Lectio Divina 24.10.2024 – Yesus Melemparkan Api

0
0 views
Aku harapkan, api itu telah menyala, by Vatican News

Kamis. Minggu Biasa XXIX, Hari Biasa (H)

  • Ef 3:14-21
  • Mzm 33:1-2.4-5.11-12.18-19
  • Luk 12:49-53
  • Lectio

49 “Aku datang untuk melemparkan api ke bumi dan betapakah Aku harapkan, api itu telah menyala. 50 Aku harus menerima baptisan, dan betapakah susahnya hati-Ku, sebelum hal itu berlangsung.

51 Kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi? Bukan, kata-Ku kepadamu, bukan damai, melainkan pertentangan.  52 Karena mulai dari sekarang akan ada pertentangan antara lima orang di dalam satu rumah, tiga melawan dua dan dua melawan tiga. 

53 Mereka akan saling bertentangan, ayah melawan anaknya laki-laki dan anak laki-laki melawan ayahnya, ibu melawan anaknya perempuan, dan anak perempuan melawan ibunya, ibu mertua melawan menantunya perempuan dan menantu perempuan melawan ibu mertuanya.”

Meditatio-Exegese

Dipenuhi di dalam seluruh kepenuhan Allah

Paulus berlutut saat berdoa untuk menunjukkan kerendahan diri dan penghormatan pada Allah. Gerak tubuhnya berbeda dengan kebiasaan kaum Yahudi saat itu: berdiri.

Gerak tubuh, seperti: berlutut, menundukkan kepala, menebah dada, yang mengiringi doa seharusnya menjadi ungkapan hormat bakti. Seluruh gerak tubuh memungkinkan seluruh pribadi, tubuh dan jiwa, mengungkapkan kasih dan hormat pada Allah.   

Paulus menulis, “Bapa, yang dari pada-Nya semua turunan yang di dalam sorga dan di atas bumi menerima namanya.” (Ef 3:15). Terdapat permainan kata yang punya akar yang sama: πατερ, pater, Bapa dan πατρια, patria, turunan. Kata patria mengacu pada kelompok sosial yang berasal dari leluhur yang sama.

Maka, penggunaan kata ini mengukuhkan doa yang dipanjatkan tiap saat Bapa Kami, yang diajarkan Yesus. Allah yang disapa bukan pihak luar atau asing, tetapi Bapa yang sangat dekat dengan anggota keluarga.   

Dalam doanya (Ef. 3:16-19), Paulus memohon agar Roh Kudus bersemayam, menguatkan dan meneguhkan batin tiap pribadi umat yang dibinanya. Membuka hati dan menerima Allah bermakna membiarkan Yesus hadir dan berkarya dalam seluruh hidup, seperti diungkapkannya di surat lain.

Pada umat di Galatia, Paulus menulis (Gal. 2:20), “Bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku.”, vivo autem iam non ego, vivit vero in me Christus.

Tiap pribadi beriman diundang untuk mengembangkan iman secara pribadi maupun komunal. Usaha yang saling mengembang itu “berakar dan berdasar dalam kasih” (Ef. 3:17). Kasih, αγαπη, agape, menjadi daya dorong untuk bertindak dan berkata-kata.    

Paulus memohon agar umat binaannya dianugerahi pemahaman kasih Kristus yang mengatasi seluruh alam raya, kosmik, dan pengetahuan. “Aku berdoa, supaya kamu bersama-sama dengan segala orang kudus dapat memahami, betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus, dan dapat mengenal kasih itu, sekalipun ia melampaui segala pengetahuan.” (Ef 3:18-19).

Kasih yang tak terbatas dicurahkan di kayu salib, seperti dinubuatkan dan dibuktikan-Nya (Yoh. 15:13), “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.”, maiorem hac dilectionem nemo habet, ut animam suam quis ponat pro amicis suis.

Tak mudah memahami undangan-Nya. Sangat sulit melakukan seperti teladan-Nya. Maka, Rasul bagi bangsa bukan Yahudi mendoakan agar tiap pribadi “dipenuhi di dalam seluruh kepenuhan Allah.” (Ef. 3:19).

Doa untuk umat di Efesus diakhiri dengan doxologi, pujian kepada Allah (Ef. 3:21). Doxologi dilambungkan Gereja, misalnya, pada akhir Ritus Ekaristi, dengan ungkapan:

“Dengan pengantaraan Dia, bersama Dia, dan dalam Dia, bagi-Mu, Allah Bapa yang Mahakuasa, dalam persekutuan dengan Roh Kudus, segala hormat dan kemuliaan, sepanjang segala masa. Amin.”

Aku datang untuk melemparkan api ke bumi

Relasi Allah dengan umat sering diungkapkan dengan lambang api dalam Kitab Suci. Allah menampakkan diri dalam rupa api yang menyala-nyala, seperti ketika Ia menjumpai Musa di semak berduri yang tak terbakar oleh api-Nya (Kel. 3:2).

Allah menjamin kehadiran, bimbingan dan perlindungan-Nya untuk umat Israel melalui tiang api di malam hari dan tiang awan di siang hari (Kel. 13:21-22).

Nabi Elia juga berdoa memohon api Tuhan untuk menyatakan kehadiran dan kuasa-Nya, serta menyucikan umat dari pengaruh dewa-dewi palsu (1Raj. 36-39).

Api melambangkan kemuliaan Allah, seperti disingkapkan Nabi Yehezkiel (Yeh. 1:4.13), kekudusan-Nya (Ul. 4:24), perlindungan (2Raj. 6:17). 

Pengadilan yang memisahkan orang benar dan tidak benar dilambangkan dengan api (Za. 13:9). Murka Allah terhadap dosa dilukiskan seperti api yang berkobar-kobar (Yes. 66:15-16).

Api juga merupakan tanda dan simbol kehadiran serta kuasa Roh Kudus. Yohanes Pembaptis bernubuat bahwa Yesus akan membaptis dengan Roh Kudus (Mat. 3:11-12; Luk. 3:16-17).

Ketika Roh Kudus dicurahkan pada para rasul pada Hari Pentakosta, Ia nampak sebagai ‘lidah-lidah api’ dan hinggap pada masing-masing rasul (Kis. 2:3).

Nyala api Tuhan, baik dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, selalu bermakna api yang memurnikan, menyucikan dan membersihan manusia dari dosa. Api Tuhan juga menguduskan, karena mendorong untuk memuji dan memuliakan-Nya.

Api-Nya terus menggemakan sikap batin untuk menghormati kehadiran-Nya dengan taat dan patuh melaksanakan sabda-Nya. Sabda-Nya, “Aku datang untuk melemparkan api ke bumi.”, Ignem veni mittere in terram.

Aku harus menerima baptisan

Dalam tradisi Yahudi pembaptisan searti dengan pembersihan, penyucian. Yesus sudah dibaptis Yohanes Pembaptis di Sungai Yordan (Luk. 3:21). Dalam perikop ini, pembaptisan yang dimaksud Yesus pasti memiliki arti khusus, yaitu baptisan kematian (bdk. Mrk. 10:38).

Maka, kematian Yesus bermakna pembersihan manusia dari dosa dan hidup mereka disucikan lagi agar citra mereka sebagai anak Allah pulih (Kej. 1:27; Luk. 17:26-29; 2Ptr. 2:5-6; 3:6-7).

Bagi Santo Lukas, yang menulis Injil sekitar 50 tahun setelah kematian Yesus, dan jemaat yang dibinanya, kematian Yesus di kayu salib dipahami sebagai awal mula pembaptisan. Melalui kematian dan kebangkitan-Nya, Yesus membuka era baru dalam sejarah manusia, yaitu pengampunan dan pemulihan martabat manusia.

Yesus merindukan dimulainya proses penyucian hidup manusia. Ia meminta masing-masing bersedia memberi diri dibaptis atau mengambil sikap berpihak pada Yesus (bdk. Kis. 2:38). 

Aku datang untuk membawa pertentangan

Yesus selalu bersabda tentang damai (Mat. 5:9; Mrk. 9:50; Luk. 1:79; 10:5; 19:38; 24:36; Yoh. 14:27; 16:33; 20:21.26). Tetapi kali ini Ia berbicara tentang pertentangan. Seolah berlawanan.

Damai yang ditawarkan Yesus bukan hasil kompromi antara Yesus dengan banyak pihak. Ia tidak mengulurkan tangan sebagai tanda damai dengan Pilatus untuk menghapus perang.

Yesus tidak mengadakan persepakatan dengan kaum Farisi, Saduki dan Mahkaman Agama, karena harmoni percampuran keyakinan-iman. Demikian juga, Yesus tak pernah membuat permufakatan dengan Herodes Antipas, karena terjaminnya harmoni sosial.

Damai yang dikehendaki Yesus adalah damai sejahtera dari Allah. Allah menjadi pusat hidup manusia. Dan karena manusia memilih Allah menjadi pusat hidupnya, Ia dimusuhi banyak pihak yang menghendaki bertahtanya iblis di hati manusia.

Damai yang diwartakan Yesus justru ditolak oleh Pontius Pilatus, kaum Farisi, Saduki, tua-tua Yahudi, Mahkamah Agama Yahudi (Sanhedrin), Herodes Antipas dan siapa saja yang memiliki mentalitas dan corak hidup seperti mereka.

Ketika Yesus berberbicara tentang perpecahan dalam keluarga, Ia menggemakan nubuat Nabi Mika, “Sebab anak laki-laki menghina ayahnya, anak perempuan bangkit melawan ibunya, menantu perempuan melawan ibu mertuanya; musuh orang ialah orang-orang seisi rumahnya.” (Mi. 7:6).

Inti iman Katolik adalah kesetiaan total kepada Yesus Kristus – Anak Allah dan Juruselamat dunia. Relasi setia yang dibangun antara Ia dan para murid-Nya mengatasi segala bentuk relasi.

Kasih yang meluap kepada Allah menjadi pilihan pertama dan utama. Segala bentuk relasi yang mengalahkan relasi dengan Allah berarti pemberhalaan.

Katekese

Api Injil dan dibaptis dalam Roh Kudus. Santo Cyrilus dari Alexandria, 376-444:

“Kita yakin bahwa api yang dilemparkan Yesus dimaksudkan untuk keselamatan dan kesejahteraan umat manusia. Semoga Allah menganugerahkan rahmat-Nya agar seluruh hati kita dipenuhi dengan api-Nya.

Api itu adalah pesan Injil dan kuasa perintah-Nya yang menyelamatkan. Hati kita dingin dan mati karena dosa. Maka kita tidak lagi mengenali-Nya, yang karena kodrat adalah sungguh-sungguh Allah.

Injil sungguh membakar kita semua di bumi untuk hidup suci dan membuat roh kita menyala-nyala, seperti dikatakan oleh Santo Paulus (Rom. 12:11). Di samping itu, kita juga ambil bagian dalam karya Roh Kudus, yang seperti nyala api di dalam diri kita.

Kita telah dibaptis dengan api dan Roh Kudus. Kita telah belajar dari teladan dan sabda Kristus pada kita. Dengarkan sabda-Nya: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan dari air dan Roh, ia tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah.” (Yoh. 3:5).

Melalui Roh Kudus, Kitab Suci memiliki kebiasaan yang diilhami untuk memberi nama api pada sabda Allah karena kudus,  berdaya guna dan berkuasa. Melalui sabda itu jiwa kita dibuat selalu menyala-nyala.” (Commentary On Luke, Homily 94).

Oratio-Missio

Tuhan, semoga nyala api kasih-Mu mengobarkan hatiku dan mengubah hidupku. Semoga aku hanya mengandalkan-Mu. Penuhilah aku dengan kuasa Roh-Mu, agar aku selalu mencari apa yang menyenangkan hati-Mu dan melaksanakan kehendak-Mu. Amin.

  • Apa yang perlu aku lakukan untuk selalu setia mendengarkan suara Roh Kudus dan melaksanakan sabda-Nya?

Ignem veni mittere in terram, et quid volo nisi ut accendatur? – Lucam 12:49

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here