Lectio Divina 27.2.2025 – Kualitas Yang Dia Tuntut

0
0 views
Garam murni, by Druska

Kamis. Minggu Biasa VII, Hari Biasa (H)

  • Sir. 5:1-8
  • Mzm. 1:1-2.3.4.6
  • Mrk. 9:41-50

Lectio

41 Sesungguhnya Aku berkata kepadamu: siapa saja yang memberi kamu minum secangkir air oleh karena kamu adalah pengikut Kristus, ia tidak akan kehilangan upahnya.” 42 “Siapa yang menyebabkan salah satu dari anak-anak kecil yang percaya ini, berbuat dosa, lebih baik baginya jika sebuah batu giling diikatkan pada lehernya lalu ia dibuang ke dalam laut.

43 Jika tanganmu menyebabkan engkau berbuat dosa, penggallah. Lebih baik engkau masuk ke dalam hidup dengan tangan buntung daripada dengan kedua tangan utuh pergi ke dalam neraka, ke dalam api yang tak terpadamkan; 44 [di tempat itu ulat-ulatnya tidak  mati, dan api tidak terpadamkan.]

45 Jika kakimu menyebabkan engkau berbuat dosa, penggallah. Lebih baik engkau masuk ke dalam hidup dengan timpang, daripada dengan kedua kaki utuh mu dicampakkan ke dalam neraka; 46 [di tempat itu ulat-ulatnya tidak  mati, dan api tidak terpadamkan.]

47 Jika matamu menyebabkan engkau berbuat dosa, cungkillah. Lebih baik engkau masuk ke dalam Kerajaan Allah dengan satu mata daripada dengan dua mata dicampakkan ke dalam neraka, 48 di mana ulat-ulatnya tidak mati dan api tidak padam.

49 Karena setiap orang akan digarami dengan api. 50 Garam memang baik, tetapi jika garam menjadi tawar, dengan apakah kamu mengasinkannya? Hendaklah kamu senantiasa mempunyai garam dalam dirimu dan hidup berdamai seorang dengan yang lain.”

Meditatio-Exegese

Barangsiapa memberi kamu minum secangkir air

Manusia diciptakan dalam kasih Allah untuk mengasihi sesama. Kasih yang diungkapkan pada sesama yang membutuhkan mencerminkan ungkapan syukur dan terima kasih atas kebaikan hati Allah pada manusia.

Yesus sedang dalam perjalanan menuju Yerusalem, di tempat Ia menyerahkan nyawa-Nya. Perjalanan itu memakan energi, waktu, dan, pasti, biaya yang tidak sedikit. Ia pasti membutuhkan sumbangan dana besar.

Tetapi, Ia tak melupakan hal-hal kecil dalam tiap saat dan langkah perjalanan-Nya: secangkir air, menjalin persahabatan, menolong dan beramal, dan berbuat baik. Ia selalu “berjalan berkeliling sambil berbuat baik dan menyembuhkan semua orang yang dikuasai Iblis.” (Kis. 10:38).   

Namun kemurahan hati dan belas kasih-Nya tidak mudah diterima. Selalu ada penolakan. Para penolak disamakan dengan siapa pun yang membuang batu penjuru (Mzm. 118:22; Mat. 21:42; Mrk. 12:10; Luk. 20:17), sehingga mereka tak mampu mendirikan rumah.

Yesus mengidentifikasi diri dengan siapa pun yang ingin menjadi milik-Nya. Dan milik-Nya selalu berharga mahal. Dengan demikian, siapapun yang melakukan kebaikan, walau hanya sedikit, memberi seteguk air, adalah milik Yesus. 

Yesus menyatakan bahwa setiap orang yang menunjukkan kebaikan hati dan membantu sesama tidak akan kehilangan upahnya. Sabda-Nya (Mrk. 9:41), “Ia tidak akan kehilangan upahnya.”, Non perdet mercedem suam.

Yesus tidak pernah menolak siapa pun yang meminta uluran tangan-Nya. Maka, sebagai murid-Nya, tiap orang Kristiani dituntut untuk murah hati seperti Sang Guru.

Santo Gregorius dari Nyssa, 330-395, bapa Gereja, menulis, “Allah tidak pernah meminta pelayan-pelayan-Nya untuk melakukan apa yang tidak mungkin. Ia selalu menunjukkan dan menyediakan kasih dan kebaikan hatinya secara berkelimpahan.

Kasih dan kebaikan hati-Nya dicurahkan seperti air yang mengaliri segala sesuatu. Allah memberi anugerah kepada setiap orang sesuai dengan kehendak-Nya, agar ia mampu melakukan juga kebaikan. Tiada seorang pun yang mencari keselamakan akan kehilangan kemampuan untuk berbuat baik.

Kepadanya Ia bersabda, “Barangsiapa memberi kamu minum secangkir air oleh karena kamu adalah pengikut Kristus, ia tidak akan kehilangan upahnya.” (Mrk 9:41). (On The Christian Mode Of Life 8.1).

Siapa yang menyebabkan salah satu dari anak-anak kecil yang percaya ini

Yesus menuntut tolok ukur hidup moral dan rohani yang sangat tinggi pada murid-Nya. Ia menghendaki murid-Nya mampu menghindarkan diri dari yang jahat dan seluruh akibat yang ditimbulkannya. Santo Paulus menegaskan bahwa upah dosa adalah maut (Rm. 6:23).

Ungkapan Yunani σκανδαλιση, skandalon bermakna: jebakan, batu sandungan. Ungkapan ini juga  bermakna figuratif: menjebak/memasang jebakan/perangkap/memasang batu sandungan dengan ajaran palsu. Maka, skandalon bermakna: menjadikan seseorang berbalik melawan Allah, mengingkari Yesus atau murtad.

Ungkapan skandalon dalam Terjemahan Baru 2 dialih bahasakan menjadi menyebabkan seseorang berbuat dosa. Pelaku pasti melakukan apa pun untuk mendorong si korban berbuat dosa: memasang jebak, menipu, memfitnah, menjelek-jelekkan, dan segala macam rekayasa buruk.

Yang disesatkan adalah ενα των μικρων, hena ton mikron, yang kecil di antara anggota jemaat. Yang termasuk yang kecil adalah anggota jemaat yang kurang pengetahuan iman, mudah ragu, kurang yakin, kurang pengajaran dan didikan.

Maka, pada merekalah seharusnya diupayakan pengajaran, didache, sesuai dengan pengajaran rasuli. Pengajaran dengan ajaran yang benar bertujuan “supaya di antara kamu jangan terdapat seorang yang hatinya jahat dan yang tidak percaya sehingga murtad dari Allah yang hidup.” (Ibr. 3:12).

Upah mereka yang menyesatkan mereka yang kecil adalah “lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ia dibuang ke dalam laut” (Mrk. 9:42). 

Dan Yesus menyamakan diri-Nya dengan mereka yang kecil (Mat 25:45), “Sesungguhnya Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku.”, amen dico vobis quamdiu fecistis uni de his fratribus meis minimis mihi fecistis.

Jika tanganmu,  kakimu,  matamu menyesatkan engkau

Yesus menuntutpara murid-Nya untuk memiliki mutu iman dan hidup yang tinggi. Masing-masing harus mampu mengendalikan sumber dosa atau kecenderungan yang tidak teratur. Penginjil menyebutkan tiga bagian tubuh yang melambangkan sumber dosa – tangan, kaki dan mata.

Menggunakan simbol tangan, Yesus menunjukkan kecenderungan manusia untuk mencuri atau merugikan orang lain. Kaki menjadi simbol orang menendang, menyingkirkan dan lari dari tanggung jawab. Mata bermakna sombong, tidak pernah puas, dan membangkitkan nafsu.

Dan semua itu bersumber dari hati. Sabda-Nya  (Mat 15:19), “Karena dari hati timbul segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat.”

Jika garam menjadi tawar, dengan apakah kamu mengasinkannya?

Yesus menggunakan citra garam untuk melukiskan bagaimana para murid-Nya harus hidup di dunia. Ia membedakan dua macam garam: yang bermutu jelek dan bermutu baik.

Garam yang jelek, berkualitas buruk sama dengan garam dari Laut Mati. Garam itu diinjak-injak orang, karena tidak dapat digunakan untuk mengasinkan makanan, mengobati luka, mengawetkan dan menyedapkan.

Orang yang memiliki kualitas iman dan perbuatan buruk sama dengan garam berkualitas jelek. Mereka hanya menghasilkan ketamakan, kesembongan, pengabaian para yang lemah, miskin, difabel dan mereka yang tanpa jaminan perlindungan. Yang berkualitas layak dicampakkan ke neraka.

Kata γεεννα, gehenna, neraka, mengacu pada lembah Ben Hinnom di sebelah selatan kota Yerusalem. Lembah ini terkutuk sejak umat Allah memberontak pada-Nya dengan mengorbankan manusia-manusia untuk dewa Molokh.

Nabi Yeremia mengutuk perbuatan dan lembah itu (bdk. 2Raj .23:10; Yer. 7:31; 32:35). Rabbi David Kimhi, sekitar tahun 1200, menyatakan bahwa lembah itu merupakan tempat pembuangan sampah yang berasal dari seluruh kota Yerusalem dan api selalu menyala untuk membakarnya.

Di situ ulat-ulat bangkai tidak mati dan api tidak padam (Mrk. 9:47-48). Api yang berkobar tanpa padam dan bau amis bangkai melambangkan situasi yang dialami seseorang  yang memisahkan diri dari Allah. Yang memisahkan dan menjauhkan diri dari Allah dan Kristus menempatkan diri sendiri di situ.

Namun, hati Allah selalu terbuka pada mereka dan Ia memberi waktu untuk berbalik dan kembali kepada-Nya. Banyak pribadi yang semula memusuhi Allah digunakan-Nya untuk mewartakan belas kasih-Nya, misalnya: Paulus dan Augustinus.

Hendaklah kamu selalu mempunyai garam dalam dirimu

Para murid Kristus diharapkan memiliki kualitas iman dan perilaku unggul, sehingga tiap pribadi disebut sebagai garam dunia (Mat. 5:13) di dalam komunitas manusia. Garam itu pasti dari jenis yang bagus atau berkualitas tinggi.    

Garam mempunyai banyak kegunaan di daerah yang beriklim panas sebelum penemuan listrik dan kulkas. Garam digunakan untuk memurnikan, menyedapkan masakan, mengawetkan daging, dan menghasilkan aroma sedap.

Garam juga digunakan sebagai lambang persaudaraan  dan dan selalu tersedia dalam perjamuan bersama. Di Timur Dekat dikenal ungkapan mengkhianati garam. Ungkapan itu bermakna mengkhianati Tuhan atau Guru atau sahabat. 

Leonardo Da Vinci dalam lukisan Last Supper, Perjamuan Terakhir, mendeskripsikan gerakan tangan Yudas Iskariot saat menggulingkan tempat garam. Ia sendiri mengidentifikasi diri sebagai pengkhianat terhadap Guru dan Tuhan. 

Tuhan menghendaki agar aroma kasih dan kebenaran-Nya  menyebar dalam hidup tiap murid-Nya melalui cara hidup, pikiran, perkataan dan tindakan. Dengan cara ini damai sejahtera, syaloom, mewarnai seluruh hidup. 

Dalam komunitas masing-masing, tiap murid-Nya dituntut untuk memurnikan, mengawetkan dan menyebar luaskan aroma Kerajaan Allah. Tiap pribadi mewujud nyatakan kebenaran, damai sejahtera, suka cita dan belas kasih.

Dengan kata lain, Yesus  menuntut mutu iman dan cara hidup yang tinggi. Kualitas itu dilambangkan dengan  garam yang baik. Iman dan hidup yang berkualitas tinggi diperoleh karena rahmat Allah dan melalui keteguhan untuk mengendalikan sumber dosa.

Santo Paulus mengingatkan bahwa setia murid Yesus dipanggil untuk menjadi  “bau yang harum dari Kristus di tengah-tengah mereka yang diselamatkan dan di antara mereka yang binasa. Bagi yang terakhir kami adalah bau kematian yang mematikan dan bagi yang pertama bau kehidupan yang menghidupkan.” (2Kor 2:15-16).

Sabda-Nya (Mrk. 9:50), “Hendaklah kamu senantiasa mempunyai garam dalam dirimu dan hidup berdamai seorang dengan yang lain.”, Habete in vobis sal et pacem habete inter vos.

Katekese

Karya amal kasih untuk kaum miskin. Paus Fransiskus, Buenos Aires, 7 December 1936.

Dalam hidup kita sebagai murid Kristus, saudara dan saudari terkasih, semoga doa dan perbuatan kita selalu terikat erat dan tak perpisahkan. Doa yang tidak memandu kalian pada tindakan nyata untuk saudara-saudarimu – kaum miskin, sakit, yang harus ditolong, dan dalam kesukaran – adalah doa yang mandul dan tidak sempurna.

Tetapi, dengan cara yang sama, ketika pelayanan Gerejani dilakukan hanya untuk sekedar melakukan sesuatu, memang, semua dilakukan karena penting, bermanfaat dan sudah direncanakan dengan baik. Namun kita melupakan peran utama Kristua.

Ketika waktu tidak disisihkan untuk dialog dengan Dia dalam doa, kita mempertaruhkan pelayanan kita sendiri, dan mengabaikan kehadiran Allah dalam  diri saudara dan saudari kita yang miskin. Santo Benediktus meringkas cara hidup seperti ini seperti ditunjukkan pada para rahib dalam dua kata: ora et labora, bekerjalah dan berdoalah.

Dari kontemplasi, dari persaudaraan yang kokoh dengan Allah lahirlah kemampuan  untuk hidup dan membawa kasih Allah, kerahiman dan kelembutan hati-Nya pada sesama. Dan karya kita untuk sesama yang berkekurangan, karya amal kasih, menghandar kita pada Tuhan, karena dalam diri saudara-saudari yang miskin, kita menjumpai Tuhan sendiri.” (Angelus, Lapangan Santo Petrus, Minggu 21 Juli 2013)

Oratio-Missio

Tuhan, penuhilah hatiku dengan aroma kasih dan kebenaran. Agar aku mampu memancarkan sukacita dan damai sejahtera Injili ke manapun aku pergi dan pada siapa pun yang kujumpai. Amin. 

  • Apa yang perlu kulakukan untuk meningkatkan mutu imanku?

Habete in vobis sal et pacem habete inter vos – Marcum 9:50

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here