Lectio Divina 27.02.2022 – Balok di Matamu

0
353 views
Balok di mataku, by Carol Manasse

Minggu. Hari Minggu Biasa VIII (H)

  • Sir. 27:4-7.
  • Mzm. 92:2-3.13-14.15-16.
  • 1Kor. 15:54-58.
  • Luk. 6:39-45.

Lectio

39 Yesus mengatakan pula suatu perumpamaan kepada mereka: “Dapatkah orang buta menuntun orang buta? Bukankah keduanya akan jatuh ke dalam lobang? 40 Seorang murid tidak lebih dari pada gurunya, tetapi barangsiapa yang telah tamat pelajarannya akan sama dengan gurunya.

41 Mengapakah engkau melihat selumbar di dalam mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu sendiri tidak engkau ketahui? 42 Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Saudara, biarlah aku mengeluarkan selumbar yang ada di dalam matamu, padahal balok yang di dalam matamu tidak engkau lihat? Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu.”

43 “Karena tidak ada pohon yang baik yang menghasilkan buah yang tidak baik, dan juga tidak ada pohon yang tidak baik yang menghasilkan buah yang baik. 44 Sebab setiap pohon dikenal pada buahnya. Karena dari semak duri orang tidak memetik buah ara dan dari duri-duri tidak memetik buah anggur.

45 Orang yang baik mengeluarkan barang yang baik dari perbendaharaan hatinya yang baik dan orang yang jahat mengeluarkan barang yang jahat dari perbendaharaannya yang jahat. Karena yang diucapkan mulutnya, meluap dari hatinya.”

Meditatio-Exegese

Bicara orang menyatakan isi hatinya

Tak selalu yang asing lebih baik dari yang asli di sini. Sejak Alexander Agung, 336–323 Sebelum Masehi, menaklukkan dan menguasai kawasan Laut Tengah hingga merentang sampai perbatasan India, budaya Yunani menyebar seluas wilayah taklukkannya.

Keruntuhan Yunani tidak menyurutkan gelombang pengaruh dan penetrasi budaya itu, tetapi, justru diperkuat oleh kekaisaran Romawi. Sama seperti gelombang globalisasi saat ini, Helenisasi membawa serta dampak buruk bagi hidup iman umat Allah.

Para elit, terutama yang tinggal di Palestina, tidak lagi tertarik pada sabda Allah. Mereka lebih tertarik pada produk budaya asing:  teater, sastra, filsafat, olah raga Olympiade, pacuan kuda, bahkan, pertunjukan berbau anyir darah: gladiator dan arena. 

Mereka lebih suka pada hedonisme, pengejaran akan kenikmatan dan kesukaan melebihi batas. Kesenangan dikejar dan Kebijaksanaan Allah diabaikan.

Kitab Sirakh ditulis oleh Yesus bin Eleazar bin Sirakh, seperti pengakuannya sendiri (lih. Sir. 50:27.29), di Alexandria, Mesir. Di kota ini tinggal sangat banyak orang Yahudi, yang sudah tidak mengenal lagi bahasa Ibrani dan menggunakan bahasa Yunani untuk komunikasi.

Semula kitab ini ditulis dalam bahasa Ibrani setelah tahun 190 sebelum Masehi. Penulis masih memuji Imam Agung Simon II, yang menjabat Imam Agung Bait Allah pada 220-195 sebelum Masehi. Ia berdoa agar Tuhan membebaskan Yerusalem

Pada tahun 189 sebelum Masehi, tentara Romawi mengalahkan Antiokhus III di Magnesia, sebelah utara Efesus. Maka setelah kekalahan itu, tidak ada lagi ancaman lagi dari Antiokhus IV (175-164 sebelum Masehi).

Cucu Putera Sirakh menerjemahkan karya kakeknya dari bahasa Ibrani ke bahasa Yunani di Mesir pada 132 sebelum Masehi, pada tahun ke-38 pemerintahan Ptolemeus Eugetes. Penerjemahan ini memungkinkan dimasukkannya kitab ini dalam daftar resmi Septuaginta (LXX).

Di samping itu, penerjemahan ini merupakan upaya untuk menuntun bangsa Yahudi baik di perantauan maupun yang tinggal di Palestina untuk hidup sesuai dengan Hukum Tuhan.

Maka, Putera Sirakh berusaha keras menarik kaum muda bangsa Yahudi untuk tidak jatuh dalam penguasaan dan cengkeraman budaya Yunani dan mentalitas buruk yang menyertainya.

Yang terjadi di sini dan kini, hic et nunc,  tak jauh berlainan dengan tantangan yang dihadapi Putera Sirakh.

Putera Sirakh mengajak setiap pribadi untuk berpikir dan bertindak kritis. Tidak mempercayai apa yang nampak, karena yang nampak indah, sering menipu.

Ajakan Putera Sirakh, pada jaman ini, mungkin sama dengan ungkapan, jangan menilai isi dari sampul buku.

Ia menasihati agar orang tidak terjebak apa yang indah dipandang, pakaian yang elok, tutur kata yang manis. Tetapi, orang bijak harus mampu menandang apa yang ada dalam pikiran dan hati. Hanya dengan cara itu diketahui watak, kepribadi seseorang. Seorang kawan yang benar harus diuji apakah ia layak dipercaya atau tidak.

Tulisan Putera Sirakh, “Bicara orang menyatakan isi hatinya.” senada dengan lukisan Santo Lukas, “Karena yang diucapkan mulutnya, meluap dari hatinya. Bila isi hati bersih, yang keluar dari mulutnya pasti bersih.

Namun, dengan kemampuan rasionalisasi yang hampir-hampir tidak terbatas, manusia bisa membungkus apa yang busuk di hati dan dikeluarkan di mulut secara manis.

Yesus mengatakan pula suatu perumpamaan

Bacaan yang disajikan Gereja masih satu rangkaian dengan Kotbah di tempat yang datar, setelah Yesus berdoa sepanjang malam (Luk. 6:12) dan setelah Ia memanggil dua belas orang dari para pengikut-Nya menjadi Rasul (Luk. 6:13-14).

Dalam mengajar, Yesus menyesuaikan diri dengan para pendengar agar pesan yang hendak Ia sampaikan mampu dicerna oleh budi dan mata batin para pendengar. Maka, Ia mengemas pengajaran-Nya dalam serangkaian perumpamaan.

Para pendengarnya sudah terbiasa dengan perumpamaan, seperti tercatat dalam Perjanjian Lama: perumpamaan tentang singa betina (Israel) yang mengalahkan bangsa Moab, seperti diucapkan Bileam (Bil. 23:24); pohon yang menjadi raja dikisahkan Yotam (Hak. 9:7-15).

Yang kuat menghasilkan yang manis dikisahkan Samson (Hak. 14:14); seekor domba betina milik orang miskin dikisahkan Nabi Natan (2Sam. 12:1-4); tawanan yang melarikan diri (1 Raj 35-40); rumput duri dan pohon aras (2Raj. 14:9).

Kebun anggur yang menghasilkan anggur asam dituturkan Nabi Yesaya (Yes. 5:1-6); rajawali dan pohon anggur, dituturkan Nabi Yehezkiel (Yeh .17:3-10); kuali yang mendidih dituturkan Nabi Yehezkiel (Yeh. 24:3-5). 

Di samping itu, mengikuti jejak Santo Matius, Santo Lukas menyatukan bahan yang juga telah disampaikan di pelbagai tempat lain.

Dapatkah orang buta menuntun orang buta? Perumpamaan ini ditujukan pada setiap pembaca Injil Lukas.

Masing-masing adalah pemimpin, pemandu, yang hendak menuntun orang lain berjumpa dengan Yesus. Maka, ia harus mampu memimpin dirinya sendiri dan, secara pribadi, mengenal Yesus.

Mengenal diri sendiri hanya dapat dilakukan dengan masuk ke dalam relung hati. Ajakan untuk memasuki kedalaman hati sama dengan ajakan Tuhan pada Petrus di tepi Danau Galilea (Luk. 5:4), ”Bertolaklah ke tempat yang dalam.”, Duc in altum.

Di kedalaman lubuk hatinya, ia harus mampu mengendalikan hasrat yang mendorongnya memisahkan diri dari Allah, karena dari hati orang timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, irihati, hujat, kesombongan, kebebalan (Mrk. 7:21-22). 

Di hati pulalah ia bertemu dengan Allah. tempat Tuhan bersemayam dan berbicara dengannya. Samuel bersaksi (1Sam. 16:7; bdk. Yer. 20:12; Ams. 16:2), “TUHAN melihat hati”, Dominus autem intuetur cor.

Maka, siapa pun yang tidak mampu mengendalikan dorongan yang tak teratur dan tak mengenal-Nya, ia tak layak untuk menjadi pemimpin. Maka, dengan nada humor Yesus menyindir (Luk. 6:39), “Dapatkah orang buta menuntun orang buta? Bukankah keduanya akan jatuh ke dalam lobang?”, Numquid potest caecus caecum ducere? Nonne ambo in foveam cadent?

Setiap orang yang hendak menuntun orang lain berjumpa dengan Yesus harus bersedia untuk menjadi murid-Nya. Yesus tidak mengajarkan seperangkat ajaran indah dan tersusun rapi serta sistematis.

Sebagai Guru dan Tuhan (Yoh. 13:13), Yesus mengajak para murid mengenal diri-Nya, kesaksian-Nya, dan cara hidup-Nya.

Mengenal Yesus sebagai Guru dan Tuhan mengandung 3 aspek.

  • Sang Guru adalah model atau teladan untuk ditiru (bdk. Yoh. 13: 13-15);
  • Si murid tidak hanya merenungkan dan meniru-Nya, tetapi ikut ambil bagian dalam panggilan Sang Guru, dalam pencobaan yang dialami-Nya (Luk. 22: 28); penyiksaan yang ditanggung-Nya (Mat. 10: 24-25); kematian yang dialami-Nya (Yoh. 11: 16); dan, akhirnya, ikut serta dibangkitan bersama-Nya (1Kor. 6:14; 2 Kor 4:14); dan 
  • Sang murid tidak hanya meniru Sang Model, tetapi juga bertekad kuat untuk mengidentifikasikan diri dengan Yesus.

Sehingga, seperti kesaksian Santo Paulus (Gal 2: 20), “Aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku.”, vivo autem iam non ego, vivit vero in me Christus.

Engkau akan melihat dengan jelas

Namun, sering orang tidak memiliki pandangan yang jernih. Ia disamakan dengan ‘munafik’, υποκριτα, hupocrita, munafik.

Dalam Perjanjian Baru, kata ini bermakna pembenaran diri sendiri, seperti kecaman Yesus pada orang Farisi dalam Mat 23.

Santo Lukas, si tabib terdidik dan terlatih, mengajak pembaca wartanya untuk memiliki penglihatan yang jernih dengan datang pada Yesus.

Padanya kita mohon dibebaskan dari perbudakan dosa, ketakutan dan penghukuman.

Langkah yang dilalui adalah berserah diri pada Sang Penyembuh, karena hanya Dialah yang mampu menyembuhkan seluruh hidup kita, jiwa dan raga, budi dan hati.

Dengan cara ini, kita bisa menjadi manusia baru yang mampu melihat kebaikan pada diri sesama dan menemukan Yesus di antara para saudara yang paling kecil dan hina.

Dan, akhirnya, mampu mewartakan “Yesus, orang Nazaret, melalui sabda, tindakan dan seluruh pribadiNya, menyingkapkan belas kasih Allah” (Paus Fransiscus, dalam bulla Misericordiae Vultus, 1).

Setiap pohon dikenal pada buahnya

Saat menerima Sakramen Baptis, calon selalu meminta iman dari Gereja Allah, agar dia dapat mengharapkan hidup kekal. 

Iman sudah ditanam, tetapi hidup kekal perlu diperjuangkan.

Maka, dari iman, harapan dan kasih tumbuh buah-buah Roh Kudus : kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemah lembutan, penguasaan diri (Gal 5: 22-23).

Di Palestina pada waktu itu, pohon ara merupakan pohon kesukaan semua orang. Pohon ara, ficus carica, yang tumbuh subur di daerah Mediterania, termasuk Palestina, melambangkan kesuburan, damai sejahtera dan kemakmuran.

Pohon anggur, sebaliknya, menjadi lambang suka cita, karena minuman anggur yang dihasilkannya.

Semak duri hanya cocok untuk bahan bakar di rumah tangga. Hal serupa berlaku terhadap seseorang; ia akan menjadi baik atau buruk, tergantung dari apa yang tumbuh di hatinya.

Charles Read berkata, “Menabur perilaku, anda memanen kebiasaan. Menabur kebiasaan, anda memanen karakter. Menabur karakter, anda memanen takdir.”

Karakter, sama seperti buah, tidak tumbuh dalam semalam. Ia butuh waktu lama untuk matang.  

Nabi Yesaya mengecam tindakan atau buah busuk yang dihasilkan oleh pikiran hati yang busuk. “Celakalah mereka yang menyebutkan kejahatan itu baik dan kebaikan itu jahat, yang mengubah kegelapan menjadi terang dan terang menjadi kegelapan, yang mengubah pahit menjadi manis, dan manis menjadi pahit.” (Yes. 5:20).

Agar tidak menghasilkan buah-buah yang busuk, Santo Paulus menasihati agar hidup dipimpin oleh Roh, tidak saling menantang dan tidak saling membenci (Gal 5:25-26).

Terlebih, Putera Sirakh memberi nasihat, “Kukuhkanlah nasehat hatimu sendiri, sebab tidak ada sesuatupun yang lebih setia kepadamu. Sebab kerapkali dugaan hati lebih teliti dalam memberitahu dari pada tujuh peninjau yang berkawal di atas menara yang tinggi.

Tetapi terlebih berdoalah kepada Yang Mahatinggi, supaya tindakanmu dibimbing-Nya menurut kebenaran.” (Sir. 37:13-15).

Katekese

Melihat selumbar itu di mata saudaramu. Santo Agustinus dari Hippo,  354-430 :

“Kata hypocrita, munafik sangat tepat digunakan (Luk. 6:42; Mat. 7:5), karena setiap orang benar selalu memiliki kehendak kuat untuk mengalahkan kejahatan.

Ketika orang berdosa berusaha memerangi kejahatan, mereka seperti pemain sandiwara, yang menyembunyikan jati diri yang sejati di balik topeng; pada saat yang sama mereka memainkan watak lain melalui topeng yang dikenakan. 

Kata hypokrita, munafik, bermakna orang yang berpura-pura. Maka kita harus menghindari sekumpulan orang yang suka berpura-pura. Mereka sering menawarkan nasihat manis yang seolah-olah mengecam semua jenis kejahatan.

Mereka sering digerakkan oleh kebencian dan niat jahat. Maka, lebih baik, jika dipandang perlu, saat kita harus mengkoreksi atau menunjukkan kesalahan orang lain, kita harus terus maju, masuk ke dalam batin dan membedakan dorongan batin dengan benar dan jernih dan penuh kewaspadaan.

Pertama-tama, mari kita pertimbangkan apakah kesalahan orang itu merupakan kesalahan yang tak pernah kita lakukan atau apakah harus kita atasi.

Lalu, jika kita tak pernah melakukan kesalahan itu, mari kita sadari bahwa kita adalah manusia dan mungkin akan melakukan kesalahan itu.

Tapi jika kita pernah mengalaminya, dan sekarang sudah tidak melakukannya, mari kita sadari akan kerapuhan kita, agar belas kasih, bukan kebencian yang menuntun kita saat memberi koreksi dan nasihat.

Dengan cara ini, apakah nasihat kita menghasilkan kebaikan atau memperburuk keadaan saudara yang meminta nasihat – karena hasilnya tidak tampak, kita diselamatkan melalui sudut pandang yang benar.

Tetapi, jika melalui refleksi kita menemukan bahwa kita sediri melakukan kesalahan yang sama seperti orang yang minta nasihat pada kita, biarkan kita tidak memberi nasihat atau menyalahkannya.

Lebih baik kita meratapi kesalahan kita sendiri dan mengajak orang itu untuk memberi perhatian pada kesalahan yang dilakukannya tanpa memintanya melakukan tindakan koreksi yang kita lakukan untuk diri kita sendiri.” (Sermon on the Mount 2.19.64). 

Oratio-Missio

Tuhan, bantulah aku untuk selalu memuji daripada mengecam, berbelarasa daripada mati rasa pada sesama, membangun daripada  menghancurkan, dan selalu mengusahakan kesejahteraan bersama. Amin.

  • Apa yang harus aku lakukan untuk menjadi pribadi yang berbelas kasih, damai, penuh kasih dan suka merawat alam?

Unaquaeque enim arbor de fructu suo cognoscitur; neque enim de spinis colligunt ficus, neque de rubo vindemiant uvam  – Lucam 6:44

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here