Minggu. Hari Minggu Adven IV (U)
- 2Sam. 7:1-5,8b-12,14a,16
- Mzm. 89:2-3,4-5,27,29
- Rm. 16:25-27
- Luk. 1:26-38
Lectio (1:26-38)
Meditatio-Exegese
Aku akan menjadi Bapanya, dan ia akan menjadi anak-Ku
Allah tak pernah mengikuti kehendak Daud. Saat hendak menyingkapkan kehendak dan rencana-Nya, Ia mengutus Nabi Nathan, yang berkarya berkarya di istana Daud. Para nabi, termasuk Nabi Nathan, wajib mengingatkan, menegur, bahkan, menentang ketika para raja melakukan kejahatan moral.
Tidak seperti para raja di Timur dekat, raja-raja Israel memiliki kekuasaan terbatas. Mereka adalah pelayan Allah. Raja Israel harus tunduk dan taat melakukan Sepuluh Perintah Allah, yang terinci dalam dalam Hukum Taurat dan perintah-perintah lain yang ditulis dalam Kitab Keluaran, Imamat, Bilangan, dan Ulangan.
Batasan-batasan itu, misalnya: yang dipilih sebagai raja hanya pilihan Allah; tidak memelihara banyak kuda; tidak menjalin relasi kebali dengan Mesir; tidak memiliki banyak isteri; tidak mengumpulkan banyak emas dan perak; menyalin hukum Tuhan turun temurun melalui tangan kaum Lewi; dan harus rendah hati di hadapan seluruh bangsa (bdk. Ul. 17:14-20)
Bertindak sebagai juru bicara Allah, Nabi Nathan menggunakan ungkapan (2Sam. 7:5.8), “Beginilah firman Tuhan.”, haec dicit Dominus. Sabda-Nya pasti berlawanan dengan rencana raja (2Sam. 7:5-7) dan pasti benar serta terlaksana.
Nubuat Nabi Nathan berperan penting dalam sejarah keselamatan. Nubuat itu menentukan siapa yang akan menggantikan Daud dan terkait erat dengan Sang Mesias, Yang Diurapi dan menjadi keturunan Daud.
Saat ia merasa nyaman tinggal istana di Yerusalem, ia merencanakan untuk membangun ‘rumah’, Bait untuk Allah. Ia tidak merasa nyaman karena sadar bahwa Allah hanya bersemayam di tenda.
Kata ‘rumah’, bayith (Ibrani) dalam perikop ini digunakan lima kali (2Sam. 7:1. 2. 5. 11. dan 16). Namun, dalam teks Indonesia, kata itu diterjemahkan sebagai ‘keturunan’ (2Sam. 7:11) dan ‘keluarga’ (2Sam. 7:16).
Bangsa-bangsa yang tak mengenal Allah menjadikan kuil sebagai pusat hidup mereka, sebab di situlah dewa-dewi bersemayam. Sedangkan di Israel, Bait Allah memiliki peran yang sangat berbeda. Allah tidak membutuhkan sebuah rumah atau bangunan untuk tinggal (bdk. 1Raj. 8:27).
Andai Ia mengijinkan pendirian rumah bagi-Nya (bdk. Kej. 28:2-022), Kemah Pertemuan (bdk. Kel. 33:7-11) dan, kemudian, Bait Allah di Yerusalem (1Raj. 8:1-66), rumah ini hanya tanda kehadiran-Nya di tengah umat. Ia tidak dapat dikungkung dalam sebuah bangunan buatan tangan manusia.
Sang nabi semula menyetujui rencana itu dan menganjurkan Daud mewujudkannya, karena Allah bersertanya. Tetapi, dalam mimpinya, Allah menampakkan Diri-Nya dan menyampaikan pesan bahwa ia berlaku congkak.
Allah justru menggunakan cara pikir Daud yang keliru untuk menyingkapkan rencana keselamatan-Nya. Ia menganugerahi Daud suatu ‘rumah’, yakni keturunan atau keluarga. Ia akan menunjuk seorang anaknya untuk menggantikan Daud.
Maka, Allah menetapkan perjanjian dengan Daud, dengan cakupan sebagai berikut. Ia akan menjadi ‘Bapa’ bagi anak Daud; Ia tak akan ingkar atas perjanjian kasih-Nya dengan ‘rumah/wangsa’ Daud; dan ‘rumah/wangsa’ Daud akan kokoh selama-lamanya (bdk. 2Sam. 7:14.16).
Janji Allah menjadi rumus pengangkatan seseorang menjadi anak dan ungkapan paling awal akan janji atas Mesias yang berasal dari wangsa Daud. Selanjutnya setiap raja dari wangsa Daud dipandang sebagai anak angkat Allah.
Janji-Nya (2Sam. 7:14), “Aku akan menjadi Bapanya, dan ia akan menjadi anak-Ku.”, Ego ero ei in patrem, et ipse erit mihi in filium.
Daud menulis hubungan khusus dengan Allah dan hubungan-Nya dengan para pewarisnya, “Ia akan memanggil-manggil Aku, ‘Engkau adalah Bapaku. Allahku, dan gunung batu keselamatanku’ Aku akan menetapkan ia menjadi anak sulung, yang tertinggi atas raja-raja bumi. Kasih setia-Ku akan memeliharanya selamanya, dan perjanjian-Ku akan teguh baginya.” (Mzm. 89:26-29)
Perjanjian Lama selalu mengulang janji Allah dalam perjanjian dengan Daud (2Sam. 23:5; 2Taw. 13:6; Mzm. 89:4-5; 132:11-12.17-18 dan Sir. 45:25). Tradisi suci setelah masa pembuangan di Babel merefleksikan bahwa gelar Mesias akan disematkan pada keturunan Daud.
Para nabi menubuatkan kepenuhan janji Allah pada Mesias-Sang Penebus (bdk. Yes. 4:17; 9:5-6/7; 11:10-12; Yer. 17:24-27; 23:5-6; Yeh. 34:23-24; 37:24-28; dsb.). Janji Allah untuk menyelamatkan manusia mencapai titik puncak kepenuhan pada diri Yesus Kristus, ‘Anak Daud’ (Mat. 1:1; 9:27; 12:23; 21:9; Luk. 1:32; Rom. 1:3; dsb.).
Gereja membaca juga perikop dari 2Sam. 7 ini pada Hari Raya Santo Yusuf, pelindung dan suami Ibu Ibu Maria, karena ia adalah penjamin bahwa Yesus memiliki kakek moyang Daud darinya (Mat. 1:20). Melalui Yusuf Ia pun berasal dari ‘rumah/keluarga’ Daud (Luk. 1:27).
Nama perawan itu Maria
Nama Mariam atau Maria, μαριαμ, mariam, berasal dari kata Ibrani, Miriam. Kata Ibrani ini, salah satunya, bermakna Bintang Samudera. Kata yang sama dalam bahasa Kaldea bermakna ibu.
Kedua makna itu amat tepat disematkan pada Maria, Ibu Yesus, Ratu Surga dan Bumi. Sebagai Bintang Samudera, ia membimbing tiap pribadi mengarungi badai dan kegelapan dunia dan mengarahkan ke pelabuhan yang aman dan damai.
Santo Bernardus menulis bahwa nama dan gelar yang disematkan pada Ibu Maria, “membuat langit bersorak kegirangan dan bumi bersukacita. Para malaikat memadahkan kidung pujian saat nama Maria diserukan.” (Homily, super missa est).
Namanya, selain nama Yesus, selalu disebut oleh orang suci maupun pendosa saat ia menghadapi peristiwa menentukan dalam hidup, khususnya pada saat pencobaan, atau menghadapi kehancuran, terlebih, saat menjelang ajal. Dalam lindungan sayapnya, tiap pribadi berlindung dari ancaman musuh lama, setan.
Padanya, tiap murid berseru, “Santa Maria, Bunda Allah, doakanlah kami sekarang dan pada waktu kami mati.” Sancta Maria, Mater Dei, ora pronobis, nunc et in hora mortis nostrae.
Dalam bulan yang keenam Allah menyuruh malaikat Gabriel
Kisah kunjungan malaikat Allah kepada Ibu Maria mengingatkan pada kunjungan-Nya kepada beberapa perempuan di masa lampau. Ia mengunjungi Sara, istri Abraham, dan menjajikan bahwa ia akan punya anak laki-laki pada tahun berikut; namun ditanggapi dengan keraguan (Kej. 18:9-15).
Pada jaman para hakim, isteri Manoah, yang mandul itu, akhirnya memiliki anak laki-laki gagah perkasa, Samson, yang kelak membebaskan bangsanya dari cengkeraman bangsa Filistin (Hak. 13:2-5). Kepada masing-masing anak, Allah menyingkapkan tugas perutusan yang harus mereka emban.
Allah juga mengingat permohonan Hanna akan seorang anak. Permohonan itu dikabulkan dan anak itu diberi nama Samuel, yang bermakna: aku telah memintanya dari Allah (1Sam. 9-20).
Kisah panggilan Ibu Ibu Maria diawali dengan ungkapan ‘dalam bulan yang keenam’. Ungkapan itu tidak hanya mengacu pada penanggalan Yahudi, yang sama dengan bulan ketiga atau Maret dalam penanggalan Yulius Caesar. Pada saat itulah Malaikat Gabriel memberi tahu Zakharia bahwa istrinya akan mengandung anaknya laki-laki.
Tetapi juga usia kandungan Elisabet, yang menanti kelahiran anaknya di usia tua. Inilah latar belakang kisah panggilan Ibu Maria. Ibu Elisabet mengawali (Luk .1:26) dan mengakhiri kisah Ibu Maria (Luk. 1:36).
Ave, gratia plena, Dominus tecum, Salam, penuh rahmat, Tuhan menyertai engkau
Gereja Katolik menggunakan ungkapan penuh rahmat, gratia plena, seperti yang dipakai juga oleh para bapa Gereja Latin dan terjemahan paling kuna dalam bahasa Syriak dan Arab. Ungkapan itu juga digunakan dalam doa khusus untuk Santa Maria, Salam Maria, Hail Mary, Ave Maria.
Gereja Katolik mengimani bahwa hanya rahmat yang mampu memurnikan seseorang sehingga ia layak di hadapan Allah. Kata yang digunakan Santo Lukas adalah κεχαριτωμενη, kecharitomene, berbentuk present participle pasif dengan mengacu pada peristiwa masa lalu yang berdampak hingga masa kini dan terus berlanjut.
Penggunaan kata kerja pasif memastikan bahwa Maria menerima rahmat, kharis, atau lebih tepatnya charitoo, bermakna dipenuhi dengan rahmat. Maka ungkapan penuh rahmat merupakan padanan kata paling tepat.
Bagaimana hal itu mungkin terjadi?
Kehadiran dan salam malaikat membuat Ibu Maria terkejut. Santo Ambrosius menulis, “Kita tahu Sang Perawan sangat terkejut dan malu, seperti layaknya perawan muda selalu gemetar, bahkan takut saat berhadapan dengan lelaki asing, dan malu saat lelaki itu menyapanya. Ia bahkan merasa takut saat malaikat itu menyampaikan salam.”
Tidak seperti Hawa yang langsung berbicara saat disapa ular di Firdaus (Kej. 3:1-2), Ibu Maria menahan diri untuk tidak berbicara. Ia mendengarkan, mencerna hingga mampu memahami maksud salam dan pesan itu sebelum menerima atau menolak pesan malaikat itu.
Mendengarkan, mencerna menjadi tanda kesetiaan iman. Santo Paus Yohanes Paulus II mengajar, “Virgo fidelis, Sang Perawan yang setia. Apa makna kesetiaan Ibu Maria? Apa saja dimensi kesetiaan ini?
Dimensi pertama disebut mencari. Pertama-tama, Ibu Maria menetapkan hati untuk setia ketika ia dengan sukacita mulai mencari makna terdalam dari rencana Allah untuknya dan dunia. ‘Quomodo fiet?’, “Bagaimana hal itu mungkin terjadi?”, ia bertanya pada malaikat yang menyampaikan kabar itu […]
Dimensi kedua dari kesetiaan disebut penerimaan. Pertanyaan, ‘Qumodo fiet?’ berubah di bibir Ibu Maria, menjadi ‘Fiat mihi’, “Jadilah padaku”. Aku siap. Aku menerima.
Inilah saat paling menentukan dari kesetiaan, ketika manusia memahami bahwa ia tidak lagi memahami sepenuhnya tentang ‘bagaimana’: bahwa rencana Allah merupakan misteri yang sangat luas dan tak terselami. Tetapi, ia selalu mencoba, ia tidak pernah berhasil dalam memahami kehendak-Nya secara lengkap […]
“Dimensi ketiga dari kesetiaan adalah konsistensi untuk hidup sesuai dengan apa yang diimaninya, untuk menyesuaikan hidup seseorang pada sesuatu yang dipujanya. Ia lebih memilih menerima disalah pahami, dipersekusi dari pada mengingkari apa yang dipercayainya. Inilah konsistensi […]
Seluruh kesetiaan harus lulus atas ujian yang paling sulit, yakni: tahan uji sepanjang waktu. Maka dimensi keempat kesetiaan adalah keteguhan hati. Sangat mudah menjadi konsisten selama satu atau dua hari.
Yang sulit dan terpenting adalah memiliki keteguhan hati sepanjang hayat. Mudah kita menjadi konsisten pada saat penuh semangat dan kegairahan. Tetapi kita mengalami sulit menjadi konsisten saat kesulitan menghadang.
Hanya keteguhan hati yang berlangsung sepanjang hayat dapat disebut kesetiaan. ‘Fiat’ Ibu Maria saat diberitahu tentang kabar sukacita mencapai puncak kepenuhannya saat ia mengulang ‘fiat’ dalam kebisuan total di kaki Salib.” (Homily, Katedral Mexico City, 26 Januari 1979).
Roh Kudus dan kuasa Allah Yang Mahatinggi.
Malaikat Gabriel mengingatkan bahwa Roh Kudus, yang hadir sejak Penciptaan (Kej. 1:2), membantu memahami yang mustahil menjadi mungkin. “Sebab bagi Allah tidak ada hal yang mustahil.” (Luk. 1:37; Kej. 18:14). Inilah sebab Ia diberi nama Yesus dan akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi.
Ketika Sabda Allah diterima oleh kaum miskin, anawim, yang selalu bergantung padaNya, segala hal yang baru terjadi. “Dan sesungguhnya, Elisabet, sanakmu itu, iapun sedang mengandung seorang anak laki-laki pada hari tuanya dan inilah bulan yang keenam bagi dia, yang disebut mandul itu.” (Luk. 1:36).
Allah Yang Mahatinggi menaungi siapa saja yang melaksanakan tugas perutusan-Nya, seperti dilakukan-Nya ketika Ia membebaskan bangsa Israel dari perbudakan Mesir. Tuhan berjalan di depan mereka dan pada malam hari tiang api menaungi mereka (Kel. 13:21-22).
Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan
Ibu Maria menempatkan diri sebagai hamba Tuhan. Ia memandang bahwa melaksanakan tugas pengutusannya merupakan tugas pelayanan yang harus diemban untuk keselamatan seluruh manusia (bdk. Yes. 42:1-9; 49:3-6). Ia taat pada kehendak Allah.
Santo Irenaeus, Uskup Lyon, melukiskan ketaatan Ibu Maria, “Maka, simpul dari ketidak taatan Hawa diurai oleh ketaatan Ibu Maria. Apa yang diikat Hawa karena ketidak percayaannya, Ibu Maria mengurainya melalui imannya kepada Allah.” (Against Heresies, 3.22.4).
Kelak, Yesus menegaskan bahwa tugas perutusan-Nya, “Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan banyak orang.” (Mat. 20:28).
Yesus pasti belajar dari Sang Ibu, yang mengungkapkan ketaatan iman (Luk. 1:38), “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.”, Ecce ancilla Domini, fiat mihi secundum verbum tuum.
Katekese
Jalan Kerendahan Hati. Paus Fransiskus .
Kerendahan hati adalah ‘hukum emas’. ‘Kemajuan hidup’ bagi orang Kristiani berarti ‘merendahkan diri sendiri’. Inilah jalan yang dipilih Allah, jalan sederhana, agar cinta dan kasih terus berkembang dan maju.
Seluruh sejarah iman dibangun di atas kerendahan hati dan “berbicara tentang kerendahan hati pada kita semua”. Hal ini pula terlaksana pada peristiwa historis: Kelahiran Yesus.
Nampaknya Allah menghendaki setiap peristiwa “tersembunyi, agar tidak diketahui orang banyak”, dan terjadi demikian. Karena, peristiwa-peristiwa itu seolah “ditutupi oleh Roh Kudus”. Inilah alasan mengapa segala sesuatu terjadi sepanjang jalan kerendahan hati.
Allah, yang rendah hati, merendahkan Diri-Nya sendiri: Ia datang dan tinggal di antara kita serta merendahkan Diri-Nya. Ia terus menerus merendahkan diri, bahkan, hingga di Kayu Salib.
“Ibu Maria”, pada saat diberitahu malaikat, juga merendahkan diri sendiri: ia sebenanya tidak memahami sepenuhnya memahami kehendak-Nya, tetapi ia bebas: ia memahami hanya yang paling penting, dan berkata, ‘ya’. Ia sangat rendah hati, “Jadilah perkataanmu itu.”
Jusup, tunangannya, juga merendahkan dirinya dan memikul seluruh tanggung jawab. Yusup “juga berkata ‘ya’ pada malaikat ketika, dalam mimpinya, malaikat mengatakan seluruh kebenaran padanya.
Sikap iman Maria dan Yusup menunjukkan bahwa “untuk mengunjungi kita, seluruh kasih Allah mengambil jalan kerendahan hati. Allah yang rendah hati hendak berjalan berjalan bersama umat-Nya.” Allah maha rendah hati dan baik hati dan panjang sabar.
Sikap hati-Nya berlainan dengan sikap berhala. Berhala selalu menunjukkan kuasa dan dari mulut mereka terdengan, “Di sini hanya aku yang pegang kuasa.”
Allah kita selalu Allah yang sejati, bukan yang palsu. Ia tidak dibuat dari kayu buatan tangan manusia. Ia benar-benar nyata, sehingga Ia selalu membuka hati untuk jalan kerendahan hati. Menjadi rendah hati tidak bermakna mengikuti jalan dengan satu mata dibutakan. Tidak!
Kerendahan hati adalah apa yang diajarkan Allah dan Ibu Maria serta Bapak Yusuf. ‘Kerendahan hati’ adalah kerendahan hati Yesus yang berakhir di kayu Salib. Inilah hukum emas untuk orang Kristen: tetap setia, maju dan merendahkan diri.
Tidak ada jalan lain. Jika aku tidak merendahkan diriku, jika kamu tidak merendahkan dirimu, kamu bukan pengikut Kristus. (Homili, Misa Kudus di Kapel Santa Marta, Hari Raya Hari Raya Kabar Sukacita, 08.04.13)
Oratio-Missio
Tuhan, bantulah aku untuk menghayati hidup yang penuh rahmat seperti Ibu Maria, dan percaya kepada-Mu yang selalu setia. Amin.
- Mengapa aku harus setia pada Tuhanku?
Ecce ancilla Domini, fiat mihi secundum verbum tuum – Lucam 1:38