Lectio Divina 24.5.2024 – Jangan Keraskan Hatimu

0
37 views
Cerai, by Matthew Milone

Jumat. Minggu Biasa VIII, Hari Biasa (H)  

  • Yak. 5:9-12
  • Mzm. 103:1-2.3-4.8-9.11-12
  • Mrk. 10:1-12

Lectio

1 Dari situ Yesus berangkat ke daerah Yudea dan ke daerah seberang sungai Yordan dan di situ pun orang banyak datang mengerumuni Dia; dan seperti biasa Ia mengajar mereka pula. 2 Maka datanglah orang-orang Farisi, dan untuk mencobai Yesus mereka bertanya kepada-Nya: “Apakah seorang suami diperbolehkan menceraikan isterinya?”

3 Tetapi jawab-Nya kepada mereka: “Apa perintah Musa kepada kamu?” 4 Jawab mereka: “Musa memberi izin untuk menceraikannya dengan membuat surat cerai.” 5 Lalu kata Yesus kepada mereka: “Justru karena ketegaran hatimulah maka Musa menuliskan perintah ini untuk kamu.

6 Sebab pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan, 7 sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, 8 sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. 9 Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.”

10 Ketika mereka sudah di rumah, murid-murid itu bertanya pula kepada Yesus tentang hal itu. 11 Lalu kata-Nya kepada mereka: “Barangsiapa menceraikan isterinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia hidup dalam perzinahan terhadap isterinya itu. 12 Dan jika si isteri menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain, ia berbuat zinah.”

Meditatio-Exegese

Yesus berangkat ke daerah Yudea dan ke daerah seberang sungai Yordan

Santo Markus tidak mencatat rincian kisah perjalanan Yesus dan para murid dari Kapernaum ke Yerusalem (bdk. Mat. 8:19-22; 18:15-35; Luk. 9:51-18:14; Yoh. 7:2-11:54). Ia berangkat dari Kapernaum melalui Samaria dan menuju Yerusalem.

Kemudian menyeberangi Sungai Yordan ke daerah Perea, di sebeleah timur laut Laut Mati. Dari Perea kembali ke Yerusalem lagi.

Meninggalkan Yerusalem, Ia menuju wilayah Suku Efraim, berjalan jauh ke utara ke Samaria, terus ke timur ke Perea, dan, akhirnya, berakhir di Yerusalem untuk ketiga kalinya.  Karya pelayanan-Nya kali ini adalah rangkaian ketiga perjalanan-Nya ke Yerusalem.

Apa perintah Musa kepada kamu?

Pertanyaan kaum Farisi, “Apakah seorang suami diperbolehkan menceraikan isterinya?” merupakan suatu jebakan atau pencobaan. Santo Markus memakai kata πειραζοντες, peirazontes, dari kata kerja πειραζο, peirazo, – mencoba, mencobai seperti yang dilakukan iblis ketika Yesus mencobai-Nya  di gurun setelah pembaptisan (Mrk. 1:13; Mat 4:1-11; Luk. 4:1-13).

Para Farisi pasti sadar dan paham betul bahwa Yohanes Pembaptis ditangkap, dipenjara dan dieksekusi mati karena mengecam perkawinan Herodes Antipas. Dan dengan menggiring Yesus untuk mengemukakan pendapat tentang halal tidaknya perkawinan, mereka hendak menjebak Yesus untuk juga menyatakan ketidak halalan perkawinan Herodes Antipas.

Kalau Yesus terpancing, mereka berharap Yesus akan mengalami hal yang sama dengan sepupunya. Sekarang Ia ada di Perea, wilayah yang dikuasai Herodes Antipas.

Yesus tidak langsung menanggapi pertanyaan yang jelas merendahkan martabat kaum perempuan. Ia justru bertanya, “Apa perintah Musa kepada kamu?” (Mrk. 10:3). Yesus langsung menusuk jantung perdebatan di antara mereka sendiri tentang sah tidaknya perceraian seperti ditulis dalam Ul. 24:1-4.

Perintah ini muncul akibat kecenderungan manusia untuk memberontak terhadap Allah. Para Farisi itu lebih senang melestarikan pola pikir, tindak dan adat yang mendukung dominasi mereka atas kaum perempuan.

Sementara, Yesus malah justru menukik pada inti perjanjian antara manusia dengan Allah. Bila manusia menjadi umat-Nya dan Yahwe menjadi Allahnya (Kel. 6:6), seluruh ketetapan-Nya harus dipenuhi. Oleh sebab itu, Yesus menekankan maksud Allah pada saat menciptakan dunia dan manusia.

Ia menciptakan manusia – laki-laki dan perempuan (Kej. 1:27). Manusia laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya untuk bersatu dengan istrinya menjadi satu daging (Kej. 2:24), karena yang satu merupakan belahan atau sisi dari yang lain – tulang dari tulangku dan daging dari dagingku (Kej. 2:23). 

Dengan cara ini Yesus mengembalikan institusi perkawinan sesuai dengan rencana dan kehendak Allah. Maka, Yesus menghapus hak istimewa kaum laki-laki untuk menceraikan istrinya dan memulihkan martabat kaum perempuan. 

Keduanya memiliki martabat yang sepadan. Dalam perjanjian antara Allah dan umat-Nya, perkawinan hanya dilakukan antara laki-laki dan perempuan untuk mencapai kekudusan.  

Yesus ternyata sangat memahami hukum sipil Romawi, yang membolehkan perempuan menceraikan suami, seperti Herodias (Mrk. 6:17-18). Maka, bagi-Nya, perkawinan yang timbul karena perceraian tetap merupakan perzinahan (Mrk. 10:11-12).

Di tempat lain, Yesus ternyata menuntut orang untuk hidup murni bagi Kerajaan Allah (Mat. 19:11-12). Maka baik perkawinan maupun selibat merupakan panggilan untuk menghayati kesucian hidup. Karena hidup mereka yang menghayati perkawinan dan hidup mereka yang selibat adalah milik Allah.

Manusia hidup bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk Tuhan. Jadi hidup dan mati kita milik Allah (bdk. 1Kor. 6:19b.20; Rm. 14:7-8).

Relasi suami-istri digunakan juga untuk melukiskan relasi antara Yesus Kristus dengan jemaat. Santo Paulus melukiskan Yesus sebagai mempelai lelaki yang bersatu dengan isteri, “Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat.” (Ef 5:31-32).

Dan para bapa Konsili Vatikan II melukiskan relasi Yesus dan Gereja sebagai mempelai nirmala bagi Anak Domba yang tak bernoda. Kristus “mengasihinya dan telah menyerahkan diri-Nya baginya untuk menguduskannya.” (Ef. 5:29).

Ia memurnikan dan menghendakinya bersatu dengan diri-Nya serta patuh kepada-Nya dalam cinta kasih dan kesetiaan (lih. Ef. 5:24). Akhirnya Kristus melimpahinya dengan kurnia-kurnia surgawi untuk selamanya, supaya kita memahami cinta Allah dan Kristus terhadap kita, yang melampaui segala pengetahuan (lih. Ef. 3:19).” (Konstitusi Dogmatik tentang Gereja, Lumen Gentium, 6). 

Karena ketegaran hatimulah

Yesus tidak pernah menyetujui perceraian. Ia menyebut dispensasi Musa itu sebagai akibat dari  σκληροκαρδιαν, sklerokardia, ketegaran hati (Mrk. 10:5). Beberapa kali Yesus menggunakan ungkapan ketegaran hati (Mrk. 3:5; 6:52; 16:14).

Orang yang tegar hati tidak pernah mau dan mampu menangkap makna sabda Allah serta melaksanakan sabdaNya, termasuk dalam perkawinan. Sabda-Nya (Mrk. 10:5), “Justru karena ketegaran hatimulah maka Musa menuliskan perintah ini untuk kamu.”, Ad duritiam cordis vestri scripsit vobis praeceptum istud.

Katekese

Berbagi sepanjang hayat. Paus Fransiskus, Buenos Aires, 17 Desember 1936.

“Sesudah kasih yang menyatukan kita dengan Allah, kasih suami isteri adalah “bentuk persahabatan tertinggi.” Kasih ini merupakan kesatuan yang memiliki seluruh sifat persahabatan yang baik: mengusahakan kesejahteraan orang lain, sifat timbal balik, keintiman, kehangatan, stabilitas dan kemiripan di antara sahabat yang dibangun dari kehidupan bersama.

Perkawinan menggabungkan semua hal di atas dengan eksklusivitas yang tak dapat diceraikan yang diungkapkan dalam komitmen kokoh untuk berbagi dan membentuk bersama keseluruhan hidup. Mari kita jujur dan mengakui tanda-tanda kenyataan: orang-orang yang jatuh cinta tidak berencana bahwa hubungan mereka ini hanya bersifat sementara.

Mereka yang menghayati secara mendalam sukacita perkawinan tidak berpikir itu hanya berlangsung sementara. Mereka yang menghadiri  perayaan penyatuan penuh kasih, walaupun rapuh, berharap bahwa perkawinan ini akan tetap lestari. Anak-anak tidak hanya menginginkan agar orangtuanya saling mengasihi, tetapi juga agar mereka setia dan tetap selalu bersama.

Tanda-tanda ini dan yang lainnya menunjukkan bahwa  dalam hakikat  kasih suami-istri sendiri ada keterbukaan untuk menjadi definitif. Kesatuan seumur hidup yang diungkapkan dalam janji perkawinan itu lebih dari sekadar formalitas sosial atau rumusan tradisional; kesatuan itu berakar dalam kecenderungan spontan pribadi manusia.

Bagi kaum beriman, kesatuan itu merupakan perjanjian di hadapan Allah yang menuntut kesetiaan: “Tuhan telah menjadi saksi antara engkau dan isteri masa mudamu yang kepadanya engkau telah tidak setia, padahal dialah teman sekutumu dan isteri seperjanjianmu … Dan janganlah orang tidak setia terhadap isteri dari masa mudanya. Sebab Aku membenci perceraian, firman Tuhan.”(Mal. 2:14-16).” (Seruan Apostolik Pascasinode Sukacita Kasih, Amoris Laetitia, 123)

 Oratio-Missio

Tuhan, Engkau memanggilku untuk menjadi kudus. Kuduskanlah hidupku. Jadikanlah aku ragi untuk mengubah cara hidup yang tidak menghormati kesetiaan dalam perkawinan atau kaul-kaul yang diucapkan di hadapan-Mu. Amin.

  • Apa yang harus aku lakukan untuk setia pada janji perkawinan atau kaul-kaulku?

Propter hoc relinquet homo patrem suum et matrem et adhaerebit ad uxorern suam, et erunt duo in carne una; itaque iam non sunt duo sed una caro – Marcum 10:7-8

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here