Kamis. Hari Kamis Putih (Misa Sore) (P)
- Kel. 12:1-8.11-14
- Mzm. 116:12-13.15-16bc.17-18
- 1Kor. 11:23-26
- Yoh. 13:1-15
Lectio (Yoh. 13:1-15)
Perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku
Santo Paulus begitu keras mengecam apa yang dilakukan jemaat Korintus. Ketika mereka berkumpul sebagai jemaat, mereka terpecah menjadi dua kelompok. Sebelum melakukan ibadat atau Perjamuan Tuhan, kelompok yang kaya berpesta pora sampai mabuk dan membiarkan saudara yang miskin kelaparan.
Mereka tidak tahu malu dan menghinakan mereka yang miskin. Dengan cara ini, mereka mengingkari Yesus Kristus, yang mereka rayakan kurbanNya, karena Ia hadir dalam diri saudara yang paling hina (1Kor. 11:21-22; bdk. Mat. 25:40).
Tidak hanya itu, jemaat juga melecehkan kaum perempuan. Mereka melanggar ketentuan bersama saat itu bahwa kaum perempuan seharusnya memakai kain penutup kepala ketika mereka ikut dalam perjamuan kasih, agape, Ekaristi (1Kor. 11:2-16).
Perjamuan kasih, agape, Ekaristi berakar dari penetapan tentang perjamuan paskah Yahudi. Dalam penetapan itu, Allah menetapkan supaya keluarga menyiapkan sesuai dengan kebutuhan. Ia menghindarkan setiap keluarga dari kerakusan atau segala nafsu yang tidak teratur.
Tiap keluarga hanya diperkenankan mengambil seekor anak domba. Dan bila jumlah anggota keluarga terlalu kecil untuk menghabiskan domba, keluarga itu harus membuka diri untuk kehadiran keluarga lain, termasuk yang termiskin dari antara yang miskin (bdk. Kel. 12:3-4).
Perjamuan Paskah selalu menjadi perayaan untuk menerima mereka yang disingkirkan dan mengubah sikap untuk bersahabat dengan alam. Bersahabat dengan alam mengacu pada ketentuan tentang umur domba kurban harus satu tahun; dan tidak memboroskan sumber alam, karena seluruh daging harus dihabiskan dan tulang yang tersisa harus dibakar (Kel .12:10).
Santo Paulus mengingatkan jemaat Korintus akan Penetapan Ekaristi. Ia tidak menyatakan apa yang didengarnya dari para murid, tetapi ia menyatakan apa yang didengarnya dari Tuhan, απο του κυριου, apo to Kuriou (1Kor. 11:23).
Kemungkinan ia menerima pewahyuan pada saat ia melakukan retret agung di tanah Arab (Gal. 1:17). Yang disampaikannya sangat sesuai dengan dengan apa yang ditulis oleh muridnya, Lukas (Luk. 22:19.20).
Paulus mendeskripsikan hubungan erat antara Ekaristi, perjamuan Tuhan, dengan kisah sengsara, wafat Kristus. Dengan cara ini, Ekaristi dirayakan dengan penuh hormat dan syukur, tidak seperti yang dilakukan jemaat Korintus.
Gereja mengajarkan penetapan Ekaristi, “Perjamuan Tuhan (bdk. 1Kor. 11:20), karena ia menyangkut perjamuan malam, yang Tuhan adakan bersama murid-murid-Nya pada malam sebelum sengsara-Nya. Tetapi ia juga menyangkut antisipasi perjamuan pernikahan Anak Domba (bdk. Why 19:9) dalam Yerusalem surgawi.
Pemecahan roti, karena ritus yang khas pada perjamuan Yahudi ini, dipergunakan oleh Yesus: pada waktu makan -sebagai kepala persekutuan- Ia memberkati roti dan membagi-bagikan-Nya (bdk. Mat. 14:19; 15:36; Mrk. 8:6.19); Ia melakukan ini dalam perjamuan malam terakhir (bdk. Mat. 26:26; 1Kor. 11:24).
Dari tindakan ini para murid mengenal-Nya kembali sesudah kebangkitan (bdk. Luk. 24:13-35). Dengan istilah “memecahkan roti” orang Kristen pertama menggambarkan perkumpulan Ekaristi mereka (bdk. Kis. 2: 42.46; 20: 7.11).
Dengan itu, mereka hendak menyatakan bahwa semua orang yang makan satu roti yang dipecahkan -dari Kristus itu- masuk ke dalam persekutuan-Nya dan membentuk di dalam-Nya satu tubuh (bdk. 1Kor. 10:16-17).” (Katekismus Gereja Katolik, 1329).
Selanjutnya, tentang pelayan Ekaristi, “KurbanEkaristi harus dirayakan terus menerus hingga akhir jaman. Dan karena kurban ini menuntut kehadiran imam, Tuhan kita menahbiskan para rasul sebagai imam pada Perjamuan Terakhir. Dan dengan cara inilah, Ia memberi kuasa dan wewenang pada mereka untuk mempersiapkan para pengganti mereka hingga akhir jaman.
Dengan kata lain, perintah untuk mengulangi perbuatan dan perkataan-Nya, “sampai Ia datang kembali” (1Kor. 11:26) bertujuan agar para Rasul dan para penggantinya merayakan secara liturgis kenangan akan Kristus, hidup-Nya, kematian-Nya, kebangkitan-Nya, dan akan pembelaan-Nya bagi kita di depan Bapa.” (Katekismus Gereja Katolik, 1341).
Ia mengasihi mereka sampai kepada kesudahannya
Saat saat perjamuan, setan, musuh lama (Mat. 13:39) atau si jahat (1Yoh. 2:13) pun juga bekerja untuk memulai rencana melenyapkan hidup Yesus (bdk. Mat. 4:1-11; Luk. 22:3; Yoh. 8:44; 12:31; etc.). Tak segan musuh lama ini menggunakan manusia, seperti golongan Herodian dan Farisi, untuk bersekongkol melawan-Nya (Mat. 12:14; Mrk. 3:6).
Yesus sepenuhnya sadar akan apa yang akan segera terjadi pada-Nya. Ia tahu kematian dan kebangkitan-Nya semakin dekat (Yoh. 18:4). Maka, saat bercakap-cakap bersama dengan para murid pada Perjamuan Malam nada intim dan penuh kasih tercipta.
Dikelilingi kedua belas murid yang dipilih-Nya sendiri dan percaya kepada-Nya, Ia menyampaikan pesan-pesan terakhir dan menetapkan Ekaristi, sumber dan pusat hidup Gereja.
Paus Paulus VI mengajar, “Ia menghendaki untuk menyampaikan kepenuhan makna, kenangan yang sangat kaya makna, sabda dan renungan yang dalam dan menggerakkan jiwa, kebaruan tindakan dan pengajaran, agar kita tak pernah mengalami kekeringan dalam merenungkan dan mendalami kisah hidup-Nya.
Itulah perjamuan perjanjian, belarasa tak terbatas dan kesedihan mendalam, dan, pada saat yang sama, menyingkapkan janji dan nubuat ilahi. Kematian makin dekat, disertai tanda-tanda pengkhianatan yang bisu, ditinggalkan, dikurbankan.
Suara dalam perbincangan mereka seolah mati. Namun, Yesus terus bersabda dalam untaian sabda yang selalu baru dan reflektif, sangat akrab, selalu mengalir antara hidup dan mati.” (Homili Kamis Putih, 27 Maret 1975).
Saat melakukan perjamuan terakhir, Yesus menyimpang dari kebiasaan. Tradisi umat Perjanjian Lama dan masyarakat Timur Tengah memiliki tradisi menyediakan air untuk membasuh kaki para tamu sebelum masuk kemah (Kej. 18:4; 19:2; 24:32; 43:24; Hak 19:21; 1Sam 25:41; 2Sam 11:8; Kid. 5:3; Mzm. 58:10).
Penyediaan air untuk membasuh kaki tidak hanya menandakan keramah tamahan. Tetapi juga menjadi sarana untuk mengembalikan kesegaran setelah perjalanan jauh. Yesus pun pernah mengecam ketidak ramahan karena tuan rumah, Simon orang Farisi, tidak menyediakan bagi-Nya air untuk membasuh kaki.
Ia berkata kepada Simon, “Engkau lihat perempuan ini? Aku masuk ke rumahmu, namun engkau tidak memberikan Aku air untuk membasuh kaki-Ku, tetapi dia membasahi kaki-Ku dengan air mata dan menyekanya dengan rambutnya.” (Luk. 7:44).
Yesus merangkum seluruh tindakan yang dilakukan seorang tuan rumah maupun budak. Ia meneladan keramah tamahan Abraham saat menyambut tiga orang tamu . Ia juga merendahkan diri serendah-rendahnya dengan bertindak seperti budak, δουλος, doulos.
Ia membasuh kaki yang kotor, berbau. Bahkah Ia membasuh kaki murid yang hendak mengkhianati-Nya. Ia menyaksikan kejahatan di hati Yudas Iskariot, yang gagal menanggapi ungkapan kasih-Nya.
Belas kasih dan kerahiman-Nya mengatasi kejahatan. Ia tetap mengulurkan tangan-Nya, membasuh kakinya dan memperlakukan sebagai sahabat hingga saat ia mengkhianati-Nya (Luk. 22:48).
Ia sadar akan menghadapi prajurit Yahudi, prajurit Romawi, pemuka agama Yahudi, Herodes Antipas dan Pontius Pilatus, serta seisi Yerusalem. Sendirian! Tetapi, Ia mencurahkan kasih-Nya setuntas-tuntasnya walau dihadapkan pada perilaku khianat, ketidak setiaan dan ketidak adilan. Ia mengasihi tanpa syarat.
Petrus memahami dengan baik akan tindakan Yesus, yang merendahkan diri-Nya sendiri (bdk. Fil. 2:6-7). Maka, ia menegur Tuhan dengan cara yang sama seperti dilakukannya pada kesempatan terdahulu, yakni : saat ia tidak mau tahu akan makna penderitaan Yesus (bdk. Mrk. 8:32 dan par.).
Santo Agustinus dari Hippo menulis, “Siapa yang tidak akan ciut hatinya ketika sadar Anak Allah membasuh kakinya… Kamu? Aku? Sabda harus direnungkan, bukan dipercakapkan, walau sabda itu seolah gagal menyingkapkan makna yang benar.” (In Ioann. Evang., 56,1).
Tindakan Yesus mengandung makna yang lebih mendalam dari apa yang diucapkan Petrus sesuai dengan pengetahuannya. Barangkali, nelayan dari Galilea itu tidak mampu memahami bahwa Allah merencanakan penyelamatan umat manusia melalui sengsara yang ditanggung Yesus (bdk. Mat 16:22-28; dan par.).
Setelah kebangkitan-Nya, ia baru memahami misteri pelayanan yang diteladankan oleh Sang Penebus: dengan membasuh kaki mereka, Yesus menyatakan dengan cara sederhana dan simbolik bahwa Ia datang bukan untuk dilayani, tetapi untuk melayani.
Pelayanan-Nya, seperti telah disampaikan-Nya kepada mereka (Mat. 20:28; Mrk. 10:45), “Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.”, Filius hominis non venit ministrari sed ministrare et dare animam suam redemptionem pro multis.
Maka, bila para murid tidak ambil bagian dalam tindakan yang diteladankan-Nya, mereka tidak menjadi bagian dari-Nya. Sabda-Nya (Yoh. 13:8), “Jikalau Aku tidak membasuh engkau, engkau tidak mendapat bagian dalam Aku.”, Si non lavero te, non habes partem mecum.
Santo Yohanes Chrysostomus menulis, “Kamu semua telah bersih karena sabda yang telah Kukatakan kepadamu. Yakni: Kamu sudah bersih seluruhnya. Kamu telah menerima Sang Terang. Kamu telah meninggalkan kesalahan orang Yahudi.
Sang nabi menekankan, “Basuhlah, bersihkanlah dirimu, jauhkanlah perbuatan-perbuatanmu yang jahat dari depan mata-Ku. Berhentilah berbuat jahat” (Yes. 1:16) … Maka, karena dalan diri mereka setan telah berurat-berakar dalam-dalam dalam jiwa dan mengikuti-Nya dengan penuh kesetiaan, Ia mengingatkan, sesuai dengan sabda Nabi, “Barangsiapa telah mandi, ia sudah bersih seluruhnya.” (Homily on Saint John, 70,3).
Ia membasuh kaki menunjukkan Ia mengasihi tiap pribadi tanpa batas. Sayang, sering dibalas dengan pengkhianatan, pergi meninggalkan-Nya, bahkan, membiarkan-Nya mati dalam sepi. Namun, Santo Yohanes bersaksi (Yoh. 13:1), “Ia mengasihi mereka sampai kepada kesudahannya.”, in finem dilexit eos.
Katekese
Allah selalu mengasihi. Paus Fransiskus, 1936 – sekarang :
Hari Kamis ini, Yesus makan bersama para murid, merayakan Paskah. Dari bacaan Injil hari ini kita tangkap inti sabda Yesus bagi kita, “Ia mengasihi mereka sampai kepada kesudahannya.” (Yoh. 13:1). Kasih Yesus kepada kita tidak mengenal batas: selalu semakin besar.
Dia tidak pernah lelah mengasihi siapa pun. Dia mengasihi kita semua, sampai memberikan nyawa-Nya bagi kita. Ya, memberikan nyawa-Nya untuk kita; ya, memberikan nyawa-Nya untuk kita masing-masing.
Kita masing-masing berkata, “Ia memberikan nyawa-Nya untukku”. Tiap pribadi, “Dia memberikan nyawa-Nya untukmu, untukmu, untukmu, untukku, untuk dia… untuk setiap orang, dengan menyebut nama.
Kasih-Nya seperti itu: pribadi. Kasih Yesus tidak pernah mengecewakan. Ia tidak pernah lelah mengasihi, sama seperti Ia tidak pernah lelah untuk mengampuni, tidak pernah capai untuk merangkul kita. […]
Kemudian, Ia melakukan hal yang tidak dipahami para murid: membasuh kaki. Pada masa itu, ketika orang sampai di rumah, kaki mereka kotor oleh debu jalan. Tidak ada jalan dari bebatuan… Hanya jalan berdebu.
Di ambang pintu rumah, mereka membasuh kaki. Pembasuhan tidak dilakukan oleh tuan rumah, tetapi oleh budak. Seperti seorang budak, Yesus membasuh kaki kita, kaki murid-murid-Nya.
Itulah sebabnya Ia bersabda, “Apa yang Kuperbuat, engkau tidak tahu sekarang, tetapi engkau akan mengertinya kelak.” (Yoh. 13:7). Kasih Yesus begitu agung, hingga Ia menjadi budak untuk melayani kita, menyembuhkan kita, menyucikan kita. […]
Ketika Tuhan membasuh kaki kita, Ia membasuh seluruh diri kita. Ia membuat kita suci. Ia membuat kita dikasihi lagi.
Sabda-Nya yang sangat indah dalam Kitab Nabi Yesaya melukiskan, “Dapatkah ibu melupakan anaknya? Jika seorang ibu melupakan anaknya, Aku tak akan melupakanmu.” (bdk. Yes. 49:15). Kasih Allah untuk kita selalu seperti ini.” (Homili Misa Kamis Putih, di ‘Our Father’ Church Rebibbia New Complex District Prison, Rome, 2 April 2015)
Oratio-Missio
Tuhan, anugerahilah aku hati yang teguh, hati yang tak mampu digoyahkan oleh pikiran kotor; hati yang tak takluk pada kesulitan yang melanda hidupku; hati yang lurus yang tak dapat goyah oleh tujuan serong.
Ya Tuhan, Allahku, anugerahilah aku pengertian untuk mengenal-Mu, ketekunan untuk mencari-Mu, kebijaksanaan untuk menemukan-Mu, dan, akhirnya, kesetiaan untuk memeluk-Mu. Demi Yesus Kristus, Tuhan kami. Amin. (doa Santo Thomas Aquinas, terjemahan bebas).
- Apa yang harus aku lakukan untuk mengasihi hingga pada kesudahannya?
in finem dilexit eos – Ioannes 13:1
Terima kasih tulisannya Mas Eko, pengetahuan iman tentang Kamis Putih dan Ekaristi yang mendalam, komplit. Terima kasih Redaksi Sesawi.Net yang memuat tulisan ini 🙏