawinan di Kana yang di Galilea, dan ibu Yesus ada di situ
Yesus, ibuNya dan para murid menghadiri pesta perkawinan kerabat mereka di Kana, sekarang Kefr Kanna, kira-kira 7 kilometer timur laut Nazaret, di jalur jalan ke kota Tiberias di tepi dekat Kapernaum, di wilayah suku Zebulon.
Ada juga desa Kana lain di tanah milik Suku Aser, dekat Sidon (Lih. Yos. 19:28).
Tamu yang disebut pertama kali adalah Ibu Maria. Santo Yusuf, suaminya, tidak disebut. Tradisi Gereja mengisahkan bahwa ketidak hadiran Santo Yusuf menandakan bahwa ia sudah meninggal dunia sebelum Yesus memulai karya pelayanan di Galilea.
Pesta yang mereka hadiri berlangsung selama sepekan, sesuai dengan tradisi bangsa Israel saat itu, seperti perkawinan Simson dengan perempuan Filistin di Timna (Kej. 29:27; Hak. 14:1-19; Ayb. 9:12; 10:1).
Dalam tiap pesta perkawinan kerabat, kenalan, sahabat, tetangga dan undangan datang untuk menyambut kedua mempelai.
Di jaman itu, di Palestina, orang yang kebetulan melintas pun diundang untuk hadir. Pesta itu juga menjadi meriah karena anggur.
Dan para perempuan mengelola perjamuan makan. Ibu Maria mengambil peran membantu mengelola atau mengatur makan dan minum; maka, ia segera sadar bahwa persediaan anggur sudah habis.
Yesus diundang juga ke perkawinan itu
Beato Bede menulis dengan indah, “Untuk menunjukkan bahwa seluruh tahap hidup manusia diberkati, […] Yesus bersedia dilahirkan melalui rahim Perawan Maria; segera setelah Ia lahir, ia menerima pujian dari mulut Nabia Hana, seorang janda; dan kemudian, dalam masa muda-Nya diundang untuk menghadiri perkawinan. Yesus menghormati perkawinan melalui kehadiran-Nya (Homily 13 untuk Minggu kedua sesudah Epifani).
Kehadiran Kristus dalam perkawinan kerabat-Nya di Kana menjadi tanda bahwa Ia memberkati kasih antara laki-laki dan perempuan yang disatukan dalam perkawinan: Allah membentuk lembaga perkawinan pada awal mula penciptaan (bdk. Kej. 1:27-28).
Yesus meneguhkan perkawinan itu dan mengangkatnya hingga bermartabat tinggi sebagai sakramen, tanda dan sarana Allah mengasihi manusia (bdk. Mat. 19:6)
Mau apakah engkau dari pada-Ku, ibu? Saat-Ku belum tiba
Ibu Maria hanya muncul dua kali dalam Injil Yohanes: di pesta perkawinan di Kana (Yoh. 2:1-11) dan di Kalvari (Yoh. 19:25).
Dalam kedua peristiwa ini Ibu Maria mengambil peran aktif dalam karya penyelamatan Anaknya.
Penginjil menekankan keterlibatan dan kehadiran Ibu Maria dalam karya penyelematan dengan menempatkan kehadirannya di awal karya Yesus di Kana dan di akhir karya pelayanan-Nya di Kalvari.
Pada saat di bawah salib, ia membersembahkan kepada Bapa kematian Anaknya untuk menyelamatkan dan menebus manusia.
Dan, akhirnya, ia bersiap menerima tugas perutusan yang diberikan Anaknya untuk menjadi Ibu bagi semua orang, yang diwakili oleh murid yang dikasihi-Nya di Kalvari. Sabda-Nya (Yoh. 19:27), “Inilah ibumu”, Ecce mater tua.
Gelar yang disandangnya sebagai Ibu selalu bermakna bahwa Ibu Maria memberikan hati dan perhatian kepada siapa saja. Ia meminta agar Anaknya melakukan sesuatu baginya walau saat-Nya belum tiba.
Saat pesta berlangsung, suatu kejadian memalukan terjadi. Tuan rumah kehabisan anggur. Pasti hal ini akan menampar muka kerabat Ibu Maria.
Maka ia berkata kepada Anaknya, “Mereka kehabisan anggur” (Yoh. 2:4). Jawaban Yesus (Yoh. 2:4), “Mau apakah engkau dari pada-Ku, ibu? Saat-Ku belum tiba.”, Quid mihi et tibi, mulier? Nondum venit hora mea.
Jawaban ini nampaknya mengecewakan hati sang ibu. Ia tidak disapa sebaga ibu atau mater (Latin), tetapi sebagai perempuan atau mulier.
Sapaan ini sebenarnya merupakan pujian, karena ibu-Nya selalu taat pada kehendak Bapa-Nya (Luk. 1:38), “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.”, Ecce ancilla Domini; fiat mihi secundum verbum tuum.
Saat-Ku belum tiba. Ungkapan saat, hora (Latin) kadang digunakan Yesus untuk mengacu pada saat Ia datang dalam kemuliannya (bdk. Yoh. 5:28).
Tetapi umumya kata itu mengacu pada saat Ia menanggung sengsara wafat dan dibangkitkan dari kematian (bdk. Yoh. 7:30; 12:23; 13:1; 17:1).
Maka ia berkata kepada para pelayan di situ, “Apa yang dikatakan kepadamu, buatlah itu!” (Yoh. 2:5).
Inilah kata-kata terakhir yang diucapkan Ibu Maria dalam seluruh Injil. Ia yakin bahwa Anaknya akan melakukan sesuatu untuk mengatasi situasi yang menyebabkan ketidak nyamanan dalam relasi sosial.
Mengapa persediaan anggur sampai habis? Mungkin Yesus berperan serta dalam kejadian ini, karena Ia membawa serta para muridNya untuk datang ke pesta.
Anggur selalu disajikan dalam pesta-pesta, termasuk pesta perkawinan (1Sam. 25:36; Yoh. 2:1-11).
Untuk menambah rasa harum dicampurkan rempah-rempah atau mur. Anggur disimpan di guci-guci atau kantung kulit (Mat. 9:17).
Peristiwa kekurangan anggur ini digunakan Yesus untuk memberi berkat tidak hanya kepada mempelai; tetapi juga kepada semua orang yang hadir.
Masing-masing menerima anggur terbaik dalam kelimpahan.
Ia hadir dalam hidup masing-masing serta mengubah hidup masing-masing orang yang percaya kepadaNya. Kekurangan anggur selalu menjadi lambang tiadanya berkat dan penebusan dari Allah (Ul. 28:30.31.38.39; Hos. 2:10-11; Yl. 1:5; Am. 5:11).
Sedangkan kelimpahan anggur bermakna warta suka cita bahwa jaman Mesias telh datang disertai dengan anugerah dan berkat-Nya (Yl. 2:19.24; 4:18; Am. 9:13-15; Yer. 31:12-13).
Ia telah menyatakan kemuliaan-Nya
Pesta perkawinan selalu merupakan perayaan terbesar dalam hidup kebanyakan orang. Dalam pesta ini berkumpullah seluruh anggota keluarga, sanak saudara, sahabat, tetangga.
Pesta yang mengumpulkan semua kerabat dan sabat selalu menjadi peristiwa yang tak terlupakan.
Namun, dalam tradisi Gereja Katolik, hal yang sama juga terjadi dalam periswa pentahbisan iman, pengikraran kaul kekal, yang bisa disamakan dengan pesta perkawinan.
Bagi bangsa Israel, khususnya Yesus, pesta perkawinan juga memiliki makna spiritual. Pesta perkawinan selalu menjadi lambang perjanjian antar Allah dengan manusia. Perjanjian Lama menggambarkan Allah sebagai Sang Mempelai Israel.
Allah dan bangsa Israel mengikatkan diri dalam perjanjian yang digambarkan sebagai perkawinan rohani (Yes. 54:5; Yer. 3:14; Hos. 2:16, 19-20).
Lambang perkawinan surgawi sangat kuat dicerminkan dalam pesta perkawinan Anak Domba (Why. 19:7-9).
Kitab Suci ditutup dengan undangan untuk menghadiri pesta yang indah dan megah ini, “Roh dan pengantin perempuan itu berkata, “Marilah.” (Why. 22:17).
Maka, Yesus memilih pesta perkawinan untuk menyingkapkan tanda-Nya yang pertama. Kemudian Yohanes Pembaptis memberi kesaksian yang memperjelas tanda kehadiran-Nya, ketika ia bersaksi Yesus sebagai mempelai laki-laki bagi umat-Nya dan suka citanya telah penuh karena ia telah mendengar suara Sang Mempelai (Yoh. 3:29).
Yesus juga menyingkapkan perannya sebagai mempelai bagai umat Israel yang baru (bdk. Mrk. 2:18-20; Mat. 9:14-15; Mat. 22:1-14; Mat. 25:6), ketika Ia mengundang semua bangsa baik bangsa Yahudi maupun bangsa asing dalam perjamuan abadi di akhir jaman (Luk. 13:29).
Katekese
Ibu Maria hadir dalam karya pelayanan Anaknya. Konsili Vatikan II, 1964
“Dalam hidup Yesus di muka umum tampillah Bunda-Nya dengan penuh makna, pada permulaan, ketika pada pesta pernikahan di Kana yang di Galilea ia tergerak oleh belaskasihan, dan dengan perantaraannya mendorong Yesus Almasih untuk mengerjakan tanda-Nya yang pertama (lih. Yoh. 2:1-11).
Dalam pewartaan Yesus ia menerima sabda-Nya, ketika Puteranya mengagungkan Kerajaan di atas pemikiran dan ikatan daging serta darah, dan menyatakan bahagia mereka yang mendengarkan dan melakukan sabda Allah (lih. Mrk. 3:35 dan paralel; Luk. 11:27-28), seperti dijalankannya sendiri dengan setia (lih. Luk. 2:19 dan 51).
Demikianlah Santa Perawan melangkah maju dalam peziarahan iman. Dengan setia ia mempertahankan persatuannya dengan Puteranya hingga di salib, ketika ia sesuai dengan rencana Allah berdiri di dekatnya (lih. Yoh. 19:25).
Di situlah ia menanggung penderitaan yang dahsyat bersama dengan Puteranya yang tunggal.
Dengan hati keibuannya ia menggabungkan diri dengan korban-Nya, dan penuh kasih menyetujui persembahan korban yang dilahirkannya. Dan akhirnya oleh Yesus Kristus itu juga, menjelang wafat-Nya di kayu salib, ia dikaruniakan kepada murid menjadi Bundanya dengan kata-kata ini: “Wanita, inilah anakmu.” (lih. Yoh. 19:26-27).” (Konstitusi Dogmatis, Tentang Gereja Lumen Gentium (Terang Bangsa-bangsa), 58)
Oratio-Missio
Tuhan, Engkau telah menyingkapkan kemuliaan-Mu dalam diri Yesus Kristus. Penuhilah aku dengan Roh Kudus-Mu agar aku mampu memuliakan-Mu dalam tiap tindakan dan perkataanku. Amin.
- Apa yang perlu aku lakukan untuk mempersiapkan dan menyambut kehadiran-Nya dalam perkawinan, imamat atau kaulku?
Quid mihi et tibi, mulier? Nondum venit hora mea – Ioannem 2:4