Lectio Divina 29.10.2023 – Kasihilah Tuhan dan Sesamamu

0
95 views
Yesus di antara orang Farisi, by Lawrence W. Ladd, 1880

Hari Minggu Biasa XXX (H)

  • Kel. 22:21-27
  • Mzm. 18:2-3a.3bc-4.47.51ab
  • 1Tes. 1:5c-10
  • Mat. 22:34-40

Lectio

34 Ketika orang-orang Farisi mendengar, bahwa Yesus telah membuat orang-orang Saduki itu bungkam, berkumpullah mereka 35 dan seorang dari mereka, seorang ahli Taurat, bertanya untuk mencobai Dia: 36 “Guru, hukum manakah yang terutama dalam hukum Taurat?”

37 Jawab Yesus kepadanya: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. 38 Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. 39 Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. 40 Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh Hukum Taurat dan Kitab Para Nabi.”

Meditatio-Exegese

Aku akan mendengarkan seruan mereka

Allah meminta umat yang baru dibebaskan dari perbudakan untuk mengasihi-Nya dan sesama. Walau ada luka batin menganga karena perlakuan tidak adil, setiap orang memperlakukan sesama dengan murah hati dan penuh belas kasih.

Panggilan etis dan moral untuk mengasihi dinyatakan dalam bagian kedua Hukum Tuhan yang disampaikan Musa dalam ‘Kitab Perjanjian’ (Kel. 21:2-24:18). Kitab Perjanjian memuat kumpulan perintah Allah yang yang harus dilakukan.

Pesan pokok dari hukum ilahi terkait dengan bagaimana memperlakukan orang asing dan yang paling miskin dari antara yang miskin di tengah komunitas iman, termasuk para janda, yatim-piatu, dan orang melarat.

Allah meminta umat Israel untuk peka terhadap masalah yang dihadapi orang asing dan miskin, karena mereka mengalami sebagai orang asing yang rentan pada segala bentuk eksploitasi di Mesir. Jika mereka ditindas, Allah bersabda (Kel. 22:23), “Aku akan mendengarkan seruan mereka.”, et ego audiam clamorem eorum.

Bela rasa terhadap mereka yang miskin, asing, kecil, sakit, difabel, dan tersingkir tidak sekedar berpijak pada keutamaan manusiawi. Tetapi panggilan itu terus digemakan Allah dalam hati umat.

Ia tidak hanya menyapa sebagai ‘kamu’ dalam bentuk jamak, tetapi juga ‘kamu’ dalam bentuk tunggal dengan acuan masing-masing pribadi.

Hukum yang ditetapkan Allah bertujuan untuk menjamin kesetiaan umat pada komunitas iman dan perlakuan adil pada yang paling lemah dalam komunitas.  Perlakuan adil bagi yang paling lemah dimulai dari pendidikan sikap seperasaan dengan yang paling lemah.

Sikap batin diungkapkan dalam gabungan kata Latin-Yunani, homo sympatheticus. Ungkapan itu bermakna tiap pribadi seharusnya memiliki perasaan yang sama dengan yang lemah, sebab ia melihat Allah hadir di dalam diri mereka.

Sikap sehati-seperasaan pada yang paling lemah terus menerus digemakan dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Dalam Kitab Keluaran, misalnya, perintah untuk sehati dengan yang lemah diungkapkan, “Kamu pun dahulu adalah orang asing di Tanah Mesir.” (Kel 22:21).

Santo Lukas, misalnya, saat menggemakan ‘Sabda Bahagia’ (Luk. 6:20-23), memaknai orang miskin sebagai siapa pun yang melarat. “Berbahagialah, hai kamu yang miskin, karena kamulah yang empunya Kerajaan Allah.” (Luk. 6:20).

Di tempat lain Yesus bersabda, “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” (Mat 25:40).

Kitab Perjanjian Lama tidak disusun secara sistematik. Beberapa peraturan yang dinilai benar begitu saja ditulis untuk mengatur relasi sosial. 

Yang lain mengatur peribadatan; yang lain lagi berkaitan dengan pekerjaan. Dan semua yang ditulis bertujuan untuk mencegah kejahatan yang sangat berat.

Orang yang melakukan sihir, termasuk yang dilakukan perempuan, harus dihukum mati (bdk. Im. 20:6, 27; Ul. 18:10-14). Praktik ini disamakan dengan penyembahan berhala yang juga dilarang Gereja (bdk. Katekismus Gereja Katolik, 2117).

Hukum Asyur kuna dan Hukum Hammurabi pun melarangnya. Berkelamin dengan binatang (Kel. 22:19), suatu penyimpangan yang sering dilakukan di antara penggembala dan suku nomaden (bdk. Im. 18:23-25), dilarang dan pelaku dihukum mati.

Mempersembahkan korban bakaran pada dewa-dewi atau berhala selalu menggoda umat Israel. Pesona kemakmuran, kekayaan dan kekuasaan bangsa di sekitar seolah tak terbendung.

Ada keyakinan semua berasal dari para dewa-dewi yang disembah orang Mesir, Babel, Asyur, dan, yang terdekat Kanaan. Siapa pun yang menyembah dewa-dewi atau berhala “haruslah ia ditumpas.” (Kel. 22:20).

Orang asing, ger (Ibrani), adalah mereka yang dipaksa meninggalkan tanah kelahiran, karena perang, bencana atau kelaparan. Pada masa Israel kuna, janda yang ditinggal mati suami atau dicerai biasanya tidak memiliki dukungan – termasuk dukungan ekonomi – dari keluarga. Demikian juga dengan anak yatim piatu dan orang melarat di antara anggota komunitas/suku.

Dalam hukum (misalnya: Ul. 10:17-18; 24: 17) dan pesan kenabian (misalnya: Yes. 1:17; Yer. 7: 6), Allah selalu menyingkapkan keberpihakan-Nya pada umat yang paling malang dari antara yang malang. Nabi Yesaya dengan nada bertanya, menyingkapkan makna puasa, laku utama dalam peribadatan pada Allah.

Pesan Tuhan, “Bukankah puasa adalah untuk membagi rotimu dengan orang yang lapar dan membawa orang miskin yang terbuang ke rumahmu sendiri; ketika kamu melihat orang yang telanjang, kamu memberi dia pakaian, dan tidak menyembunyikan dirimu dari dagingmu sendiri?” (Yes. 58:7).

Bunda Gereja mengajarkan akan dosa yang berseru-seru hingga ke surga, “Tradisi kateketik juga mengingatkan, bahwa ada dosa-dosa yang berteriak ke surga. Yang berteriak ke surga adalah darah Abel (bdk. Kej. 4:10), dosa orang Sodom (bdk.Kej. 18:20; 19:13), keluhan nyaring dari umat yang tertindas di Mesir (bdk. Kel. 3:7-10), keluhan orang-orang asing, janda dan yatim piatu, (bdk. Kel. 22:20-22) dan upah kaum buruh yang ditahan (bdk, Ul. 24:14-15; Yak.5:4).” (Katekismus Gereja Katolik, 1867).

Guru, hukum manakah yang terutama dalam hukum Taurat?

Setelah membungkam kaum Saduki, kini giliran kaum Farisi yang mencobai Yesus. Kata yang digunakan: πειραζων, peirazon, mencobai, memasang perangkap, menjerat. Kata ini juga dipakai dalam Mat 4:1-11 saat setan mencobai atau menjerat Yesus agar mengikuti kemauannya.

Perselisihan pendapat dengan kaum Farisi terjadi berkali-kali. Setelah Yesus membungkam mereka saat Ia dituduh mengusir setan dengan kuasa Beelzebul, penghulu setan (Mat. 12:24), Santo Matius menyajikan pencobaan yang lain: mempertanyakan hukum yang terutama dan utama di Yerusalem.

Maka, ditampilkan ahli hukum Taurat dengan keahlian mengintepretasikan sisi hukum dari sabda Allah yang harus diberlakukan dalam hidup  sehari-hari. Kaum Farisi bertanya tentang hukum manakah yang paling utama dalam Hukum Taurat, di antara 613 perintah dan larangan dalam Kitab Taurat dan sejumlah besar ulasan para guru Yahudi, rabbi.

Mereka bertanya bukan untuk mencari kebenaran, tetapi mencari cara untuk menjelekkan Yesus atau menjerat-Nya supaya punya dalih untuk menghukum-Nya. Dan Yesus mengejutkan mereka dengan jawaban sederhana, mendalam dan menyingkapkan kehendak Bapa-Nya.

Kasihilah Tuhan, Allahmu, dan Kasihilah sesamamu manusia

Yesus meringkas dua perintah yang terdapat dalam Kitab Ulangan: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu.”  (Ul. 6:5), dan Kitab Imamat: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (Im. 19:18).

Kata ‘sesama’ dipahami sebagai kerabat dari suku/klan yang sama. Barangkali mereka mempersempit kata ‘sesama’ dalam perintah Im. 19:18 dengan acuan “seperti dirimu sendiri”. Maka, kata ini searti dengan ‘kerabat’.

Maka, umat itu wajib mengasihi siapa pun yang menjadi bagian dari keluarga, klan, suku dan bangsa mereka sendiri. Kata ‘saudaramu’ berarti sesama atau kerabat dalam satu keluarga, klan, suku dan bangsa.

Sedangkan orang asing, yakni: siapa pun yang tidak termasuk dalam bangsa Yahudi. Untuk mereka, Kitab Ulangan mengatur, “Dari seorang asing boleh kautagih, tetapi piutangmu kepada saudaramu haruslah kauhapuskan.” (Ul. 15:3).

Makna kata ‘sesama’ yang sempit dijungkir balikkan oleh Yesus. Saat seorang ahli Taurat mencobai-Nya untuk membenarkan diri sendiri, ia bertanya pada-Nya (Luk. 10:29), “Dan siapakah sesamaku manusia?”, Et quis est meus proximus?  

Yesus menjawab dengan perumpamaan yang menggoncang pola pikir siapa pun. Perumpamaan tentang Orang Samaria yang baik hati (Luk. 10:29-37) menyingkapkan bahwa kata ‘sesama’ selalu mencakup tidak hanya kerabat atau teman dekat, tetapi mereka ada di sekitar dengan pelbagai latar belakang agama, warna kulit, ras, jenis kelamin atau bahasa.

Mereka harus dikasihi. Santo Matius menggunakan kata kerja αγαπησεις, agapeseis, dari kata dasar agapao.  Karya Allah melulu mengasihi, karena Ia adalah kasih dan seluruh karya-Nya mengalir dari kasih-Nya untuk manusia (1Yoh. 3:1; 4:7-8.16).

Ia mengasihi engkau dan aku terlebih dahulu (1Yoh. 4:19) dan kasih kita pada-Nya merupakan jawaban atas kebaikan dan belas kasih-Nya pada manusia. Yesus juga memerintahkan untuk mengasihi sesama manusia, “Barangsiapa mengasihi Allah, ia harus juga mengasihi saudaranya.” (1Yoh. 4:21).

Akan tetapi, jika manusia mengasihi manusia hanya untuk kepentingan dirinya sendiri, tanpa pernah menghadirkan Allah, kasihnya menjadi halangan untuk mengungkapkan dan melaksanakan perintah pertama. Maka kasihnya belumlah sempurna.

Maka kasih yang dicurahkan untuk sesama demi kepentingan Allah menjadi bukti nyata bahwa manusia mengasihi Allah. Santo Yohanes menulis, ­“Jikalau seorang berkata, “Aku mengasihi Allah,” dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta.” (1Yoh. 4:20).

Dengan demikian, perintah pertama dan terutama tercakup dalam kasih tanpa syarat pada Allah; yang kedua merupakan konsekuensi dan buah dari yang pertama. Santo Thomas Aquino berkata bahwa ketika manusia dikasihi, Allah juga dikasihi, karena manusia merupakan citra Allah (bdk. Commentary on St. Matthew, 22:4).

Dalam kata penutup Ensiklik Deus est Caritas, Paus Benediktus XVI menegaskan, “Marilah kita mengenang para kudus, yang mewujudkan kasih dengan cara yang istimewa. Kenangan kita secara khusus terarah pada Martinus dari Tours (†397), prajurit yang menjadi rahib dan uskup: dia hampir seperti sebuah ikon, gambaran akan kesaksian kasih pribadi yang nilainya tak tergantikan.

Di pintu gerbang Amiens, Martinus membagi dua mantelnya dan memberikannya pada seorang miskin: Yesus sendiri, yang pada malam itu menampakkan diri kepadanya dalam mimpi dengan mengenakan mantel tersebut.

Hal itu menegaskan kebenaran abadi dari apa yang dikatakan dalam Injil, “Ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian … segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” (Mat. 25, 36.40) .

Katekese

Mengasihi Allah dengan hati, budi dan jiwa. Origenes dari Alexandria, 185-254 :

“Layaklah dia, yang dilimpahi segala anugerah, yang bersukacita karena kebijaksanaan Allah, karena telah memiliki hati yang penuh dengan kasih pada Allah dan jiwa yang sepenuhnya diterangi oleh pelita pengetahuan dan budi yang dipenuhi oleh sabda Allah. Lalu, hidup mengikuti bahwa anuggerah-anugerah itu yang sebenarnya berasal dari Allah.

Ia akan memahami bahwa semua hukum dan nabi dengan cara yang sama merupakan bagian dari kebijaksanaan dan pengetahuan akan Allah. Ia akan memahami bahwa semua hukum dan nabi tergantung dan taat pada pengajaran akan kasih pda Tuhan Allah dan kasih pada sesama; dan bahwa kesempurnaan kekudusan tercakup dalam kasih.” (Commentary On Matthew 13).

Oratio-Missio

Tuhan, kasih-Mu mengatasi segala. Penuhilah hatikuku dengan kasihMu; kuatkanlah iman dan harapanku. Bantulah aku untuk memberikan seluruh diriku dalam pelayanan kepada sesama dengan murah hati, seperti Engkau bermurah hati padaku. Amin.

  • Apa yang perlu aku lakukan untuk mengasihi Allah dan sesama? 

In his duobus mandatis universa Lex pendet et Prophetae – Matthaeum 22: 40

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here