Minggu. Pekan Paskah III (P)
- Kis.3:13-15.17-19
- Mzm.4:2.4.7.9
- 1Yoh.2:1-5a
- Luk. 24:35-48
Lectio
35 Lalu kedua orang itupun menceriterakan apa yang terjadi di tengah jalan dan bagaimana mereka mengenal Dia pada waktu Ia memecah-mecahkan roti. Dan sementara mereka bercakap-cakap tentang hal-hal itu, Yesus tiba-tiba berdiri di tengah-tengah mereka dan berkata kepada mereka: “Damai sejahtera bagi kamu.”
37 Mereka terkejut dan takut dan menyangka bahwa mereka melihat hantu. 38 Akan tetapi Ia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu terkejut dan apa sebabnya timbul keragu-raguan di dalam hati kamu?
39 Lihatlah tangan-Ku dan kaki-Ku: Aku sendirilah ini; rabalah Aku dan lihatlah, karena hantu tidak ada daging dan tulangnya, seperti yang kamu lihat ada pada-Ku.”
40 Sambil berkata demikian, Ia memperlihatkan tangan dan kaki-Nya kepada mereka. 41 Dan ketika mereka belum percaya karena girangnya dan masih heran, berkatalah Ia kepada mereka: “Adakah padamu makanan di sini?” 42 Lalu mereka memberikan kepada-Nya sepotong ikan goreng.
43 Ia mengambilnya dan memakannya di depan mata mereka. 44 Ia berkata kepada mereka: “Inilah perkataan-Ku, yang telah Kukatakan kepadamu ketika Aku masih bersama-sama dengan kamu, yakni bahwa harus digenapi semua yang ada tertulis tentang Aku dalam kitab Taurat Musa dan kitab nabi-nabi dan kitab Mazmur.”
45 Lalu Ia membuka pikiran mereka, sehingga mereka mengerti Kitab Suci. 46 Kata-Nya kepada mereka: “Ada tertulis demikian: Mesias harus menderita dan bangkit dari antara orang mati pada hari yang ketiga,
47 dan lagi: dalam nama-Nya berita tentang pertobatan dan pengampunan dosa harus disampaikan kepada segala bangsa, mulai dari Yerusalem. 48 Kamu adalah saksi dari semuanya ini.
Meditatio-Exegese
Kedua orang itupun menceriterakan bagaimana mereka mengenal Dia
Santo Lukas mengisahkan tentang perjalanan iman dan campur tangan rahmat Allah dalam peristiwa sejarah manusia. Yohanes Pembaptis mempersiapkan jalan bagi Tuhan yang segera darang (Luk. 1:76) dan berseru-seru di padang gurun untuk menyiapkan jalan yang lurus bagi-Nya (Luk. 3:4).
Ibu Maria segera pergi ke pegunungan Yehuda ke rumah saudarinya, Elizabet (Luk. 1:39). Yesus, Sang Jalan Allah (Luk. 20:21), berjalan di tengah-tengah perjuangan hidup manusia dan mengarahkan pada jalan damai sejahtera (Luk. 1:79) dan jalan kehidupan (Kis. 2:28).
Yesus sendiri telah menempuh jalan itu terlebih dahulu. Setelah kebangkitan-Nya, Ia juga menempuh peziarahan bersama murid-murid-Nya (Luk. 28:32). Ia terus memimpin peziarahan Gereja untuk selalu menemukan diri bahwa Ia tetap berziarah menuju kepenuhan keselamatan (Kis. 18:25).
Maka, Gereja terus berziarah menuju kepenuhan keselamatan, Allah sendiri (Kis. 16:17). Gereja dipanggil untuk menghayati dan menunjukkan kepada setiap orang dari segala bangsa untuk mengikuti Jalan Allah (bdk. Kis. 14:16).
Sebagai milik Allah, dalam kebersamaan tiap orang berziarah menuju Allah.
Sekembali dari Emaus, kedua murid itu mengisahkan apa yang terjadi selama dalam perjalanan dan bagaimana mereka mengenal Tuhan ketika Ia memecah-pecah roti. Pengalaman berjumpa dengan Sang Hidup mengarahkan masing-masing orang untuk kembali ke jalan yang dikehendaki-Nya.
Masing-masing diundang untuk menilik kembali kisah hidup dan mengenali kehadiran-Nya dalam tiap peristiwa hidup. Dan dalam kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan, tiap murid diundang untuk mengenali Kristus dalam Kitab Suci dan ketika Ia memecah-pecahkan rori, Ekaristi.
Yang dialami kedua murid di Emaus adalah pembalikan peristiwa kejatuhan manusia dalam dosa. Mata Adam dan Hawa terbuka (Kej. 3:7) dan mata kedua murid itu terbuka (Kis. 24:31.35).
Digunakan ungkapan identik dalam Septuaginta, Kitab Suci Perjanjian Lama berbahasa Yunani dan diakui Gereja Katolik, διηνοιχθησαν οι οφθαλμοι, dienoichthesan hoi ophthalmoi, mata mereka dibuka.
Dalam kisah kejatuhan manusia, mata mereka dibuka untuk melihat kedosaan dan ketelanjangan. Dalam kisah di Emaus, Yesus ‘membuka’ mata mereka tidak hanya untuk menangkap makna Kitab Suci tentang Diri-Nya.
Ia juga ‘membuka’ mata mereka untuk melihat kehadiran-Nya saat pemecahan roti, Ekaristi.
Damai sejahtera bagi kamu
Suasana hati para murid Yesus, kesebelas rasul dan para murid lainnya, diliputi perasaan takut dan tak percaya. Mereka ketakutan karena merasa diancam dan dikejar-kejar Majelis Agama Yahudi, Sanhedrin (Yoh. 20:19) atas kedekatan mereka dengan Yesus.
Mereka juga telah kehilangan harapan akan Mesias yang akan membebaskan mereka dari penjajahan asing dan mengantar pada kejayaan kerajaan Israel. Mereka juga tidak percaya pada kesaksian para perempuan yang telah menjadi saksi kebangkitan-Nya.
Maka, saat Ia hadir di tengah-tengah mereka, mereka menyangka Ia adalah hantu. Tidak mudah ternyata mempercayai Yesus yang telah bangkit dari antara orang mati. Saat Ia hadir, mereka mengira berjumpa dengan hantu atau roh, πνευμα, pneuma.
Pengalaman ini mengingatkan pada pengalaman atas ketidakpercayaan dan ketakutan mereka ketika Yesus berjalan di atas air danau yang bergolak. Mereka berteriak (bdk. Mat 14:26; Mrk 6:39), “Itu hantu.”, οτι φαντασμα, hoti phantasma.
Tetapi, Ia membantu untuk memulihkan iman. Ia selalu menyapa (bdk. Yoh. 14:27; 16:33; 20:19.21.26), “Damai sejahtera bagi kamu!”, ειρηνη υμιν, eirene humin, pax vobis. Sapaan ‘Damai sejahtera bagi kamu’ selalu bermakna bahwa Allah mengambil prakarsa dan mengulurkan belas kasih-Nya untuk menyelamatkan manusia.
Santo Paus Yohanes Paulus II mengajarkan, “Dalam kebangkitan-Nya, Kristus telah mengungkapkan Allah yang penuh belas kasih, justru karena Ia menerima salib sebagai jalan menuju kebangkitan. Oleh karena itu – ketika kita ingat akan salib Kristus, sengsara dan kematian-Nya– iman dan pengharapan kita berpusat pada Dia yang telah bangkit.
Pada Kristus itu, yang “ketika hari sudah malam, pada hari pertama minggu itu … berdiri di tengah-tengah mereka” di Ruang Atas, “di mana para murid berada….
Menghembusi mereka dan berkata kepada mereka, “Terimalah Roh Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada.” (Yoh. 20:19-23).
Inilah Putra Allah, yang dalam kebangkitan-Nya, secara radikal mengalami belas kasih yang ditunjukkan kepada-Nya, yakni kasih Bapa yang lebih kuat daripada kematian.
Dan juga adalah Kristus yang sama, yakni Putera Allah, yang pada akhir perutusan mesianik-Nya – dan dalam arti tertentu, bahkan melampauinya – mengungkapkan diri-Nya sebagai sumber belas kasih yang tiada habis-habisnya.
Dia juga merupakan sumber kasih yang sama, yang, dalam perspektif berikutnya dari sejarah keselamatan dalam Gereja, untuk selamanya ditegaskan sebagai lebih kuat daripada dosa. Kristus Paskah adalah inkarnasi belas kasih yang definitif dan tanda-yang-hidup dalam sejarah keselamatan dan eskatologi.
Dalam semangat yang sama, liturgi Perayaan Paskah menempatkan pada bibir kita, kata-kata dari mazmur (Mzm. 89(88):2), “Aku hendak menyanyikan kasih setia Tuhan selama-lamanya.”, Misericordias Domini in aeternum cantabo.” (dikutip dari Ensiklik Dives in Mesericordia, 8).
Setelah mengucapkan salam, Ia menunjukkan kedua tangan dan kaki-Nya, seraya berkata, “Lihatlah tangan-Ku dan kaki-Ku: Aku sendirilah ini; rabalah Aku dan lihatlah.” (Luk. 24:39). Ia menunjukkan tangan dan kaki-Nya yang ditembus paku ketika disalibkan (bdk. Yoh. 20:25-27).
Ia adalah Yesus Kristus yang sama dengan yang mereka saksikan digantung di kayu salib, bukan hantu atau roh, karena kebangkitan adalah kebangkitan seluruh pribadi, tubuh dan roh.
Namun, apa yang dilakukan Yesus rupanya tidak cukup untuk menghapus keraguan. Santo Lukas melukiskan mereka tidak dapat mempercayai karena mereka begitu kegirangan sehingga membuat mereka tidak mampu berpikir jernih.
Maka, Ia meminta sepotong ikan dan memakannya di depan mata mereka. Ia membantu mereka mengusir keraguan atas kebenaran iman: Ia telah bangkit dari antara orang mati.
Harus digenapi semua yang ada tertulis tentang Aku
Sulit bagi para murid menerima kebenaran bahwa Mesias atau Kristus harus mati di salib. Kepercayaan Yahudi yang melekat dalam benak mereka menyatakan orang yang disalib pasti dikutuk Allah (Ul. 21:22-23). Maka, Yesus harus menerangkan dan menafsirkan seluruh kebenaran tentang diri-Nya yang termuat dalam Kitab Suci.
Terlebih, nubuat Nabi Yesaya tentang Hamba Yahwe menyingkapkan bahwa Mesias harus menderita sengsara, dipukuli, ditindas dan dibunuh, tetapi pada hari ketiga Ia dibangkitkan. Dan kini Ia hadir di tengah mereka, sehingga menjadi titik tolak untuk memahami makna seluruh sabda Allah dalam Kitab Suci.
Apa yang diajarkan Yesus secara lisan pada para pelayan Kerajaan-Nya dan disampaikan dan ditemukan dalam tulisan-tulisan Perjanjian Baru, dalam tulisan para Bapa Gereja dan dalam ajaran Gereja. Inilah dasar tradisi dalam Gereja Katolik.
Para pelayan Gereja-Nya diberi wewenang menafsirkan Kitab Suci, seperti pesan Santo Petrus, ”Yang terutama harus kamu ketahui, ialah bahwa nubuat-nubuat dalam Kitab Suci tidak boleh ditafsirkan menurut kehendak sendiri, sebab tidak pernah nubuat dihasilkan oleh kehendak manusia, tetapi oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah.” (2Ptr. 1:20-21).
Tidak berarti bahwa masing-masing kaum beriman tidak dapat menafsirkan Kitab Suci. Semua murid-Nya membaca Kitab Suci “dalam terang tradisi hidup seluruh Gereja” (bdk. Katekismus Gereja Katolik, 114).
Maka, supaya ada kesatuan norma dan terhindar dari kesalahan dan penyesatan, tiap orang harus tunduk pada pengajaran Gereja (bdk. Katekismus Gereja Katolik, 119).
Santo Augustinus menulis, “Bagi saya, saya tidak akan percaya kepada Injil kecuali apa yang disampikan oleh kewenangan mengajar Gereja Katolik.” (dikutip dari Against the Fundamental Epistle of Manichaeus, 6).
Kamu adalah saksi
Pada awal perutusan-Nya, perhatian Yesus hanya pada “domba-domba yang hilang dari umat Israel” (Mat 15:24) dan tugas perutusan para utusan-Nya hanya dikhususkan pada umat Israel (bdk. Mat 10:6).
Sekarang, tugas perutusan para murid-Nya tidak lagi dibatasi. Para murid melayani dan mewartakan Kabar Suka Cita-Nya kepada segala makhluk (Mrk. 16:15) dan segala penjuru (Mrk. 16:20).
Ia yang telah bangkit telah diberikan kemuliaan dan kekuasaan atas orang-orang dari segala bangsa; kekal kemuliaan-Nya dan abadi kekuasaan-Nya (bdk. Dan 7:13-14). Sabda-Nya (Luk 24:48), “Kamu adalah saksi dari semuanya ini.”, Vos estis testes horum.
Sebagai saksi, para murid-Nya harus mewartakan hidup, karya, dan sabda-Nya. Terlebih, menjadi saksi kebangkitan-Nya, agar semua bangsa dan yang mendengarkankan kesaksian mereka bertobat dan memperoleh pengampunan dosa.
Musuh yang dihadapi para saksi selalu sama. Kuasa dosa dan kejahatan selalu tampil dengan kuasa yang dahsyat. Kuasa itu meresapi setiap sendiri kehidupan, seperti ragi orang Farisi dan Herodes.
Maka, para murid-Nya perlu untuk tinggal dalam komunitas sebagai saudara dan saudari seiman agar saling meneguhkan. Dalam persaudaraan itu pun, tetap ada ancaman pengkhianatan sebesar 30 keping uang perak (Mat. 26:15). Dan kesaksian yang paling utama adalah melalui cara hidup sesuai Jalan Allah (Luk. 20:21).
Katekese
Ia sungguh bangkit dari mati. Santo Hieronimus, 347-420:
“Ia sungguh menunjukkan tangan dan lambung-Nya. Ia juga sungguh makan bersama murid-Nya. Ia sungguh berjalan bersama Kleofas, berjakap-cakap dengan manusia menggunakan mulut-Nya.
Ia sungguh duduk dalam perjamuan malam. Dengan kedua tangan-Nya Ia mengambil roti, memberkati dan memecah-pecahkannya, serta memberikannya kepada para murid…
Jangan menyamakan kuasa Tuhan dengan tipu daya para pesulap. Karena mereka mengira yang sejatinya Ia lakukan hanya merupakan penampakan maya. Atau mengira ketika Ia mengunyah makanan tidak dengan gigi di mulut-Nya.
Atau berjalan tanpa kaki. Atau memecah-pecahkan roti tanpa tangan. Atau bercakap-cakap tanpa menggunakan mulut. Akhirnya, menunjukkan tubuh-Nya tanpa lambung.” (dikutip dari a letter to Pammachius against John of Jerusalem 34).
Oratio-Missio
- Tuhan, curahkanlah Roh Kudus-Mu dalam hatiku. Singkirkanlah keraguanku dan buatlah aku setia sebagai saksi kebangkitan-Mu. Amin.
- Apa yang perlu aku lakukan sebagai saksi kebangkitan-Nya?
Vos estis testes horum – Lucam 24:48