Rabu Abu (U). Pantang dan Puasa. Ekaristi Pemberkatan dan Pembagian Abu
- Yl. 2:12-18.
- Mzm. 51:3-4.5-6a.12-13.14.17.
- 2Kor. 5:20 – 6:2.
- Mat. 6:1-6.16-18.
Lectio (Mat. 6:1-6.16-18)
Meditatio-Exegese
Sekarang juga berbaliklah kepada-Ku
Nabi Yoel berseru (Yl. 2:13), “Koyakkanlah hatimu dan jangan pakaianmu, berbaliklah kepada TUHAN, Allahmu, sebab Ia pengasih dan penyayang, panjang sabar dan berlimpah kasih setia.”, et scindite corda vestra et non vestimenta vestra,et convertimini ad Dominum Deum vestrum, quia benignus et misericors est, patiens et multae misericordiae.
Mengoyakkan hati bermakna setiap pribadi meneliti kedalaman jiwa untuk mengenali setiap kecenderungan untuk melawan Allah dan dosa; ia harus berbalik kepada Allah, menjadikan-Nya pusat hidup; serta mengimani bahwa Ia mengasihi, sabar dan berlimpah kasih setia.
Ungkapan Latin misericors dibentuk dari gabungan dua kata: miser, sedih, tidak bahagia, dan cor, hati. Ungkapan misericors bermakna berbelas kasih, hati-Nya tergerak oleh belas kasihan, seperti saat Yesus memandang penderita kusta, mengulurkan tangan dan menyembuhkan-Nya (bdk. Mrk. 1:41).
Nabi Yesaya pun sampai pada titik putus asa karena seruan panggilan untuk berbalik kepada Allah tidak didengarkan umat. “… oleh karena apabila Aku memanggil, tidak ada yang menjawab, apabila Aku berbicara, mereka tidak mendengarkan, tetapi mereka melakukan yang jahat di mata-Ku dan lebih menyukai apa yang tidak Kukehendaki.” (Yes. 66:4).
Penolakan atas panggilan untuk berbalik kepada Allah membuat Allah sakit hati, “Sebab orang Israel dan orang Yehuda hanyalah melakukan yang jahat di mata-Ku sejak masa mudanya; sungguh, orang Israel hanya menimbulkan sakit hati-Ku dengan perbuatan tangan mereka” (Yer. 32:30).
Peri hidup yang jauh dari hasrat untuk berpaut kepada Allah merupakan peri hidup yang lebih buruk dari peri laku lembu, yang mengenal pemiliknya, “Lembu mengenal pemiliknya, tetapi Israel tidak; keledai mengenal palungan yang disediakan tuannya, tetapi umat-Ku tidak memahaminya.” (Yes. 1:3).
Perjanjian dengan Allah sering dikoyak manusia karena ia tidak setia pada-Nya, seperti ketika umat memberontak terhadap Allah di Meriba (Ul. 32:51). Maka, Kitab Suci dan para Bapa Gereja menyerukan tiga bentuk pernyataan tobat terhadap diri sendiri, sesama dan Tuhan: puasa, doa dan sedekah (bdk.Tob. 12:8; Mat. 6:1-18; Katekismus Gereja Katolik, 1434).
Sayang, sering ungkapan tobat melalui puasa, doa dan sedekah hanya dimaknai sebagai kesalehan keagamaan saja.
Sementara, seluruh alam, bumi yang menjadi rumah tinggal manusia, menjerit dan memanggil setiap pribadi untuk memperhatikan dan berusaha keras memulihkan dan memuliakannya.
Paus Fransiskus berseru, ”Saudari ini sekarang menjerit karena segala kerusakan yang telah kita timpakan padanya, karena tanpa tanggung jawab kita dan menyalahgunakan kekayaan yang telah diletakkan Allah di dalamnya. Kita bahkan berpikir bahwa kitalah pemilik dan penguasanya yang berhak untuk menjarahnya.
Kekerasan yang ada dalam hati kita yang terluka oleh dosa, tercermin dalam gejala-gejala penyakit yang kita lihat pada tanah, air, udara dan pada semua bentuk kehidupan. Oleh karena itu bumi, terbebani dan hancur, termasuk kaum miskin yang paling ditinggalkan dan dilecehkan oleh kita. Ia “mengeluh dalam rasa sakit bersalin.” (Rm. 8:22)” (Ensiklik Laudato Si, 2).
Allah tetap terus mengundang manusia untuk didamaikan dengan-Nya. Santo Paulus berseru, ”Berilah dirimu didamaikan dengan Allah” (2Kor. 5:20). Pendamaian selalu berawal dari prakarsa Allah dan dilaksanakan melalui Yesus Kristus.
Yesus, yang serupa dengan kita, manusia, “tidak berbuat dosa” (Ibr. 4:15), menanggung dosa manusia (bdk. Yes. 53:4-12) dan mempersembahkan diri-Nya sendiri di kayu salib sebagai tebusan atas dosa manusia (bdk. 1Ptr. 2:22-25), mendamaikan manusia dengan Allah.
Melalui pengorbanan-Nya kita dibenarkan di hadapan-Nya, yaitu citra manusia yang terkoyak karena dosa asal dan dosa pribadi dihapuskan dan keserupaan itu dipulihkan (bdk. Rm. 1:17; 3:24-26). Keselamatan yang ditawarkan Allah tidak pernah ditunda. Ia menawarkan keselamatan-Nya hari ini.
“Pada waktu Aku berkenan, Aku akan mendengarkan engkau, dan pada hari Aku menyelamatkan, Aku akan menolong engkau. Sesungguhnya, waktu ini adalah waktu perkenanan itu; sesungguhnya, hari ini adalah hari penyelamatan itu.” (2Kor. 6:2). Yang terjadi, biasanya penolakan atau penundaan dari pihak manusia.
Gereja mengajarkan jalan μετανοια, metanoia, berbalik kepada Allah dan bertobat: “Jalan metanoia dan pertobatan dilukiskan Yesus secara sangat mengesankan dalam perumpamaan mengenai “anak yang hilang”, yang pusatnya adalah “Bapa yang berbelaskasihan” (Luk. 15:11-24): godaan untuk mengenyam kebebasan semu, meninggalkan rumah Bapa; kemelaratan lahiriah yang menjerat sang putera, setelah ia memboroskan segala milik kepunyaannya.
Penghinaan yang mendalam, karena harus menggembalakan babi dan, lebih buruk lagi, kerinduan agar memuaskan diri dengan makanan babi; renungan akan harta benda yang telah hilang; penyesalan dan keputusan mengaku diri bersalah di depan Bapa; jalan kembali; penerimaan yang penuh murah hati oleh Bapa; kegembiraan Bapa: semuanya itu adalah ciri-ciri proses pertobatan.
Pakaian yang indah, cincin, dan perjamuan pesta adalah lambang kehidupan baru yang murni, layak, dan penuh kegembiraan, kehidupan seorang manusia yang kembali kepada Allah dan ke dalam pangkuan keluarganya, Gereja.
Hanya hati Kristus, yang mengenal kedalaman cinta Bapa-Nya, dapat menggambarkan bagi kita jurang belas kasihan-Nya atas suatu cara yang begitu sederhana dan indah.” (Katekismus Gereja Katolik, 1439).
Jika engkau memberi sedekah, berdoa dan berpuasa
Yesus tidak mempertanyakan amal kasih kepada mereka yang miskin. Amal kasih merupakan tuntutan Hukum Perjanjian Sinai (Kel. 21:2; 22:20-26; 23:10-13). Seluruh umat harus membuka tangan lebar-lebar bagi mereka yang ditindas dan miskin (Kel. 15:11).
Yesus mengecam niat seseorang untuk bersedekah, berdoa dan berpuasa bila dilakukan hanya untuk mencari pujian bagi dirinya sendiri. Maka, Ia menyamakan perilaku itu seperti perilaku ‘orang munafik’.
Santo Augustinus menulis, “Orang munafik adalah ia yang berpura pula menjadi pribadi yang penting, tetapi ternyata tidak demikian. Orang ini berpura-pura menjadi suci, tetapi tidak menunjukkan bukti kesuciannya …
Mereka tidak mendapatkan ganjaran sedikitpun dari Allah, yang menelisik hati manusia, “yang mencela tipu daya mereka.” Mereka mungkin mendapat ganjaran dari manusia, tetapi dari Allah mereka hanya mendengar, “Enyahlah dari hadapanku, kalian para pembuat dusta. Engkau mungkin bicara atas namaku, menyerukan namaKu, tetapi kalian tidak melakukan kehendakKu.” (Sermon on the Mount 2.2.5).
Di padang gurun berdoa dan berpuasa bersama Yesus
Dalam masa Pra-Paskah umat diajak ambil bagian dalam retret agung Yesus saat mempersiapkan karya pelayanan-Nya di gurun selama empat puluh hari (Mrk. 1:13). Empat puluh merupakan salah satu angka terpenting dalam Kitab Suci.
Musa mendaki gunung untuk memandang wajah Allah selama empat puluh hari dengan berdoa dan puasa.
Bangsa Israel tinggal di padang gurun selama empat puluh tahun mempersiapkan diri memasuki tanah terjanji. Nabi Elia berpuasa empat puluh hari saat berjalan ke gunung Tuhan.
Setiap saat selalu merupakan undangan untuk berbalik kepada Allah hingga Yesus Kristus datang dalam kemuliaanNya di akhir jaman. Untuk tiap pribadi, undangan itu berlangsung hingga saat ia dipanggil pada saat kematian, et in hora mortis nostri, dan pada saat kami mati (doa Salam Maria).
Santo Paulus menulis (2Kor. 6:2), “Sesungguhnya, hari ini adalah hari penyelamatan itu.”, Ecce nunc dies salutis. Panggilan untuk keselamatan juga mengingatkan akan panggilan gembala yang baik, yang memanggil masing-masing dengan namanya (Yes. 43:1), “Aku memanggil dengan namamu.”, et vocavi nomine tuo.
Atas panggilan itu, setiap jiwa diharapkan menjawab (1Sam. 3:10), ”Berbicaralah, sebab hambamu mendengar.”, Loquere quia audit servus tuus.
Sikap tobat dilandaskan pada kesadaran bahwa, “kita sendiri dibentuk dari debu tanah (Kejadian 2:7); tubuh kita tersusun dari partikel-partikel bumi, kita menghirup udaranya dan dihidupkan serta disegarkan oleh airnya.” (Paus Fransiskus, Ensiklik Laudato Si, 2).
Sikap tobat tidak hanya diarahkan para cara memperlakukan sesama manusia (bdk. Mat 25:31-46); tetapi juga pada seluruh ciptaan. “Bertobat berarti berhenti mengeksploitasi, menaklukkan ekologi secara liar. Kita harus kembali kepada maksud Tuhan ketika Ia mengundang kita untuk “mengusahakan dan memelihara” taman dunia (lihat Kej. 2:15).
Sementara “mengusahakan” berarti menggarap, membajak, atau mengerjakan; “memelihara” berarti melindungi, menjaga, melestarikan, merawat, mengawasi. Artinya, ada relasi tanggung jawab timbal balik antara manusia dan alam.” (Paus Fransiskus, Ensiklik Laudato Si, 67).
Tantangan kita bersama:
a) bagaimana kita membela, memulihkan dan merawat alam lingkungan dari tindakan sewenang-wenang kita sendiri;
b) bagaimana kita mengelola sumber daya untuk menciptakan kesejahteraan bersama;
c) bagaimana membela dan merawat para kurban dan mereka yang ditindas serta dirampas hak-hak asasinya (bdk. Janji Baptis).
Hendaklah sedekah, doa dan puasamu tersembunyi
Tuhan mengingatkan para murid akan nafsu meninggikan diri sendiri. Tiap murid ditantang untuk mengasihi Allah melalui laku dan sikap hidup taat, hormat, segan dan penuh kasih pada Allah. Laku dan sikap hidup ini merupakan anugerah Roh Kudus, yang menghendaki sertiap murid Tuhan hidup suci untuk menyenangkan hati-Nya (bdk. Yes. 11:1-2).
Santo Gregorius Agung mengingatkan, “Biarlah pekerjaanmu diketahui orang; tetapi niat batinmu tetap tersembunyi. Marilah kita memberi contoh dengan perbuatan baik, agar dengan niat kita, yang dimaksudkan untuk menyenangkan hati Allah, tetapi kita selalu menyembunyikan niat itu dalam-dalam.”
Terlebih, Santo Basilius menganjurkan, “Hendaklah kita menjauhkan pujian yang sia-sia, karena itu menodai perbuatan baik, musuh tiap jiwa, ngengat bagi keutamaan, penghancur perbuatan baik, yang mewarnai racun dengan menyamarkan campuran madu tipu daya, dan yang menuangkan piala kematian pada jiwa manusia. Betapa manis pujian manusia bagi mereka yang belum pernah mengalaminya.”
Katekese
Mari memandang luka-luka Kristus. Paus Fransiskus, Buenos Aires, 17 Desember 1936:
Inilah permintaan Santo Paulus, Rasul agung itu, “Berilah dirimu didamaikan dengan Allah.” (2Kor. 5:20). Didamaikan: peziarahan yang tidak dilandaskan pada kekutan kita sendiri.
Tak seorangpun dapat didamaikan dengan Allah atas kekuatannya sendiri. Pertobatan hati, dengan perbuatan dan praktek hidup yang membuktikannya, hanya mungkin bila dimulai pertama-tama dari karya Allah sendiri.
Karya penyelamatan-Nya memampukan kita untuk kembali kepada-Nya, bukan kemampuan atau jasa kita. Ia selalu menawarkan rahmat-Nya. Rahmat itu menyelamatkan kita.
Keselamatan selalu bersumber dari rahmat-Nya, dari kebaikan hati-Nya. Yesus bersabda dengan jelas dalam Injil: apa yang membuat kita benar bukan perbuatan baik yang kita perlihatkan pada sesama, tetapi relasi kita yang mesra dengan Bapa.
Langkah awal untuk kembali kepada Allah adalah pengakuan bahwa kita membutuhkan Dia, belas kasih dan rahmat-Nya. Inilah jalan yang benar, jalan kerendahan hati. Apakah aku membutuhkan Allah, atau apakah aku selalu mengandalkan diri sendiri?
Hari ini kita menundukkan kepala untuk menerima abu. Pada akhir Masa Pra-Paskah, kita akan menundukkan kepala lebih dalam untuk membasuh kaki saudara dan saudari kita. Masa Pra-Paskah selalu menjadi tindak kerendahan hati baik terhadap diri sendiri dan sesama.
Tindakan ini selalu menjadi wujud nyata bahwa keselamatan tidak merupakan langkah untuk meraih kemuliaan, tetapi merendahkan diri untuk mengasihi. Keselamatan selalu menuntut untuk menjadi kecil.
Jika kita tersesat dalam peziarahan kita, mari kita berdiri di bawah salib Kristus: tahta Allah yang diam. Mari kita setiap hari memandang luka-luka-nya, luka-luka yang Ia bawa ke surga dan tiap hari ditunjukkan-nya pada Bapa saat Ia melambungkan doa permohonan.
Marilah tiap hari kita memandang luka-luka itu. Dalam luka-luka-Nya, kita mengenali kehampaan, keterbatasan, luka dosa kita dan semua luka yang kita derita.
Dan dalam luka-luka itu pula, kita memandang dengan Allah tidak menunjukkan jari-nya pada siapa pun, tetapi Ia membuka seluruh tangan-Nya untuk memeluk kita. Demi kitalah Ia menanggung luka-luka itu dan karena luka-luka itu pula kita disembuhkan (bdk. 1 Ptr. 2:25; Yes. 53:5).
Dengan mencium luka-luka itu, kita sadar bahwa di sana, dalam luka tak terperikan, Allah menanti kita dengan belas kasih tak terbatas. Karena di sana, di tempat kita sangat rentan, di tempat kita merasa malu atas dosa, Ia datang menjumpai kita.
Dan setelah menjumpai kita, Ia mengundang kita untuk kembali kepada-Nya, untuk menumukan kembali sukacita karena dikasihi-Nya. (Homily, Basilika Santo Petrus, Rabu Abu, 17 Februari 2021).
Oratio-Missio
Tuhan, anugerahilah aku iman yang hidup, harapan yang kuat dan kasih yang berkobar. Tuntunlah aku melalui masa tobat ini dan bantulah aku menghilangkan perilaku malas mendalami sabda-Mu dan semena-mena pada lingkungan hidupku. Amin.
- Apa yang perlu aku lakukan untuk memperlakukan sesamaku dan alam lingkunganku?
Attendite, ne iustitiam vestram faciatis coram hominibus, ut vi deamini ab eis; alioquin mercedem non habetis apud Patrem vestrum, qui in caelis est – Mattaeum 6:1