Senin. Pekan Biasa XV (P)
- Kel. 1:8-14.22
- Mzm. 124:1-3.4-6.7-8
- Mat. 10:34-11:1
Lectio (Mat. 10:34-11:1)
Meditatio-Exegese
Marilah kita bertindak dengan bijaksana terhadap mereka
Dilukiskan keadaan bangsa Israel di Mesir sepeninggal Yusuf. Mereka makin bertambah banyak dan kuat (Kel. 1:12). Dan untuk pertama kali Kitab Suci menyebut mereka sebagai bangsa Israel (Kel. 1:9).
Salah satu tahap terpenting adalah kesadaran akan satu bangsa atau umat yang dipilih Allah dan dipanggil untuk ambil bagian dalam karya penyelamatan-Nya. Mereka bukan lagi segerombolan suku atau keluarga.
Konsili Vatikan II mengajar, “Allah yang mahakasih dengan penuh perhatian merencanakan dan menyiapkan keselamatan segenap umat manusia. Dalam pada itu Ia dengan penyelenggaraan yang istimewa memilih bagi diri-Nya suatu bangsa, untuk diserahi janji-janji-Nya.” (Konstitusi Dogmatik tentang Wahyu Ilahi, Dei Verbum, 14).
Di samping sebagai bangsa, pada saat yang sama, mereka mengidentifikasi diri sebagai keturunan Abraham dan Umat Perjanjian seperti dikukuhkan dalam Perjanjian Sinai. Yesus, Orang Nazaret, mengidentifikasikan Diri-Nya sebagai anggota bangsa itu (bdk. Kis. 3:25; Katekismus Gereja Katolik, 527).
Di samping itu, dilukiskan dua kutub yang berseberangan: bangsa Mesir dan bangsa Israel. Bangsa Mesir dikuasai para firaun, kejam dan menindas. Sedangkan bangsa Israel selalu menjadi korban penindasan. Maka, tahap-tahap perlawanan untuk pembebasan mereka berlangsung perlahan seiring perjalanan waktu.
Tak diketahui pasti siapa raja Mesir yang baru berkuasa saat itu. Mungkin Rameses II, awal abad ke-13 sebelum Masehi, dari dinasti kesembilan belas. Firaun ini mengambil prakarsa pengendalian atas orang asing dan pendatang.
Ungkapan ‘yang tidak mengenal Yusuf’ menunjukkan keadaan bangsa Israel yang tidak memiliki harapan dan tanpa perlindungan. Memang, bangsa itu tidak memiliki pengaruh secara politik, tetapi digunakan Allah untuk melaksanakan rencana-Nya.
Melihat bangsa Israel semakin besar dan kuat, orang Mesir merencanakan dengan cerdas cara-cara untuk membuat mereka lemah. Mereka dipaksa dan diperbudak untuk membangun kota perbekalan, Pitom dan Raamses, yang terletak di sisi timur kerajaan.
Temuan-temuan arkeologis menunjukkan reruntuhan Pitom, tempat Dewa Athon bersemayam, beberapa kilo meter dari kota Ishmailia, tidak jauh dari Terusan Suez. Kuil Dewa Athon terbuat dari batu bata besar.
Sedang kota Raamses agak sukar diidentifikasi. Diduga kota itu adalah Avaris, ibu kota saat dinasti-dinasti Firaun pendatang berkuasa. Kemungkinan kota itu di dekat Port Said, di sebelah timur delta Sungai Nil.
Di kota itu ditemukan juga reruntuhan kuil yang dibangun Rameses II, 1279-1212 sebelum Masehi. Mungkin dialah firaun yang disebutkan dalam kisah ini.
Pada masa Mesir kuna, rakyat, khususnya orang asing, biasa bekerja untuk para penguasa, firaun. Banyak kota, makam raja, irigasi, kuil dan bangunan lain dibangun dengan cara ini.
Tetapi, para penulis suci menyebut secara khusus untuk bangsa Israel sebagi rodi atau perbudakan. Orang Mesir memaksa seluruh bangsa itu bekerja di luar batas dan memperlakukan dengan kejam.
Di samping kerja paksa, tiap bayi laki-laki dari bangsa itu dibunuh saat lahir. Bayi yang dibunuh dibuang di Sungai Nil untuk menjadi mangsa hewan buas, antara lain: buaya. Diharapkan mereka tidak bertambah dalam jumlah karena perkawinan.
Kata orang Mesir, “Marilah kita bertindak dengan bijaksana terhadap mereka, supaya mereka jangan bertambah banyak lagi dan -jika terjadi peperangan- jangan bersekutu nanti dengan musuh kita dan memerangi kita, lalu pergi dari negeri ini.” (Kel. 1:10).
Santo Isidorus dari Sevilla membandingkan situasi ini dengan situasi umat manusia setelah jatuh dalam dosa. Manusia diperbudak setan, yang sering memperbudak.
Sama dengan firaun yang memaksa rodi untuk membuat semen dan batu bata, iblis memaksa manusia berdosa “melakukan kerja berat, kasar dan sering dicampur dengan mengolah jerami, yakni tidakan licik dan tidak masuk akal sehat.” (Quaestiones In Exodum, 3).
Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang
Selalu Yesus berbicara tentang damai (Mat. 5:9; Mrk. 9:50; Luk. 1:79; 10:5; 19:38; 24:36; Yoh. 14: 27; 16:33; 20:21.26). Tetapi sabda-Nya, “Jangan kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi; Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang.” seolah bertentangan dengan damai dari-Nya.
Jelas, Yesus tidak pernah menghendaki pedang, seperti yang digunakan untuk menetak telinga Malkhus (Yoh. 18:10-11). Ia juga tidak pernah menghendaki perpecahan. Ia menghendaki semua bersatu dalam kebenaran (bdk. Yoh. 17:17-23).
Aku datang untuk memisahkan orang. Pada saat Injil Matius ditulis, pewartaan kebenaran bahwa Yesus adalah Sang Mesias menyebabkan perpecahan di kalangan orang Yahudi. Dalam keluarga atau komunitas, perpecahan terjadi; yang satu percaya, sedangkan yang lain menolak.
Warta Sukacita benar-benar menjadi sumber perpecahan. Yesus menjadi ‘tanda yang menimbulkan perbantahan’ (Luk. 2:34), atau, Ia datang membawa pedang.
Maka, dapat dimengerti bila dalam keluarga dan komunitas iman terjadi perbantahan, “orang dari ayahnya, anak perempuan dari ibunya, menantu perempuan dari ibu mertuanya, dan musuh orang ialah orang-orang seisi rumahnya.” (Mat. 10: 35-36).
Situasi serupa masih juga dialami hingga saat ini. Orang bisa menerima Warta Sukacita dengan sukacita. Sebaliknya, yang lain menolak Warta Sukacita, bahkan membencinya.
Ia tidak layak bagi-Ku. Santo Lukas mengungkapkan tuntutan yang jauh lebih keras dan radikal, “Jikalau seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku.” (Luk. 14:26).
Sabda-Nya sangat keras, bahkan terkesan bertentangan dengan perintah keempat: mengasihi dan menghormati bapa-ibu (Mrk. 7:10-12; Mat. 19:19). Terlebih, dalam keadaan kesulitan sosio-ekonomi, politik, kesehatan, keamanan – persekusi, pengkhianatan, bahkan pembunuhan. Sering dalam situasi sulit orang hanya memperhatikan keselamatan diri sendiri dan keluarga intinya saja.
Yesus mau menekankan bahwa Kabar Sukacita, Injil, menjadi tolok ukur tertinggi dalam hidup. Tolok ukur yang ditetapkan-Nya adalah semakin hilangnya mentalitas individualistik, hanya mementingkan diri dan lingkaran seputar diri sendiri.
Dampak buruk mentalitas ini: hancurnya solidaritas di antara anggota komunitas iman dan pewartaan Kabar Sukacita menjadi tidak mungkin. Maka, Ia membongkar pemahaman sempit tentang kasih dan penghormatan pada keluarga inti.
Perintah keempat diinterpretasikan sesuai dengan kehendak Allah, yakni hidup dalam persaudaraan kasih. Lalu, siapa yang menjadi ibu Yesus dan saudara-saudariNya?
Saat orang banyak duduk mengelilingi Yesus, mereka berkata, “Lihat, ibu dan saudara-saudara-Mu ada di luar, dan berusaha menemui Engkau.”
Jawab Yesus, “Siapa ibu-Ku dan siapa saudara-saudara-Ku?” Ia melihat kepada orang-orang yang duduk di sekeliling-Nya itu dan berkata “Ini ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku. Barangsiapa melakukan kehendak Allah, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku” (bdk. Mrk 3:32-35).
Ia memperluas makna keluarga. Makna ini terus dipertahankan hingga sekarang. Namun, keluarga inti tetap memiliki peran sebagai tempat persemaian benih iman di antara suami-isteri dan, bila dianugerahi, anak-anak. Keluarga menjadi Gereja kecil, familia est Ecclesiola.
Tiap murid dituntut sangat berat. Mereka memanggul salib dan mengikuti jejak langkah kaki-Nya. Ia bersabda, “Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak layak bagi-Ku” (Mat. 10:38).
Santo Paulus bangga akan salib (Gal. 6:14), “Tetapi aku sekali-kali tidak mau bermegah, selain dalam salib Tuhan kita Yesus Kristus, sebab olehnya dunia telah disalibkan bagiku dan aku bagi dunia.”, mihi autem absit gloriari nisi in cruce Domini nostri Iesu Christi per quem mihi mundus crucifixus est et ego mundo.
Namun, Yesus ternyata juga membesarkan hati para murid-Nya, “Barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya.” (Mat. 10:39).
Setiap murid yang menjadikan Yesus sebagai Jalan, Kebenaran dan Hidup (Yoh. 14:6), rela mengorbankan nyawa untuk Sahabatnya (bdk. Yoh. 15:13). Dengan cara ini ia memelihara nyawanya untuk hidup kekal (Yoh. 15:25).
Barangsiapa menyambut kamu, ia menyambut Aku
Para murid mengidentifikasi diri dengan Yesus. Mereka sering disebut sebagai Yesus yang lain, alter Iesus. Maka, siapa pun menyambut murid Yesus, mereka menyambut Yesus sendiri; maka, dalam penyambutan itu terjadi juga penyambutan pada Allah, yang mengutus Yesus.
Para murid yang diutus Yesus disambut sebagai nabi, utusan Alah. Mereka seharusnya dikenali karena peri hidup suci, melaksakan hukum Allah. Murid Yesus yang hidup sebagai orang benar pasti disambut sebagai orang benar, karena ia menempatkan diri sebagai yang terkecil dalam Kerajaan Surga (Luk. 9:48).
Barangsiapa memberi air sejuk secangkir saja pun. Kerajaan Allah tidak dibangun dari bahan yang besar dan hebat, tetapi dari tindakan sederhana dan kecil, bahkan dari sekedar memberi seteguk air minum.
Dalam film klasik Ben Hur, dikisahkan Yesus memberi seteguk air untuk Ben Hur. Saat itu tawanan Romawi itu kehausan karena diseret untuk dijadikan budak di kapal perang Romawi. Kelak, Ben Hur membalas saat Yesus memanggul salib ke Kalvari.
Sabda-Nya, “Dan barangsiapa memberi air sejuk secangkir sajapun kepada salah seorang yang kecil ini, karena ia murid-Ku, Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya ia tidak akan kehilangan upahnya dari padanya.” (Mat. 10:42).
Ungkapan ‘salah seorang yang kecil’ bermakna sama dengan Yesus sendiri (Mat. 25:40), “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.”, Quamdiu fecistis uni de his fratribus meis minimis, mihi fecistis.
Maka, sabda-Nya meneguhkan. Yesus mengundang siapa saja untuk turut ambil bagian dalam membangun Kerajaan-Nya melalui sumbang sih, yang seolah kecil, tidak diperhatikan mata manusia. Dengan cara sederhana dan kecil pula, tiap murid diutus mewartakan Kerajaan Allah ke segala penjuru dunia.
Katekese
Bagaimana damai-sejahtera menuntut sebilah pedang. Santo Yohanes Chrysostomus, 347-407:
“Damai-sejahtera macam apa yang diminta Yesus untuk diwartakan ketika para murid memasuki tiap rumah? Dan damai-sejahtera macam apa yang dikidungkan para malaikat, “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai-sejahtera di bumi”?
Dan jika Yesus datang tidak untuk membawa damai-sejahtera, mengapa seluruh jajaran para nabi mewartakan damai-sejahtera sebagai Kabar Sukacita? Karena damai-sejahtera ini mengatasi segala hal: ketika penyakit disembuhkan.
Inilah damai-sejahtera : ketika penyakit kanker dihancurkan. Hanya dengan cara ini dokter menjaga kesehatan seluruh jaringan tubuh. Bagian yang menyebabkan penyakit harus dipotong.
Hanya dengan cara ini komandan militer menjaga damai-sejahtera: dengan memadamkan pemberontakan. Maka, pemberontakan juga mencakup kisah Menara Babel, yakni damai yang mengandung kejahatan diruntuhkan karena berlawanan dengan kebaikan. Damai-sejahtera, dengan demikian, dipenuhi.” (The Gospel Of Matthew, Homily 35.1).
Oratio-Missio
Tuhan, tiada sebiji mata melihat, selembar daun telinga mendengar, sekeping hati memahami segala hal yang Engkau sediakan bagi mereka yang mengasihi-Mu. Kobarkanlah hati kami dengan nyala api Roh Kudus, agar kami mampu mengasihi-Mu di dalam dan atas segala hal. Agar kami menerima anugerah yang telah Engkau janjikan melalui Kristus, Tuhan kami. Amin. (A Christian’s Prayer Book, terjemahan bebas).
- Apa yang telah aku kerjakan untuk ambil bagian dalam membangun Kerajaan-Nya?”
Et, quicumque potum dederit uni ex minimis istis calicem aquae frigidae tantum in nomine discipuli, amen dico vobis: Non perdet mercedem suam -Matthaeum 10: 42