Minggu. Minggu V Pra-Paskah (U)
- Yeh. 37:12-14.
- Mzm. 130:1-2.3-4b.4c-6.7-8.
- Rm. 8:8-11.
- Yoh. 11:1-45 atau Yoh. 11:3-7.17.20-27.33b-45
Lectio (Yoh. 11:1-45 atau Yoh. 11:3-7.17.20-27.33b-45)
Meditatio-Exegese
Aku membuka kubur-kuburmu dan membangkitkan kamu, hai umat-Ku
Yehezkiel, nama yang bermakna Allah meneguhkan (Yeh 3:8), nak Busi, melayani Allah sebagai imam. 598 sebelum Masehi, ia menjadi salah seorang yang dibuang ke Babel bersama dengan Raja Yoyakhin (2Raj. 24:12-16; Yeh. 33:21; 40:1).
Hidup sejaman dengan Nabi Yeremia, Yehezkhiel menyaksikan kehancuran Yerusalem. Ia juga termasuk salah satu yang dibuang ke Babel. Di Babel, Yehezkiel dan para tawanan lain tinggal di tepi Sungai Kebar di Tel-Abib (Yeh. 1:1; 3:15).
Pada tahun kelima masa pembuangan Raja Yoyakhin, pada usia tiga puluhan, Yehezkhiel menerima panggilan sebagai nabi (Yeh. 1:2.4 dst.). Penglihatan itu merupakan awal mula nubuatnya (Yeh. 1:4; 3:15). Nampaknya, Yehezkhiel melayani Allah sebagai nabi di pembuangan selama dua puluh dua tahun (bdk. Yeh. 29:1).
Allah memanggil Yehezkhiel tidak hanya sebagai nabi, tetapi juga sebagai penjaga Israel. Ia terus menerus berbicara pada kaum buangan bahwa Yerusalem akan hancur, seperti yang dialami pada tahun 586 SM. Maka, mereka harus berharap supaya cepat kembali.
Harapan itu akan terpenuhi bila mereka setia kepada Allah. Di samping menyampaikan nubuat tentang malapetaka dan kehancuran yang mengerikan, sang nabi mengungkapkan harapan akan kuasa Allah yang hampir-hampir tak mungkin terjadi.
Nabi mengalami penglihatan di lembah yang penuh tulang belulang (Yeh. 37:1). Lalu Allah memintanya bernubuat bahwa seluruh tulang-belulang itu akan dibungkus kembali dengan urat, daging dan kulit (Yeh. 37:2-8). Allah juga akan mengirim nafas hidup dari empat penjuru angin untuk menghidupkan tubuh-tubuh itu.
Benar bahwa Allah meminta Nabi Yehezkhiel bernubuat tentang kebangkitan rohani bangsa yang sedang dalam pembuangan (Yeh. 37:12-14). Tetapi, nubuat itu mendapatkan kepenuhan yang lebih penuh dalam diri Yesus Kristus.
Pada para pengikut-Nya Ia menyingkapkan harapan baru akan hidup abadi bersama-Nya. Ia juga akan menghembuskan Roh-Nya sendiri kepada umat, yang akan dipenuhi kelak dalam peristiwa Pentakosta.
Para bapa Gereja mengajak untuk meyakini akan kebangkitan badan. Santo Irenaeus menulis, “Sang Pencipta akan menghidupkan tubuh yang mati di sini di bumi; Ia menjanjikan kebangkitan, pembukaan kubur-kubur dan pemakaman, dan anugerah hidup abadi (…).
Maka, kita percaya bahwa Ia adalah Allah, yang memiliki kuasa melakukan segala, Bapa yang penuh dengan kebaikan akan menganugerahkan hidup kepada yang mati.” (dikutip dari Adversus haereses, 5, 15, 1).
Santo Hieronimus menulis, “Gambaran tentang kebangkitan tidak mungkin digunakan untuk menggambarkan pemulihan umat Israel bila kebangkitan dari kematian di masa depan tidak dinubuatkan. Karena tak seorang pun dapat mengambil kesimpulan dari suatu gagasan yang tidak memiliki landasan, yakni: kebenaran.” (Commentarii in Ezechielem, 27, 1ff).
Aku akan memberikan Roh-Ku ke dalammu
Roh atau nafas hidup dihembuskan Allah pada manusia, sehingga ia memiliki hidup (Kej. 2:7), dan, tentu saja, roh itu tidak akan pernah mati. Roh selalu abadi.
Allah, Sang Pencipta langit dan bumi, dapat membaharui iman bangsa yang terpuruk dan luruh di Babel. Ia juga mengundang seluruh manusia ambil bagian dalam hidup abadi-Nya dengan menganugerahkan hati yang baru dan roh yang taat kepada-Nya.
Janji ini diungkapkan berkali-kali melalui para nabi (Yeh. 11:19; Yer. 31:31-34; Yl. 3:1-5). Janji-Nya terpenuhi pada peristiwa Pentakosta, ketika Roh turun atas para rasul. Gereja mengajarkan, “Teks-teks nabi yang langsung menyangkut perutusan Roh Kudus adalah ramalan-ramalan, di mana Tuhan – dalam bahasa janji – berbicara kepada hati bangsa-Nya dalam nada “cinta dan kesetiaan”.
Menurut janji-janji ini, Roh Tuhan akan membaharui hati manusia pada “saat-saat terakhir”, dengan menyampaikan kepada mereka satu hukum baru. Ia akan mengumpulkan bangsa-bangsa yang terpisah dan tercerai-berai dan mendamaikan mereka satu sama lain; Ia akan membaharui ciptaan pertama dan di dalam ciptaan baru itu Allah akan hidup bersama manusia dalam suasana damai.” (Katekismus Gereja Katolik, 715).
Anak Allah akan dimuliakan
Para penulis Injil Sinoptik, Matius, Markus dan Lukas, mencatat Yesus melakukan 28 mukjizat. Yohanes hanya mencatat tujuh. Ketujuh karya agung itu tidak disebut mujizat, δυναμεις, dunameis, tetapi disebut sebagai σημειον, semeion, Latin: signum, tanda.
Hanya Yohanes yang mencatat empat tanda: pesta perkawinan di Kana (Yoh. 2:1-11), penyembuhan orang lumpuh di Kolam Siloam (Yoh. 5:1-9), penyembuhan orang yang lahir buta (Yoh. 9:1-7), dan pembangkitan Lazarus dari kematian (Yoh. 11:1-44).
Pembangkitan Lazarus, tanda ketujuh, mengawali pemenuhan saat Anak Manusia dimuliakan, “Telah tiba saatnya Anak Manusia dimuliakan.” (Yoh. 12:23; 17:1). Pembangkitan Lazarus dari kematian menjadi salah satu alasan penghukuman terhadap Yesus (Yoh. 11:50; 12:10).
Maka, tanda ketujuh menjadi cara Allah untuk menyingkapkan kemuliaan-Nya dan melalui penyingkapan itu Anak Manusia akan dimuliakan: “Penyakit itu tidak akan membawa kematian, tetapi akan menyatakan kemuliaan Allah, sebab oleh penyakit itu Anak Allah akan dimuliakan.” (Yoh. 11:4).
Para murid belum mampu memahami sabda Yesus, walau mereka mengatakan siap pergi bersama-Nya dan mati untuk-Nya (Yoh. 11:16). Memang pemahaman mereka masih dangkal, tetapi iman mereka benar.
Mari kita kembali lagi ke Yudea
Banyak orang Yahudi ambil bagian dalam peristiwa duka di rumah Marta dan Maria. Mereka yang tidak mau beranjak dari Perjanjian Lama tidak pernah mewartakan hidup. Mereka hanya menghibur keluar Marta dan Maria.
Yesus adalah Pribadi yang membawa hidup baru. Dalam Injil Yohanes, orang Yahudi memusuhi Yesus dan merencanakan kematian-Nya (Yoh. 10:31). Maka, konflik antara hidup dan mati menjadi latar belakang tanda ke tujuh.
Yesus pun diancam kematian setiap saat di Yerusalem. Para murid-Nya mengingatkan akan ancaman itu ketika Ia memutuskan untuk kembali ke Yudea (Yoh. 11:7-8). Kaum Farisi dan orang Herodian pun bersekongkol untuk membunuh-Nya (Mrk. 3:6).
Namun, Yesus mengabaikan semua ancaman dan peringatan. Ia justru mengajak mereka mengunjungi keluarga Marta, Maria dan Lazarus di Betania, kota kecil di kaki Bukit Zaitun, 3 kilo meter di sebelah timur Yerusalem, tempat orang yang memusuhi-Nya bermarkas.
Yesus justru mendatangi kematian untuk mengalahkannya. Mengabaikan ancaman, Ia bersabda, “Bukankah ada dua belas jam dalam satu hari? Siapa yang berjalan pada siang hari, kakinya tidak terantuk, karena ia melihat terang dunia ini.” (Yoh. 11:9).
Tidak ada rintangan yang menghalangi-Nya untuk melakukan kehendak Bapa-Nya.
Akulah kebangkitan dan hidup
Ketika tahu kalau Yesus sampai di Betania, Marta meninggalkan rumah. Ia menyongsong-Nya di tembok kota. Ia ingin segera bertemu Yesus dan mencurahkan seluruh keluh kesah dan kesedihan hatinya.
Yesus dan keluarga Marta-Maria-Lazarus memiliki relasi yang sangat akrab. Tetapi, pengenalan mereka akan Yesus belum penuh. Marta hanya percaya bahwa Yesus memang dekat dengan Allah dan Ia memiliki kuasa untuk menyembuhkan.
Katanya, “Tuhan, sekiranya Engkau ada di sini, saudaraku pasti tidak mati.” (Yoh. 11:21). Tetapi, bila Yesus memohon secara khusus pada Allah Bapa-Nya, mungkin kemungkinan lain akan terjadi.
Namun, ketika Yesus menyingkapkan bahwa Lazarus akan bangkit dari mati, Marta menanggapi seperti kaum Farisi dan mayoritas umat Perjanjian Lama. Mereka percaya Allah akan membangkitkan orang mati di akhir jaman, seperti nubuat Nabi Yehezkkiel (Yeh. 37:1-8).
Kata Marta kepada-Nya, “Aku tahu bahwa ia akan bangkit pada waktu orang-orang bangkit pada akhir zaman” (Yoh. 11:24; bdk. Kis. 23:6-10; Mrk. 12:18). Kebangkitan tidak dipercayai dimulai dari saat ini dan sekarang ini, pada saat mereka mengimani Yesus Kristus.
Maka, Yesus menantang Marta untuk melangkah lebih jauh. Tidaklah cukup untuk mengimani kebangkitan badan pada akhir jaman. Hidup baru, kebangkitan bermula dari Yesus.
Sama seperti yang Ia lakukan pada perempuan Samaria (Yoh. 4:26), Yesus menyingkapkan Jati Diri-Nya kepada seorang perempuan Yahudi, bangsa-Nya sendiri. Ia menggemakan kembali pengalaman Nabi Musa, bapa bangsa yang memberi mereka hukum.
Pada perempuan sebangsa-Nya Yesus menyingkapkan ke-Ilahi-an-Nya dan relasi-nya dengan Bapa. Ungkapan ‘εγω ειμι’, ego eimi, sama dengan saat Yahwe bersabda kepada Musa, “AKU ADALAH AKU.” (Kel. 3:13).
Sabda-Nya (Yoh. 11:25), “Akulah kebangkitan dan hidup.”, Ego sum resurrectio et vita.
Dan Marta, walau tidak melihat tanda yang jelas tentang kebangkitan Lazarus, mengakui kebenaran iman itu. Akhirnya, ia mampu melihat Yesus tidak sekedar sebagai penyembuh penyakit. Dalam Yesus ia mengalami perjumpaan dengan Allah.
Pengalamannya diungkapkan dalam iman, katanya (Yoh. 11:27), “Ya, Tuhan, aku percaya, bahwa Engkaulah Mesias, Anak Allah, Dia yang akan datang ke dalam dunia.”, Utique, Domine; ego credidi quia tu es Christus Filius Dei, qui in mundum venisti.
Pengakuan iman iman Marta menyingkapkan tiga gelar Yesus. Ketiga gelar itu meringkas pandangan Penulis Injil tentang Yesus: Mesias, Anak yang memiliki relasi khusus dengan Allah Bapa, dan Ia akan datang kembali ke dalam dunia.
Maka dalam Yesus tiap murid-Nya memiliki hidup kekal yang akan membawa tiap pribadi pada kebangkitan. Yesus pun menyimpulkan bahwa Lazarus memiliki hidup kekal, karena ia akan dibangkitkan.
Tentang kebangkitan badan, Santo Paulus menulis, “Dan jika Roh Dia, yang telah membangkitkan Yesus dari antara orang mati, diam di dalam kamu, maka Ia, yang telah membangkitkan Kristus Yesus dari antara orang mati, akan menghidupkan juga tubuhmu yang fana itu oleh Roh-Nya, yang diam di dalam kamu” (Rm. 8:11).
Allah menganugerahkan daya kuasa Roh Kudus sehingga tiap prinadi mampu hidup di dalam Kristus. Kini dan di sini pun tiap pribadi mampu mengalami kebangkitan dalam hidup pribadi kita masing-masing.
Roh Kudus memampukan tiap pria dan wanita mengubah diri dan tumbuh dalam iman, harapan dan kasih. Iman akan kebangkitan selalu dirawat melalui ambil bagian dalam Perayaan Ekaristi.
Santo Irenaeus, bapa Gereja abad kedua, menulis, “Sama seperti rori yang berasal dari bumi, setelah berkat Allah dicurahkan padanya, bukan lagi menjadi roti biasa, tetapi Ekaristi.
Roti itu terdiri dari dua unsur, yang satu dari dunia dan yang lainnya dari surga. Demikian juga dengan tubuh kita, yang ambil bagian dalam Ekaristi, tidak lagi dapat dihancurkan oleh dosa, tetapi memiliki harapan akan kebangkitan.” (Adversus haereses 4,18).
Lihatlah, betapa kasih-Nya kepadanya
Setelah Marta mengungkapkan kepercayaannya, ia memanggil Maria, saudarinya. Maria menjumpai Yesus dan mengulang kata-kata Marta, “Tuhan, sekiranya Engkau ada di sini, saudaraku pasti tidak mati.” (Yoh. 11:21).
Saat menemui Yesus, Maria belum mencapai kedalaman iman seperti yang dialami Marta. Memang, sebelum peristiwa duka, dikisahkan Maria, yang sedang tekun mendengarkan Yesus di kaki-Nya, sedangkan Marta, kakaknya, sibuk melayani tetamu dan kurang peduli pada Yesus (Luk. 10:38-41).
Kemudian tangisnya pun pecah. Kerabat dan tetangga yang melayat juga ikut menangis. Hati Yesus tergerak dan Ia merasa sedih. Saat kaum miskin meratap, Hati-Nya tergerak dan Tuhan menangis, Dominus flevit.
Ketika menyaksikan sahabat-sahabat Yesus menangis, beberapa orang berkata tentang perasaan-Nya, “Lihatlah, betapa kasih-Nya kepadanya!” (Yoh. 11:36). Maka, kasih menjadi penanda khas relasi antara Yesus dengan jemaat yang dibina Santo Yohanes.
Tetapi relasi ini tidak selamanya diterima semua orang. Sementara kaum Yahudi justru tidak percaya dan meragukan. Kata mereka, “Ia yang memelekkan mata orang buta, tidak sanggupkah Ia bertindak, sehingga orang ini tidak mati?” (Yoh. 11:37).
Tercatat tiga kali Yesus menunjukkan perasaan hati-Nya yang tergerak, haru dan menangis (Yoh. 11:33.35.38). Aspek manusiawi Yesus disingkapkan untuk menepis tudingan yang hanya mengakui Yesus yang ilahi. Maka, penyingkapan ini membuktikan Ia sungguh, sungguh manusia, perfectus homo.
Jikalau engkau percaya engkau akan melihat kemuliaan Allah
Di depan kubur, saat Yesus memintaMarta masih juga ragu. Ia berkata, “Tuhan, ia sudah berbau, sebab sudah empat hari ia mati.” (Yoh. 11:39).
Sekali lagi, Yesus menantangnya untuk teguh memegang iman. Bila tiap pribadi berpegang teguh pada iman kepada-Nya, sabda-Nya (Yoh. 11:40), “Jikalau engkau percaya engkau akan melihat kemuliaan Allah.”, si credideris, videbis gloriam Dei.
Setelah meminta orang membuka pintu kubur, Yesus berdoa kepada Bapa, “Bapa, Aku mengucap syukur kepada-Mu, karena Engkau telah mendengarkan Aku.” Bapa Yesus adalah Allah yang selalu mendengarkan jerit tangan kaum miskin yang berseru kepada-Nya (Kel. 2:24; 3:7).
Yesus mengenal Bapa dan percaya pada-Nya. Sekarang Ia memohon tanda bagi mereka yang tidak percaya dan berdiri mengelilingi makam Lazarus. Ia berharap mereka akan percaya bahwa Ia diutus oleh Bapa-Nya.
Setelah pintu makam dibuka, Ia bersabda, “Lazarus, marilah keluar.” (Yoh. 11:43). Orang mati itu pun bangkit. Hanya Allah memiliki kuasa untuk membangkitkan orang mati.
Yang pulih dari keraguan: Maria. Dan kelak, banyak pula tidak mempercayai ketika Ia menunjukkan tanda paling agung: kebangkitan-Nya dari antara orang mati pada saat Paskah. Kedua tanda ini membuktikan Ia sungguh Allah, perfectus Deus.
Katekese
Salib dan Kebangkitan.
Santo Augustinus, Uskup dari Hippo, 354-430 :
“Salib Yesus merupakan contoh jerih lelah yang penuh derita. Kebangkitan-Nya adalah ganjaran atas jerih lelah yang penuh derita. Di salib Ia menunjukkan pada kita bagaimana kita harus menanggung derita. Dalam kebangkitan-Nya, Ia menunjukkan pada kita apa yang harus kita harapkan.” (On the Creed 3,9)
Oratio-Missio
Tuhan, Engkau telah menebus kami dengan darah-Mu dan memulihkan hidup kami. Semoga kebangkitan-Mu menjadi harapan kami karena kami merindukan hari saat kami diijinkan memandang wajah-Mu dalam kemuliaan. Dan pada saat sulit seperti ini, ajarilah kami untuk menanggung derita seperti yang Engkau lakukan di salib. Amin.
- Apa yang perlu aku lakukan untuk menyatukan diri dengan yang sakit dan yang merawat mereka?
Ego sum resurrectio et vita – Ioannem 11:25