Minggu. Hari Minggu Biasa XXII (H)
- Sir. 3:17-18.20.28-29.
- Mzm. 68:4-5ac.6-7ab.10-11.
- Ibr. 12:18-19.22-24a.
- Luk. 14:1.7-14.
Lectio (Luk. 14:1.7-14)
Meditatio-Exegese
Makin besar engkau, makin patut kaurendahkan dirimu
Perjumpaan dengan Tuhan hanya mungkin bila manusia merendahkan diri dan mencari Allah terus menerus. Ia tidak pernah memalingkan wajah-Nya setiap kali manusia kembali kepada-Nya. Allah selalu mengharapkan umat-Nya setia pada-Nya dan berpegang pada perjanjian dengan-Nya.
Yesus bin Sirakh, penulis suci yang lahir sekitar 170 Sebelum Masehi, menyaksikan bahwa umat Allah tidak akan berjumpa dengan Allah bila mencari-Nya di luar tradisi dan Kitab Suci. Hampir seluruh umat, terutama kaum muda, telah memunggungi dan berpaling dari Allah serta menatap kebijaksanaan asing yang menjajah, untuk kembali kepada-Nya.
Sebagai guru Bin Sirakh mengundang muridnya, yang dipanggil anakku (Sir. 3:17; bdk. Am. 1:8; dll.) untuk menapaki jalan kebijaksanaan, via sapientiae. Jalan ini ditemukan tradisi dan Kitab Suci umat Israel.
Kebijaksanaan atau hikmat ada di mana-mana dan memanggil untuk diikuti, “Hikmat berseru nyaring di jalan-jalan, di lapangan-lapangan ia memperdengarkan suaranya, di atas tembok-tembok ia berseru-seru, di depan pintu-pintu gerbang kota ia mengucapkan kata-katanya.” (Ams. 1:20-21).
Ia bisa ditemukan bila sikap batin selalu dalam keadaan rendah hati. Kerendahan hati menuntun pada keterbukaan budi dan hati untuk belajar dari Allah dan dari siapa pun yang bijaksana. Yesus pun menuntut para murid untuk rendah hati.
Sabda-Nya (Luk. 18:14), “Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.”, Quia omnis, qui se exaltat, humiliabitur; et, qui se humiliat, exaltabitur.
Kerendahan hati yang disertai belas kasih dan murah hati pada mereka yang membutuhkan membawa pengampunan dosa dari Allah, seperti api yang menjadi lambang dosa dipadamkan oleh air, lambang belas kasih dan kemurahan hati (bdk. Sir. 3:29).
Perjanjian Lama menyingkapkan bahwa Allah berkenan kepada orang yang rendah hati atau yang takut akan Allah (Ams. 3:34; Mzm. 25:14). Dalam Perjanjian Baru, Ibu Maria mengalami suka cita dalam madah Magnificat.
Ia memandang diri sebagai hamba yang rendah di hadapan Allah, dan mewartakan bahwa Ia memandang kerendahannya (bdk. Luk. 1:48) dan berkenan menjadikannya pembawa Sang Juruselamat.
Tentang sikap batin yang rendah hati, Santo Bonaventura, Pujangga Gereja, 122-1274, mengajarkan, “Bacaan rohani tanpa pertobatan tidak memadai; pengetahuan tanpa hormat bakti pada Allah juga demikian; penelitian tanpa kemampuan untuk mengagumi karya Allah juga demikian.
Kebijaksanaan tanpa keterbukaan untuk bersuka cita juga demikian; demikian juga tak memadai untuk kegiatan yang tak dibimbing Roh; tak juga memadai hikmat tanpa kasih, kepandaian tanda kerendahan hati; studi tanpa rahmat Allah, atau refleksi tanpa hikmat yang diilhami Roh Allah.” (Itinerarium mentis in Deum, prol., 4).
Semua yang hadir mengamat-amati Dia
Saat Yesus menghadiri undangan makan siang dari pemimpin kaum Farisi, mereka ternyata tidak menggunakan peristiwa itu untuk menyambut tamu terhormat. Mereka lupa akan Abraham, ketika menyambut tiga orang tamu, melayani makan siang denan penuh hormat dan melayani dengan ramah (Kej. 18:1-8).
Mereka tidak mengajak-Nya untuk merayakan Sabat. Tetapi, mereka justru melakukan pengamatan licik untuk menemukan cara mempersalahkan Yesus kalau-kalau Ia melanggar hukum Taurat. Santo Lukas menggunakan kata ‘παρατηρουμενοι’, parateroumenoi, dari kata dasar paratereo, bermakna: melihat dengan teliti; mengamati secara seksama.
Yesus dengan cerdik menggunakan kesempatan ini untuk mewartakan atau menjelaskan makna pelaksanaan hukum seperti yang dikehendaki Allah. Ia menukik pada hakikat kehormatan.
Yesus melihat tamu berusaha menduduki tempat kehormatan
Yesus dan para murid-Nya mendahului kedatangan tamu lain. Ia mengambil tempat dan mengamati apa yang terjadi di rumah itu.
Tamu datang dan memilih tempat duduk sesuka hati. Bila diperlukan, tempat duduk itu bisa diminta untuk diberikan pada orang lain yang dipandang lebih terhormat.
Bila sampai terjadi pengambil alihan, orang yang bersangkutan pasti kehilangan muka. Dan tempat yang terhormat adalah tempat yang dekat dengan tempat duduk tuan rumah, bisa di ujung meja atau di tengah.
Para tamu yang dijumpai Yesus hanya memperhatikan diri mereka sendiri. Mereka memilih tempat duduk untuk menunjukkan diri sendiri terhormat. Maka, sebisa mungkin, mereka duduk di tempat terhormat.
Perilaku ini mirip dengan keinginan Nyonya Zebedeus, ibu Yohanes dan Yakobus. Kata ibu itu, “Berilah perintah, supaya kedua anakku ini boleh duduk kelak di dalam Kerajaan-Mu, yang seorang di sebelah kanan-Mu dan yang seorang lagi di sebelah kiri-Mu.” (Mat. 20:20).
Sebaliknya, tempat yang terhormat, justru diberikan kepada orang yang tidak memintanya. Tempat itu diberikan dan kelak, Firdaus, tempat terhormat, justru dijanjikan untuk penjahat yang meminta agar Yesus ingat pada-Nya sesaat sebelum keduanya mati di salib.
Santo Lukas mencatat, “Lalu ia berkata: “Yesus, ingatlah akan aku, apabila Engkau datang sebagai Raja.”
Kata Yesus kepadanya: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus.” (Luk. 23:42-43).
Pergilah duduk di tempat yang paling rendah
“Pergilah duduk di tempat yang paling rendah.” (Luk. 14:10) merupakan undangan untuk menjadi rendah hati. Orang yang rendah hati selalu mengenal, memandang dan dan menilai diri sendiri dengan cara seperti yang dikehendaki Allah (bdk. Mzm. 139:1-4).
Yang rendah hati selalu menilai diri sendiri secara seimbang. Ia tidak menutup diri dengan topeng atau menutupi pembusukan mayat dengan nisan bercat putih (bdk. Mat. 23:27).
Ia menilai diri sendiri secara seimbang, tidak lebih besar atau lebih kecil dari kenyataan. Ia tidak pernah digoyahkan ketenaran, nama baik, keberhasilan atau kegagalan.
Kerendahan hati merupakan landasan dari semua keutamaan. Ia memampukan manusia menilik dan menyelidiki diri sendiri dengan benar, seperti Allah memandang masingmasing pribadi.
Yohanes Pembaptis memandang dirinya dengan benar (Yoh. 3:30), “Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil.”, Illum oportet crescere, me autem minui.
Rasul Paulus memberi contoh dan teladan terbesar akan kerendahan hati pada diri Yesus Kristus, “melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba… Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.” (Fil. 2:7-8).
Pemazmur pun memuliakan Allah (Mzm. 149:4), “Sebab TUHAN berkenan kepada umat-Nya, Ia menghormati dan memahkotai orang-orang yang rendah hati dengan keselamatan.”, quia beneplacitum est Domino in populo suo et exaltabit mansuetos in salute.
Apabila mengadakan perjamuan siang atau perjamuan malam, janganlah mengundang yang kaya
Perjamuan makan atau pesta biasanya digunakan sebagai sarana untuk menunjukkan identitas strata sosial yang punya hajat. Undangan dan penempatan tempat duduk para tamu diatur demikian rumit.
Biasanya orang yang dianggap terhormat ditempatkan di sekeliling tuan rumah. Kehadiran tetamu agung memberikan kesan betapa pentingnya kedudukan pengaruh si tuan rumah.
Pada perjamuan Sabat itu, bisa dikenali alasan mengapa Yesus diundang. Yesus hadir di situ dan diterima sebagai tamu kehormatan. Dari sudut lapisan sosial, Yesus pasti menduduki tempat yang lebih rendah dari si Farisi itu. Yesus hanyalah anak Yusuf, seorang tukang kayu (Luk. 4:22; Mat. 13:55).
Tetapi, ketenaran Yesus jauh melampaui si pengundang. Melalui kehadiran-Nya, si Farisi itu ingin dikenang di seluruh kota Yerikho sebagai orang yang telah mengundang guru paling terkenal dari Galilea. Perjamuan ini tidak digunakan untuk menjalin relasi yang lebih erat dengan Yesus dan belajar mendengarkan sabda-Nya.
Tetapi digunakan untuk menaikkan status sosial. Maka, si Farisi itu memperalat Yesus untuk meninggikan dirinya sendiri (Luk. 14:11). Di samping itu, kehadiran Yesus selalu diamat-amati. Mereka mencari-cari kesalahan-Nya agar Ia dapat dipersalahkan dan dihukum sesuai hukum Taurat (Luk. 14:1).
Tetapi apabila engkau mengadakan perjamuan, undanglah…
Sulit dipahami hingga jaman ini kalau sebuah pesta dihadiri orang-orang miskin, orang-orang cacat, orang-orang lumpuh dan orang-orang buta. Tetapi Yesus ternyata mendesak (Luk. 14:13), “Undanglah mereka”, Voca.
Desakan ini dilandasi alasan bahwa mereka yang disingkirkan, dihindari dan dinihilkan menjadi sumber kebahagiaan sejati, yang akan terpenuhi di hari kebangkitan orang-orang benar (Luk. 14:14).
Desakan ini juga bermakna bahwa setiap murid Yesus harus mampu bertindak sehati dan sejiwa dengan-Nya, mengulurkan tangan untuk membangun hidup yang lebih bermartabat.
Ia bersabda (Mat. 25:45), “Sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku.”, Quamdiu non fecistis uni de minimis his, nec mihi fecistis.
Katekese
Pertama dan terakhir dalam perjamua_. Santo Cyrilus dari Alexandria, Bapa Gereja, 376-444 :
“Ia bersabda, “Kalau orang itu telah mengundang seorang yang lebih terhormat dari padamu, berkata kepadamu: Berilah tempat ini kepada orang itu.” Oh, betapa engkau sungguh dipermalukan karena perilakumu yang kurang pantas!
Jujur kukatakan, ini seperti pencurian dan ganti kerugian atas barang yang telah dicuri. Ia harus mengembalikan apa yang telah diambilnya, karena ia tidak berhak untuk memiliki barang itu.
Pribadi yang sederhana dan terpuji, yang tanpa takut akan disalahkan mungkin mengabaikan nama baiknya dengan duduk di antara orang yang kurang diperhitungkan, tidak pernah mencari kehormatan. Orang itu memberikan pada orang lain apa yang mungkin menjadi haknya, sehingga ia tidak pernah terlihat menutupi dengan kesombongan semu.
Orang seperti ini pasti menerima kehormatan karena tindakannya. Tuhan kita bersabda “Tuan rumah akan datang dan berkata kepadamu: Sahabat, silakan duduk di depan …
Bilamana setiap orang dari antaramu ingin dihormati lebih dari yang lain, biarlah ia memperolehnya melalui penetapan Tuhan dan dimahkotai dengan kehormatan yang dianugerahkan Allah sendiri. Biarlah ia meraihnya dengan menjadi saksi atas nilai-nilai yang mulia.
Hukum untuk menjadi saksi atas nilai yang mulia itu adalah kerendahan hati, yang tidak pernah menyukai kesombongan. Rendah hati! Santo Paulus juga memandang kerendahan hati adalah yang paling utama dari semua nilai. Ia menulis untuk mereka yang hendak mencari kekudusan, “Cintailah kerendahan hati.” (Commentary On Luke, HomILY 101).
Oratio-Missio
Tuhan, Engkau menjadi hamba untuk membebaskan aku dari kasa dosa, mementingkan diri sendiri dan kesombongan. Bantulah aku untuk merendahkan diri seperti Engkau yang rendah hati dan selalu bersuka cita saat melayani semua yang berseru kepada-Mu. Amin.
- Apa yang perlu aku lakukan untuk menjadi rendah hati?
Quia omnis, qui se exaltat, humiliabitur; et, qui se humiliat, exaltabitur – Lucam 14:11