Lectio Divina 26 Februari 2023 – Tak Takluk pada Iblis

0
354 views
Yesus dicobai setan, by John Ritto Penniman, 1818

Minggu. Hari Minggu Prapaskah I (U)

  • Kej. 2:7-9; 3:1-7.
  • Mzm. 51:3-4. 5-6. 12-13. 17.
  • Rm. 5:12-19 atau 5: 12. 17-19.
  • Mat 4:1-11.

Lectio

1 Maka Yesus dibawa oleh Roh ke padang gurun untuk dicobai Iblis. 2 Dan setelah berpuasa empat puluh hari dan empat puluh malam, akhirnya laparlah Yesus. 3 Lalu datanglah si pencoba itu dan berkata kepada-Nya: “Jika Engkau Anak Allah, perintahkanlah supaya batu-batu ini menjadi roti.”

4 Tetapi Yesus menjawab: “Ada tertulis: Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah.” 5 Kemudian Iblis membawa-Nya ke Kota Suci dan menempatkan Dia di bubungan Bait Allah, 6 lalu berkata kepada-Nya: “Jika Engkau Anak Allah, jatuhkanlah diri-Mu ke bawah, sebab ada tertulis: Mengenai Engkau Ia akan memerintahkan malaikat-malaikat-Nya dan mereka akan menatang Engkau di atas tangannya, supaya kaki-Mu jangan terantuk kepada batu.”

7 Yesus berkata kepadanya: “Ada pula tertulis: Janganlah engkau mencobai Tuhan, Allahmu.” 8 Dan Iblis membawa-Nya pula ke atas gunung yang sangat tinggi dan memperlihatkan kepada-Nya semua kerajaan dunia dengan kemegahannya, 9 dan berkata kepada-Nya: “Semua itu akan kuberikan kepada-Mu, jika Engkau sujud menyembah aku.”

10 Maka berkatalah Yesus kepadanya: “Enyahlah, Iblis. Sebab ada tertulis: Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti.” 11 Lalu Iblis meninggalkan Dia, dan lihatlah, malaikat-malaikat datang melayani Yesus.

Meditatio-Exegese

Yesus dibawa oleh Roh ke padang gurun

Setelah dibaptis di Sungai Yordan, Yesus dibawa ke padang gurun oleh Roh Kudus. Ia membiarkan diri dibimbing Roh di tempat yang tandus, berbahaya, hampir tidak ada air dan makanan. Di tempat itulah roh jahat tinggal (Luk. 11:24).

Santo Matius menggunakan kata πειρασθηναι, peirasthenai, bentuk pasif dari kata kerja peirazo. Ungkapan peirazo bermakna Yesus mau menegaskan arah dan tujuan hidup-Nya di hadapan Allah dan memurnikan diri agar layak melaksanakan tugas perutusan-Nya.

Sebaliknya, di pihak Allah, Ia juga perlu mengetahui apakah Yesus layak untuk mengikuti dan melayani-Nya tanpa syarat atau mudah tergiur untuk melaksanakan tugas di luar yang diberikan Allah sendiri.

Para leluhur Yesus pun melakukan hal yang sama. Dalam pelbagai kesempatan Allah menguji Abraham untuk membuktikan kesetiaan imannya dan menyalakan harapannya. Ujian yang paling fenomenal dan dramatis adalah ketika Abraham dengan suka rela menyediakan anaknya, Ishak, untuk menjadi korban bakaran bagi Allah (Kej. 22:9-12).

Selanjutnya, Allah mendengarkan doa dan keluh kesah bangsa Israel selama 400 tahun. Bangsa itu terus mengingat Yahwe, Allah mereka. Dan Allah mengingat janji-Nya untuk menyelamatkan dari perbudakan.

Ia menuntun mereka keluar dari Mesir dan membimbing mereka menjadi satu bangsa dan umat Allah selama 40 tahun, sebelum memasuki tanah terjanji. Ketika sampai di Gunung Sinai, Musa naik ke gunung itu untuk bertemu muka dengan Allah dalam doa dan puasa selama 40 hari (Kel. 24:18).

Nabi Elia juga melakukan perjalanan selama 40 hari ke Gunung Horeb. Ia berjalan jauh untuk mencari wajah Allah dan Ia memberinya makan roti dari surga (1Raj. 19:8).

Yang dialami Abraham, Musa dan Elia berbeda dengan yang dialami Adam dan Hawa di Taman Firdaus. Allah menyediakan seluruh kebutuhan hidup mereka secara berkelimpahan. Tetapi pada akhirnya, mereka berdua memilih tidak mendengarkan suara-Nya.

Mereka mendengarkan suara iblis, yang mengambil bentuk ular. Mereka meragukan suara Allah, mengabaikan perintah-Nya dan lebih memilih percaya pada diri sendiri (Kej 2:16-17; 3:1-6). Pengusiran menandakan dosa, memisahkan diri dari kasih Allah.

Santo Paulus menulis, “Sebab itu, sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang, dan oleh dosa itu juga maut, demikianlah maut itu telah menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berbuat dosa.” (Rm. 5:12). 

Dicobai Iblis

Santo Matius menggambarkan pencobaan yang dialami Yesus dengan cara yang mudah dipahami: pencobaan akan roti, pencobaan akan tahta dan pencobaan akan kuasa. Jenis-jenis pencobaan itu mirip dengan paham tentang mesias yang dihidup di antara kebanyakan umat Yahudi dan sama sekali tidak dihayati Yesus.

Ia digambarkan sebagai Musa yang gilang gemilang dan mampu memberi makan kepada ribuan orang di padang gurun, “perintahkan batu ini menjadi roti.” Atau mesias yang memiliki tanda heran luar biasa yang turun dari bubungan Bait Allah, “Jatuhkanlah diriMu ke bawah.” Atau mesias pejuang dan pahlawan perang yang akan menguasai bumi, “Semuanya ini akan kuserahkan pada-Mu.” 

Pengalaman pencobaan Yesus didentik dengan pengalaman bangsa-Nya ketika keluar dari Mesir. Allah menuntut umat untuk setia dan berpegang pada segala ketetapan dan perintah-Nya (Ul 6:3), tetapi bangsa itu tidak setia dan abai akan perintah-Nya.

Allah menuntut umat-Nya untuk tidak mencobai-Nya, tetapi mereka mencobai-Nya seperti di Masa (Ul. 6:16). Allah menuntut umat-Nya untuk takut akan Dia, beribadah pada-Nya dan bersumpah demi nama-Nya (Ul. 6:13), tetapi mereka malah menyembah allah lain dan tidak bersumpah setia padaNya.

Kata mereka, “Mari, buatlah untuk kami allah, yang akan berjalan di depan kami sebab Musa ini, orang yang telah memimpin kami keluar dari tanah Mesir — kami tidak tahu apa yang telah terjadi dengan dia.” (Kel 32:1).

Yesus menolak seluruh tawaran setan, yang berupaya supaya Ia menyimpang dari tugas perutusan Bapa-Nya. Pencoba atau setan adalah apa/siapa saja yang membuat manusia tidak mematuhi rencana Allah. Bagi Yesus, Petrus juga pernah menjadi setan (Mat 16:23). Terlebih, si penggoda terus berupaya mencari waktu dan kesempatan yang baik (Luk 4:13).  

Enyahlah, Iblis

Pencobaan selalu dihadapi Yesus sepanjang hayat. Semakin Ia setia pada tugas perutusan Bapa, semakin kuat pencobaan itu menerpa. Pencobaan itu muncul dalam pelbagai bentuk dan wajah, mulai dari harapan orang banyak hingga paham tentang mesias yang bukan seperti dihayatiNya. “Sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa” (Ibr 4:15).

Yesus merumuskan tugas perutusan-Nya dalam sabda ini, “Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawaNya menjadi tebusan bagi banyak orang!” (Mat 20:28; Mrk 10:45).

Ia tentu belajar taat pada kehendakan Bapa-Nya dari Sang Ibu, yang berkata, “Aku ini hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” (Luk 1:38), Ecce ancilla Domini; fiat mihi secundum verbum tuum.

Berpegang pada kehendak Bapa-Nya,  Yesus menghayati hidup sebagai Hamba Yahwe, seperti nubuat Nabi Yesaya (Yes. 42:1-9; 49:1-6; 50:3-9; 52:13-53, 12). Nubuat ini menguatkan Yesus, terutama saat terdengar Allah bersabda dari langit, “Inilah Anak yang Kukasihi, dengarkanlah Dia.” (Mrk. 1:11; 9:7).

Pencobaan selalu gagal, karena Ia terus berpegang pada tugas perutusan-Nya. Ia menyampaikan kabar baik kepada kaum miskin, anawim. Maka, Ia tidak pernah gentar menghadapi siapa pun atau apa pun yang menghalangi-Nya.

“Enyahlah Iblis,” sabda-Nya kepada Petrus (Mrk. 8:33), ketika ia berusaha menjauhkan salib dari padaNya, “Tuhan, kiranya Allah menjauhkan hal itu.” (Mat. 16:22).

“Dunia tidak dapat membenci kamu, tetapi ia membenci Aku, sebab Aku bersaksi tentang dia, bahwa pekerjaan-pekerjaannya jahat.” (Yoh. 7:7). Cara pandang-Nya bertolak belakang dengan cara pandang sanak keluarga-Nya.

Ia berpusat pada melaksanakan kehendak Allah, tetapi sanak keluarga-Nya ingin membawa-Nya pulang ke Nazaret, karena menganggap-Nya gila (Mark. 3:33) dan sabda-Nya terdengar kasar (Mrk. 3:33). Lalu, pikir mereka, kalau Yesus ingin terkenal, Ia harus tampail di Yerusalem. Di situlah seharus-Nya Ia tinggal (Yoh. 7:4).

“Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di rumah Bapa-Ku?” (Luk 2:49). Jawaban-Nya terasa menyakitkan hati orang tuaNya, ketika mereka bertanya, “Nak, mengapakah Engkau berbuat demikian terhadap kami?” (Luk. 2:48).

“Marilah kita pergi ke tempat lain, ke kota-kota yang berdekatan, supaya di sana juga Aku memberitakan Injil, karena untuk itu Aku telah datang.” (Mrk. 1:38). Ia menolak ajakan para murid-Nya untuk tetap berada di tengah-tengah orang banyak. Mereka melihat popularitas-Nya makin besar, “Semua orang mencari Engkau.” (Mrk. 1:37).

“Pergilah dan katakanlah kepada Yohanes apa yang kamu dengar dan kamu lihat.”  (Mat 11:4-6; bdk. Yes. 29:18-19; 35:5-6; 61:1). Sabda-Nya menunjukkan penghayatan tentang tugas perutusan-Nya sebagai Mesias, Sang Hamba Allah. Sebaliknya, Yohanes menantikan mesias yang lain.

“Ia menyingkir pula ke gunung, seorang diri.” (Yoh. 6:15). Ia menolak ketika dipaksa menjadi raja mereka setelah memberi makan 5000 orang dan mereka yakin, “Dia adalah benar-benar Nabi yang akan datang ke dalam dunia.” (Yoh. 6:14).

“Masukkan pedangmu itu kembali ke dalam sarungnya!”  (Mat. 26:52) dan  “Berdoalah supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan.” (Luk. 22:40.46). Ia menolak untuk menjadi seorang mesias pejuang pada saat Ia dalam tahanan dan kuasa kegelapan melingkupi-Nya (Luk. 22:53).

Katekese

Dalam jerat iblis. Santo Ambrosius dari Milan, 339-397:

“Setan berkata kepada Yesus, “Jika Engkau Anak Allah, suruhlah batu ini menjadi roti” (Luk 4:3). Maka, kita belajar bahwa terdapat tiga senjata utama yang suka dibawa iblis untuk melukai jiwa kita. Mereka adalah gelojoh, kesombongan dan ambisi. Pada pencobaan ini semua senjata iblis telah dikalahkan dan Tuhan menang.

Demikian juga kita seharusnya menang dalam Kristus dalam ranah godaan yang sama, yakni ketika kita, dalam rupa Adam,  dikalahkan. Maka kita harus waspada terhadap kecondongan gelojoh. Jerat mematikan ini dipasang bagi kita ketika meja penuh dengan hidangan pesta yang mewah, yang bertujuan melemahkan pertahanan kita.

“Catatlah senjata apa yang digunakan Kristus untuk mengalahkan kuasa setan. Ia tidak menggunakan kekuasaan-Nya yang mutlak sebagai Allah. Bantuan apa yang dapat diberikan bagi kita?

Dalam kemanusiaan-Nya, Ia berseru-seru meminta pertolongan yang umum dijumpai pada semua orang ,  tetapi Ia  mengatasi rasa lapar  dan mencari penghiburan pada sabda Allah.

“Barang siapa mengikuti Sang Sabda tidak lagi terlekat pada roti duniawi, karena ia menerima roti surga dan sadar bahwa yang ilahi lebih baik dari pada yang manusiawi, yang rohani lebih baik dari yang kodrati. Maka, karena orang merindukan hidup sejati, ia mencari apa yang menguatkan hati melalui benda-benda yang tak kelihatan.” (On the Gospel of St. Luke, 4, 17)

Oratio-Missio

Tuhan, penuhilah hatiku dengan sabda dan suka cita-Mu. Penuhilah hatiku dengan Roh Kudus agar aku mampu melakukan kehendak-Mu dan menolak apa yang berlawanan dengan kehendak-Mu. Amin.        

  • Apa yang perlu aku lakukan untuk mengalahkan si pencoba?

Vade, Satanas! Scriptum est enim: “Dominum Deum tuum adorabis et illi soli servies.” – Matthaeum 4:10

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here