Lectio Divina 20.08.2023 – Keagungan Iman Orang Asing

0
245 views
Anak anjing hanya makan remah roti dari meja tuannya, by Michael Angelo Immenraet

Minggu. Minggu Biasa XX (H)

  • Yes. 56:1.6-7
  • Mzm. 67:2-3. 5. 6. 8 (4)
  • Rom. 11:13-15.29-32
  • Mat. 15:21-28

Lectio (Mat. 15:21-28)

Meditatio-Exegese

Rumah-Ku akan disebut rumah doa bagi segala bangsa

Nabi Yesaya, abad ke-7 sebelum Masehi, berkarya pada zaman raja: Uzia, Yotam, Ahas dan Hizkia. Tak henti-hentinya ia menyuarakan pesan Allah agar umat, mulai dari raja hingga jelata, untuk bertobat dan berbalik kepada Allah.

Di tengah ancaman serbuan dari kerajaan Aram dan Efraim, sebutan lain untuk aliansi 10 suku di kerajaan Israel/utara, Nabi Yesaya menyerukan supaya Raja Ahaz tetap tenang dan setia pada Allah (Yes. 7:7). Tetapi, raja Yehuda justru ketakutan.

Rasa takut membuatnya hilang iman. Maka ia memilih berlindung pada penguasa asing, Asyur, yang  menguasai wilayah Timur Dekat hingga Mesir. Ia menghambakan diri dan meminta perlindungan dari 2 kerajaan yang memusuhinya: Aram dan Israel di utara.

Nabi menyerukan supaya Yehuda setia pada Allah, tetapi Raja Ahaz memilih berlindung kepada penguasa asing, Asyur, yang menguasai wilayah Timur Dekat hingga Mesir. Kepada, raja Asyur, ia menghambakan diri dan meminta perlindungan dari serbuan musuh.

Katanya pada Tiglat-Pileser, raja Asyur, “Aku ini hambamu dan anakmu. Majulah dan selamatkanlah aku dari tangan raja Aram dan dari tangan raja Israel, yang telah bangkit menyerang aku.” (2Raj. 16:7).

Ahaz juga mengambil harta Bait Suci untuk membayar upeti sebagai upah atas perlindungan dan serangan Asyur pada dua kerajaan yang mengancam Yehuda (2Raj. 16:8-9; 17:6). Kegagalan Ahaz untuk percaya pada Allah ditanggapi dengan nubuat akan kehancuran Yehuda dan pembuangan ke Asyur.

Di tengah kebobrokan wangsa Daud, Allah tetap setia pada perjanjian yang ditetapkan-Nya. Melalui Nabi Yesaya disingkapkan tiga rangakaian nubuat tenang zaman baru, zaman Mesias, yang ditandai bahwa keselamatan dilimpahkan untuk segala bangsa, tanpa kecuali.

Rangkaian pertama menyingkapkan keselamatan ditawarkan kepada segala bangsa, walau akan terhambat oleh dosa manusa (Yes. 56:1-59:21).

Selanjutnya, keselamatan Tuhan diwartakan dari Yerusalem (Yes. 60:1-64:11). Akhirnya, pengadilan Tuhan terlaksana dan tiap pribadi mempertanggung jawan perbuatan masing-masing pada-Nya (Yes. 65:1-66:24)

Di Zion yang baru di zaman Mesias, Bait Allah dibuka untuk segala bangsa, bukan dikhususkan untuk umat tertentu. Pada masa itu semua orang benar yang melaksanakan perintah Allah dapat ambil bagian dalam keselamatan yang ditawarkan Sang Juruselamat pada semua pribadi.

Tiap pribadi harus memenuhi syarat yang ditetapkan seperti tercantun dalam Yes. 56:6, sebagai berikut.

Dan orang-orang asing yang menggabungkan diri kepada TUHAN untuk

  • melayani Dia (mempersembahkan kurban bakaran, bedoa, dan memuliakan dalam ibadat),
  • mengasihi nama Tuhan
  • menjadi hamba-hamba-Nya,
  • memelihara hari Sabat, dan
  • berpegang kepada perjanjian-Nya

Sabat Perjanjian Baru adalah hari Minggu, Hari Tuhan, untuk merayakan kebangkitan Yesus. Memelihara Sabat Perjanjian Baru adalah satu dari Lima Perintah Gereja, yang merupakan tuntutan minimum yang harus dipenuhi anggota Gereja Katolik (Katekismus Gereja Katolik, 2041-2043).

Allah berjanji akan membawa umat yang setia ke gunung-Nya yang kudus, ke Gunung Moria, Bait Allah di Yerusalem. Di tempat itu umat berdoa, memuliakan-Nya dan mempersembahkan kurban bakaran bagi-Nya.

Umat Perjanjian Lama mengalami kehadiran Allah secara mengagumkan saat Ia menampakkan Diri-Nya di Sinai (Kel. 19:16-20). Namun di zaman baru, zaman Mesias, umat mengarahkan hati dan mengalami kehadiran-Nya dalam Liturgi Ekaristi.

Saat Yesus membersihkan Bait Allah dari para pedagang hewan kurban dan penukar uang, Ia mengutip Yes. 56:7b. Sabda-Nya (Mrk. 11:17a; Mat. 21:13a), “Bukankah ada tertulis: Rumah-Ku akan disebut rumah doa bagi segala bangsa?.”, Non scriptum est: “Domus mea domus orationis vocabitur omnibus gentibus”?

Jual-beli dan penukaran uang membuat Rumah Doa tidak suci lagi. Maka, pembersian di Halaman Untuk Orang Asing menjadi tanda dan sarana Ia mengundang semua bangsa asing dan bangsa-Nya sendiri ambil bagian dalam Perjanjian Baru dan membuka harapan akan keselamatan kekal.

Pintu gerbang untuk ambil bagian dalam umat Perjanjian Baru adalah kesediaan untuk dibaptis (Mat. 28:19-20; Mrk. 16:15-16).

Datanglah seorang perempuan Kanaan

Yesus menyingkir ke utara, ke daerah Siro-Fenisia, sekarang wilayah Libanon. Ia menghindari perselisihan dengan pemuka agama dan penguasa wilayah Galilea, Herodes Antipas, setelah pembunuhan pada sepupu-Nya, Yohanes Pembaptis (Mat. 14:1-12).

Yesus dan para murid pergi ke wilayah itu secara diam-diam (Mrk. 7:24) dan bukan untuk melaksanakan tugas pengutusan. Saat tahu Ia ada ada di wilayah itu, datanglah pada-Nya  banyak orang dari Tirus, di bagian selatan, dan Sidon, di bagian utara wilayah Siro-Fenisia.

Seorang perempuan Kanaan pun ikut dalam arus manusia dari bangsa asing. Orang Kanaan, keturunan Ham, anak Nuh (Kej. 9:18) dan tinggal di sepanjang pantai (Bil. 13:29) menjadi salah satu suku bangsa yang mendiami tanah terjanji. Yosua berhasil mengalahkan dan mengusir mereka, tetapi tidak semuanya binasa.

Mereka menyingkir ke utara dan menduduki Fenisia, dengan dua kota utama: Tirus dan Sidon. Anak-anak Israel tidak mampu merebut wilayah itu.

Orang Kanaan sering juga disamakan dengan orang Fenisia. Yos. 5:1 versi Septuaginta tidak menyebut raja-raja Kanaan, tetapi raja-raja Fenisia, βασιλεις της φοινικης, basileis tes Phoenikes. Maka, Santo Markus menyebut perempuan itu sebagai perempuan Siro-Fenisia (Mrk. 7:26), karena berasal dari daerah yang berbatasan dengan Syria.  

Santo Markus juga menyebutnya sebagai perempuan Yunani, karena seluruh orang asing disebut sebagai orang Yunani. Santo Paulus pun menyebut semua orang asing sebagai orang Yunani (bdk. Rom. 1:16; Gal. 3:28). Bahasa Yunani adalah bahasa yang dipakai semua orang asing dan sangat lazim dipakai di Syria.

Kasihanilah aku, ya Tuhan, Anak Daud  

Menyeruak dari kerumunan orang, seorang perempuan berasal dari bangsa dan keyakinan lain menjumpai Yesus. Orang asing tidak pernah bermasalah bila ingin menjumpai Yesus. Yang bermasalah justru kaum Yahudi, karena mereka terikat pada hukum yang mengatur tata pergaulan.

Perempuan Kanaan itu berteriak mohon belas kasih. Ia mengungkapkan tidak hanya derita yang mendera, tetapi juga yang dialami anak perempuannya. Untuk menarik perhatian Yesus, ia berteriak (Mat. 15:22), “Kasihanilah aku, ya Tuhan, Anak Daud.”, Miserere mei, Domine, fili David!

Ia mungkin hanya mengulang teriakan yang didengarnya dari penuturan orang lain. Tetapi ungkapannya, “Anakku perempuan kerasukan setan dan sangat menderita.” (Mat. 15:22), menyingkapkan tak hanya keadaan anak yang mengalami darurat kesehatan, tetapi juga kasih orang tua yang selalu meluap dan mau berbuat apa pun untuk anak-anak. 

Tuhan, tolonglah aku

Yesus hanya diam. Ia tidak segera memberikan bantuan seperti yang diharapkan perempuan asing itu. Terlebih, para murid keheranan dan merasa terganggu atas sikap diam Yesus.

Mereka tidak hanya jatuh kasihan pada perempuan itu, tetapi juga mengharapkan tindakan segera atas kemalangan yang diderita anak perempuan itu. Kata mereka, “Ia mengikuti kita dengan berteriak-teriak.” (Mat. 15:23). 

Para murid sering menyaksikan Yesus tidak pernah menunda memberikan apa yang diminta pada-Nya. Ia misalnya, segera menyembuhkan orang yang kerasukan setan (Mat. 8:16) dan banyak orang segera sembuh setelah menyentuh jumbai jubah-Nya (Mat. 14:35-36). 

Seluruh bab Kitab Suci menyingkapkan Allah selalu mendengarkan rintihan dan seruan orang yang tertindas. Tetapi justru Yesus bersikap ganjil saat menjelaskan sikap diam-Nya, “Aku diutus hanya kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel.” (Mat. 15:24).

Sikap-Nya erat terkait dengan kesadaran Diri-Nya akan tugas pengutusan dari Bapa dan ketaatan-Nya hukum Tuhan. Kata kerja pasif yang digunakan-Nya, diutus, menunjukkan bahwa pelaku kata kerja itu ada Bapa-Nya.

Maka, penjelasan-Nya dapat diungkapkan, “Bapa tidak menghendaki Aku mendengarkan seruan perempuan ini, karena Ia mengutus Aku hanya kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel.” Alasan itu sama dengan apa yang dikatakan kaum Farisi, “Kita tidak bergaul dengan orang asing.”

Sikap-Nya sama seperti saat Ia mengutus para murid pergi berdua-dua. Mereka hanya diutus untuk mewartakan Kabar Sukacita pada domba yang hilang dari umat Israel dan tidak menyimpang ke wilayah bangsa lain (bdk. Mat. 10:5-8).

Sedangkan bangsa asing harus menunggu pelayanan para Rasul setelah kebangkitan, kenaikan-Nya ke surga dan Pentakosta (bdk. Yoh. 10:16; Ef. 2:17).    

Tetapi, perempan Siro-Fenisia itu terus mendesak. Ia berlutut dan menyembah-Nya, suatu sikap doa dan penyerahan pada Allah, seraya berkata (Mat. 15:25), “Tuhan, tolonglah aku.”, Domine, adiuva me!

Hai ibu, besar imanmu, maka jadilah kepadamu seperti yang kaukehendaki

Menanggapi permintaan itu Yesus menjawab (Mat. 15:26), “Tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing.” 

Tradisi Rabbinik membedakan dua jenis anjing dalam Kitab Suci. Anjing yang dianggap najis adalah jenis anjing liar dan tinggal di hutan, seperti: serigala (Yeh. 22:27), rubah (Yeh. 13:4), buduk (Yer. 50:39); sedangkan anjing rumah tidak dianggap najis. 

Santo Matius menggunakan kata  κυναριοις, kunariois, dari kata kunarion, bermakna dimininutif dari kata kuon, anjing kecil/anak anjing rumah. Bangsa Israel sering menyamakan bangsa asing seperti anjing, yang dianggap najis dan tidak digolongkan sebagai bangsa yang terikat perjanjian dengan Allah.

Untuk orang Yunani, kata anjing digunakan dengan acuan pada perempuan yang tidak tahu malu dan tidak terhormat. Santo Matius menulis ungkapan “Jangan kamu memberikan barang yang kudus kepada anjing.” (Mat. 7:6).

Jawaban ibu dari Kanaan itu ternyata sangat mencengangkan dan mengejutkan Yesus (Mat. 15:27),  ”Benar Tuhan, namun anjing itu makan remah-remah yang jatuh dari meja tuannya”, Etiam, Domine, nam et catelli edunt de micis, quae cadunt de mensa dominorum suorum.

Jawaban itu menyingkapkan iman perempuan bahwa rencana keselamatan Allah yang dilaksanakan Yesus bermula dari bangsa Yahudi (bdk. Yoh 4:22), seperti disingkapkan Yesus pada perempuan Samaria di Sumur Yakub.

Perempuan itu mengambil keuntungan bahwa, jauh di dalam lubuk hati Yesus, Ia menghendaki keselamatan dilimpahkan kepada siapa saja, tanpa batas, jika  memiliki sikap batin bersih dan mau menerima uluran tangan-Nya.

Yesus ternyata memuji iman perempuan itu dan mengabulkan apa yang dimintanya, seperti yang dilakukan-Nya pada perwira Romawi yang meminta kesembuhan untuk anaknya (Mat. 8:5-10).

Padanya, Yesus bersabda (Mat 15:28), ”Hai ibu, besar imanmu, maka jadilah kepadamu seperti yang kaukehendaki”, O mulier, magna est fides tua! Fiat tibi, sicut vis.

Katekese

Tuhan, bantulah aku. Paus Fransiskus, 1936-sekarang:

“Injil hari ini (Mat. 15:21-28) menyajikan pada kita  teladan iman yang unik saat perempuan Kanaan, orang asing bagi bangsa Yahudi, saat berjumpa dengan Yesus. Peristiwa itu terjadi ketika Ia sedang dalam perjalanan ke kota Tirus dan Sidon, barat laut Galilea.

Di sinilah perempuan itu memohon Yesus untuk menyembuhkan anaknya yang, dilaporkan Injil, “kerasukan setan dan sangat menderita.” (Mat. 15:22).

Pada awalnya, Tuhan nampak tidak mau mendengarkan seruan kemalangan ini. Ia juga seolah mengabaikan permintaan para Rasul, yang membantu perempuan itu memohon pada-Nya. Tetapi sikap enggan Yesus tidak menyurutkan semangat ibu yang tabah ini, yang terus  memohon agar permintaannya diperhatikan.

Daya hatin perempuan itu, yang memungkinkannya mengatasi setiap kesulitan, di temukan dalam kasih keibuan dan kepercayaan bahwa Yesus akan mendengarkan permohonannya. Inilah yang selalu membuat saya merenungkan tentang kekuatan para perempuan. […]

Kita dapat menyimpulkan bahwa kasih mendorong iman, dan iman, pada gilirannya menjadi ganjaran akan kasih. Kasih yang menggentarkan hati dari perempuan itu pada anaknya mendorongnya berteriak, “Kasihanilah aku, ya Tuhan, Anak Daud!” (Mat. 15:22).

Dan imannya yang kokoh pada Yesus membuatnya tidak pernah putus harapan, bahkan ketika ia mengalami penolakan sebelumnya. Maka perempuan itu berlutut dan menyembah-Nya, seraya berkata, “Ya Tuhan, bantulan aku!” (Mat. 15:25).

Akhirnya, di hadapan sikap iman yang kokoh, Yesus terkagum-kagum pada perempuan asing itu. Maka, Ia mengabulkan permohonannya, “Hai ibu, besar imanmu, maka jadilah kepadamu seperti yang kaukehendaki.” (Mat. 15:28). Yesus menunjukkan keteladanan iman yang tak goyah dan koyak dari perempuan yang rendah hati ini. […]

Kisah Injil ini membantu kita memahami bahwa kita harus tumbuh dalam iman dan menguatkan kepercayaan kita pada Yesus. Ia dapat membantu kita menemukan kembali jalan, ketika kita berjalan serong; ketika jalan nampak tidak rata, tetapi keras dan berat; ketika jalan itu menantang komitmen kita untuk setia pada-Nya.

Maka, kita perlu merawat iman kita setiap hati, mendengarkan Sang Sabda Allah dengan penuh perhatian, meryakan Sakramen, dan dengan doa pribadi seperti seruan pada-Nya, “Tuhan, bantulah aku!”. Serta sikap penuh kasih yang melimpah untuk sesama.” (Angelus, Lapangan Santo Petrus, 20 Agustus 2017)

Oratio-Missio

Tuhan, ajarlah aku selalu percaya pada-Mu dan mencari Engkau dengan ketekunan yang tak terpatahkan seperti ibu dari Tirus dan Sidon ini. Kuatkanlah imanku, agar aku mampu mengalahkan kejahatan yang bersemayam dalam diriku. Amin. 

  • Apa yang perlu aku lakukan untuk menumbuh kembangkan imanku?

O mulier, magna est fides tua! Fiat tibi, sicut vis – Matthaeum 15:28

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here