Minggu. Pesta Keluarga Kudus, Yesus, Maria, Yusuf (P)
- 1Sam. 1:20-22.24-28
- Mzm. 84:2-3.5-6.9-10
- 1Yoh. 3:1-2.21-24
- Luk. 2:41-52
Lectio
41 Tiap-tiap tahun orangtua Yesus pergi ke Yerusalem untuk merayakan Paskah. 42 Ketika Yesus telah berumur dua belas tahun pergilah mereka ke Yerusalem seperti yang lazim pada perayaan itu. 43 Ketika hari-hari itu berakhir, sementara mereka berjalan pulang, tinggallah Yesus, Anak itu, di Yerusalem tanpa diketahui orang tua-Nya.
44 Karena mereka menyangka bahwa Ia ada di antara orang-orang seperjalanan mereka, berjalanlah mereka sehari perjalanan jauhnya, lalu mencari Dia di antara kaum keluarga dan kenalan mereka. 45 Karena mereka tidak menemukan Dia, kembalilah mereka ke Yerusalem sambil terus mencari Dia.
46 Sesudah tiga hari mereka menemukan Dia dalam Bait Allah. Ia sedang duduk di tengahpara guru agama, sambil mendengarkan mereka dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada mereka. 47 Semua orang yang mendengar Dia sangat heran akan kecerdasan-Nya dan jawaban-jawaban yang diberikan-Nya.
48 Ketika orang tua-Nya melihat Dia, tercenganglah mereka, lalu kata ibu-Nya kepada-Nya, “Nak, mengapakah Engkau berbuat demikian terhadap kami? Lihat, bapak-Mu dan aku cemas mencari Engkau.” 49 Jawab-Nya kepada mereka, “Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?”
50 Namun, mereka tidak mengerti apa yang dikatakan-Nya kepada mereka. 51 Lalu Ia pulang bersama mereka ke Nazaret, dan tetap hidup dalam asuhan mereka. Ibu-Nya menyimpan semua hal itu di dalam hatinya.
Meditatio-Exegese
Aku telah memintanya dari pada Tuhan
Hanna mandul walau telah menikah selalam bertahun-tahun. Ketika ia dan suaminya mengunjungi Tabut Tuhan di Silo, ia bersumpah, “Tuhan semesta alam, jika Engkau sungguh memperhatikan sengsara hamba-Mu ini dan mengingat dan tidak melupakan hamba, tetapi memberi hamba seorang anak laki-laki, maka hamba akan memberikan dia kepada Tuhan seumur hidupnya. Pisau cukur tidak akan menyentuh kepalanya.” (1Sam. 1:11).
Allah mendengarkan suara permohonannya, dan Hanna wajib mempersembahkan anaknya laki-lakinya kepada Allah sebagai anak nazir seumur hidup (Bil. 6:1-21). Ia memberinya nama Samuel, sebab katanya (1Sam. 1:20), “Aku telah memintanya dari pada Tuhan.”, eo quod a Domino postulasset eum.
Hanna, yang selalu dilecehkan oleh istri muda Elkana karena kemandulannya, mepati janjinya pada Allah setelah anaknya disapih. Menurut hukum Musa, suami harus bertanggung jawab untuk memberi persetujuan atas sumpah istri (Bil. 30:13). Ia juga menyetujui keputusan sang istri untuk memenuhi janjinya hingga anaknya disapih.
Orang tua Samuel mempersembahkan kurban bakaran dengan harga mahal, sesuai dengan kemampuan ekonomi keluarga itu. Hewan yang dikurbankan adalah binatang ternak jantan yang tak cela, dapat berupa sapi, domba, atau kambing. Jika keluarga itu miskin, kurban bakaran dapat berupa burung tekukur atau merpati, seperti dipersembahkan keluarga Kudus Nazaret pada saat Yesus dipersembahkan di Bait Allah (Luk. 2:22-24).
Hewan kurban yang dipersembahkan dalam ibadat di Kemah Allah di Silo berupa seekor lembu jantan berumur tiga tahun, atau mungkin tiga ekor. Jika hewan itu berjumlah tiga ekor, hanya satu yang kurbankan (1Sam. 1:25).
Dua yang lain diberikan sebagai hadiah untuk Kemah Allah, sebagai panjar biaya yang dikelola para imam yang bertanggung jawab mendidik Samuel. Jumlah yang diberikan oleh ayah Samuel merupakan jumlah persembahan yang sangat berlimpah ruah.
Di samping kurban lembu, keluarga itu mempersemahkan tepung gandum terbaik dengan jumlah banyak. Satu efa tepung setara dengan 2 liter; sedangkan ketentuan Hukum menetapkan untuk seekor lembu dibutuhkan 1/10 efa untuk tiap domba kurban (Im. 14:10.21; Bil. 15:4; 28:4-9).
Tetapi 3/10 efa tepung untuk lembu (Bil. 15:9; 28:12, 20, 28). Maka, untuk 3 ekor lembu hanya diperlukan 9/10 efa, suatu jumlah yang sedikit dibanding apa yang dipersembahkan Hanna dan suaminya.
Orang tua Samuel membawanya ke Kemah Suci setelah ia disapih. Seorang anak biasanya disapih pada usia 3 tahun (2Mak. 7:27).
Hanna mengingatkan Eli, sang imam, akan nazarnya beberapa tahun lalu dan menyerahkannya untuk dididik sebagai orang Nazir dan pelayan Allah seumur hidup. Orang tua Samuel sujud memuji Allah ketika mereka mempersembahkan kurban di altar dan ambil bagian dalam ibadat hari itu.
Bertahun kemudian, Nabi Samuel yang telah dewasa akan mengurapi pemuda Daud dari Bethlehem yang dipilih Allah menjadi raja Israel. Daud menjadi bapa lelehur Yesus dari Nazaret, Anak Allah dan Nabi Agung (1Sam. 16:1.13; Mat. 1:1; Luk. 1:32-33).
Tiap-tiap tahun orang tua Yesus pergi ke Yerusalem untuk merayakan Paskah
Allah selalu mengajarkan kasih, mengasihi-Nya dan mengasihi sesama manusia. Jalan itu harus diajarkan dan dilakukan mulai dari keluarga inti, orang tua kepada anak-anak. Sabda-Nya, ”Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu.
Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah kautaruh dalam hatimu. Haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya, ketika engkau duduk di rumahmu atau sedang dalam perjalanan, ketika engkau berbaring atau bangun.” (Ul. 6:5-7).
Mengasihi menjadi inti penjanjian antara Allah dengan manusia. Perjanjian kasih mengikat seluruh umat sebagai anak-anak-Nya yang dikasihi.
Kasih-Nya menjadi batu penjuru yang mengikat pria dan wanita dalam satu daging dalam perkawinan, dan dalam kasih timbal-balik dengan anak-anak mereka, dan dengan anak-anak dari anak-anak mereka dari satu generasi ke generasi.
Ia menghendaki kasih-Nya menjadi pusat seluruh relasi dan segala perbuatan manusia. Inilah alasan mengapa Allah mengutus Roh Kudus, agar kita dapat mengasihi seperti Ia mengasihi kita.
Santo Paulus menulis, ”kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita” (Rm. 5:5). Santo Yohanes bersaksi (1Yoh. 4:19), ”Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita”, nos ergo diligamus quoniam Deus prior dilexit nos.
Hukum Taurat mewajibkan laki-laki Yahudi, minimal berusia 12 tahun, menghadap ke hadirat Allah di Bait Suci tiga kali dalam setahun pada hari raya Roti Tidak Beragi, Tujuh Minggu dan Pondok Daun (Kel. 23:14; Ul. 16:16).
Tetapi, dua kebiasaan terakhir dikecualikan untuk mereka yang tinggal sangat jauh. Pada hari raya Roti Tak Beragi/Paskah, Yerusalem selalu dipenuhi peziarah dari seluruh penjuru dunia.
Keluarga Kudus Nazaret memenuhi segala perintah Taurat dengan sepenuh hati, bahkan lebih dari tuntutan minimal, karena melibatkan Bapak Yusuf, Ibu Maria dan Kanak-kanak Yesus. Sehingga mereka layak untuk disebut kudus (bdk. Luk. 1:35; Ibr. 10:25).
Keluarga Kudus harus menempuh pelbagai macam bahaya yang menghadang – perampokan, penipuan, tersesat, kecelakaan, sakit, kehabisan perbekalan di perjalanan, yang berjarak kira-kira 91 mil atau 146 km.
Ia sedang duduk di tengah guru agama
Yesus lahir di tengah keluarga Yahudi, yang mendidik anak menurut ajaran dan kebijaksanaan Allah seperti termuat dalam Perjanjian Lama dan tradisi keagamaan bangsa itu. Yesus bahkan tunduk pada hukum Musa (Gal. 4:4). Ia disunat sebagai tanda bahwa Ia adalah anggota bangsa itu sesuai perjanjian-Nya dengan Abraham pada hari kedelapan; dan Ia diberi naman Yesus, Yeshua dalam bahasa Ibrani bermakna Allah menyelamatkan.
Yusuf dan Maria mendidik Yesus kecil menurut Kitab Suci dan adat-istiadat Yahudi. Mereka mengikuti sabda Allah dalam Kitab Kebijaksanaan, “Hai anakku, dengarkanlah didikan ayahmu, dan jangan mengabaikan ajaran ibumu.” (Ams. 1:8).
Terlebih, untuk para orang tua Kitab Kebijaksanaan mengajarkan (Ams. 22:6), ”Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu”, proverbium est adulescens iuxta viam suam etiam cum senuerit non recedet ab ea.
Berbeda dengan kebanyakan keluarga jaman kini, kehidupan keluarga Yahudi pada saat itu dipusatkan pada doa harian keluarga, mencakup pendarasan Mazmur dan bacaan Kitab Suci. Setiap Jumat petang, keluarga berkumpul untuk perjamuan, menyalakan lilin Sabat dan berdoa memohon berkat untuk roti dan anggur untuk membuka perayaan Hari Sabat yang disucikan.
Tiap Sabtu pagi keluarga mengikuti ibadat Sabat yang mencakup pembacaan dari Taurat, lima Kitab Musa dan mendaraskan Mazmur di sinagoga setempat. Anak lelaki remaja harus bersekolah tiap pagi di akhir pekan di rumah yang disebut rumah buku/kitab di sinagoga atau rumah rabbi. Mereka mendapatkan pelajaran lanjutan tentang Kitab Suci Yahudi.
Tiap remaja laki-laki harus menghafalkan kelima kitab pertama dalam jajaran Kitab Suci Yahudi, Taurat atau Kitab Musa, pada saat mereka berusia 12 atau 13 tahun. Mereka juga harus belajar menghafal dan mempraktekkan amsal yang ditemukan dalam Kitab Kebijaksanaan (Kebijaksanaan Salomo) dan Kitab Sirakh yang sangat umum ditemukan di lingkungan keluarga Yunani di wilayah-wilayah yang berbahasa Yunani.
Tempat pengajaran terletak di serambi luar Bait Allah. Para murid biasanya duduk bersimpuh, menghadap para guru. Guru dan murid berinteraksi melalui tanya-jawab. Yesus ambil bagian dalam proses pembelajaran ini karena diwajibkan untuk diuji pengetahuan-Nya supaya dapat dimasukkan dalam kelompok usia dewasa.
Tiada penjelasan yang memadai mengapa Yesus justru duduk di tengah-tengah para guru Yahudi. Barangkali, semula Ia hadir dan duduk sebagai murid biasa.
Tetapi ketika Ia mendengarkan dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan, mereka menjadi tertarik, dan sangat heran akan kecerdasan-Nya dan segala jawab yang diberikan-Nya. Maka, masing-masing guru justru beranjak dari tempat duduk mereka dan mulai mengelilingi Yesus.
Ungkapan terima kasih harus disampaikan kepada Ibu Maria dan Bapak Yusuf. Mereka telah mengantar Yesus hingga mencapai kematangan jiwa dan mampu mengembangkan diri dalam pengetahuan, kebijaksanaan dan pemahaman akan Hukum Tuhan.
Tugas perutusan Ibu Maria dan Bapak Yusuf sama dengan tugas perutusan setiap pasangan suami-istri yang dikaruniai anak: menuntun tiap anak mencapai kematangan jiwa, pengembangan diri dalam pengetahuan, kebijaksanaan dan mengenal Injil. Tugas ini tidak bisa digantikan oleh perangkat moderen.
Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?
Dua kalimat ini menjadi sabda Yesus yang pertama kali dicatat dalam Injil. Kekhawatiran ibu dan bapak-Nya, yang mencari selama tiga hari, terungkap dalam pertanyaan (Luk. 2:48), ”Nak, mengapakah Engkau berbuat demikian terhadap kami? Lihat, bapak-Mu dan aku cemas mencari Engkau.”
Wajar dan manusiawi kekhawatiran mereka; mereka mencemaskan keselamatan anak, sama seperti orang tua lain yang cemas bila anak tidak pulang atau dalam pengawasan mereka.
Namun, jawaban menyentak kalbu justru mereka dapatkan (Luk 2:49), “Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?”, Quid est quod me quaerebatis? Nesciebatis quia in his, quae Patris mei sunt, oportet me esse?
Ungkapan Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku dalam teks Yunani dapat diterjemahkan menjadi Aku sedang berurusan dengan Bapa-Ku. Ungkapan jawaban Yesus menunjukkan bahwa Ia sadar akan diri-Nya sediri untuk selalu memenuhi kehendak Bapa-Nya.
Jawaban Yesus yang didengarkan Ibu Maria dan Bapak Yusuf mengandung makna yang jauh lebih dalam dari pada pemahaman mereka berdua. Mereka berdua harus terus menerus memahami dan menyelami hidup Anak mereka.
Ibu Maria menyimpan kisah duka ini dalam hati, sama seperti para ibu yang lain yang sering sepertinya dikecewakan oleh anak-anak mereka. Inilah salah satu kedukaan Ibu Maria; sulit memahami Anaknya sendiri; salah satu pedang yang menembus jiwanya, seperti kata Simeon (Luk 2:35)
Ia tetap hidup dalam asuhan mereka
Yesus tetap hidup dalam kasih dan taat pada Ibu Maria dan Bapak Yusuf. Sama seperti para orang lainnya, mereka membesarkan Yesus sebagai pribadi yang menghormati Allah dan hidup seturut dengan kebijaksanaan-Nya. Santo Lukas mengisahkan bahwa ”Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia” (Luk. 2:52).
Ia tinggal di Nazaret dan hidup dari pertukangan, seperti bapak-Nya. Dan Ia tetap tinggal di Nazaret sampai berusia 30 tahun. Usia 30 tahun merupakan usia yang ditentukan tradisi Yahudi bagi laki-laki untuk menjadi rabbi atau guru yang mengajarkan pengetahuan dan kebijaksanaan Allah seperti termaktub dalam Kitab Suci dan tradisi.
Dan diusia itulah, Yesus dibaptis Yohanes di Sungai Yordan dan diurapi Roh Kudus untuk melaksanakan tugas perutusan-Nya sebagai Sang Kristus, Mesias, Dia yang diurapi, dan Juruselamat dunia.
Katekese
Merenungkan Teladan Hidup Ibu Maria. Paus Fransiskus, 17 Desember 1936 – sekarang
Di dalam diri Maria kita melihat bahwa kerendahan hati dan kelembutan bukanlah keutamaan-keutamaan dari orang yang lemah, tetapi dari orang yang kuat yang tidak perlu memperlakukan orang lain secara buruk agar merasa dirinya penting.
Dengan memandang Maria, kita menyadari bahwa dia yang memuliakan Allah karena “menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya” dan “menyuruh orang yang kaya pergi dengan tangan hampa” (Luk. 1:52-53), juga adalah dia yang membawa semangat dalam usaha kita meraih keadilan (Luk. 1:52-53).
Dia juga yang menyimpan secara cermat “segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya” (Luk. 2:19). Maria mampu mengenali jejak-jejak Roh Allah dalam peristiwaperistiwa besar, juga dalam peristiwa-peristiwa yang nampaknya kecil.
Dia senantiasa merenungkan misteri Allah di dunia kita, dalam sejarah manusia dan dalam hidup kita sehari-hari. Dia adalah perempuan pendoa dan pekerja di Nasaret sekaligus dia juga Ratu yang siap dan cepat membantu, yang berangkat dari kotanya “langsung” (Luk. 1:39) untuk melayani sesama.
Dinamika keadilan dan kelembutan ini, kontemplasi dan perjalanan menuju orang-orang lain adalah apa yang membuat Maria menjadi teladan Gereja untuk evangelisasi. Kita mohon melalui perantaraan keibuannya untuk membantu kita agar Gereja dapat menjadi rumah bagi banyak orang, seorang ibu untuk semua bangsa, dan agar memungkinkan kelahiran dunia baru.
Kristus yang bangkitlah yang memberitahu kita, dengan kuasa yang mengisi kita dengan keyakinan dan harapan teguh: “Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru” (Why. 21:5).” (Seruan Apostolik Evangelii Gaudium, 288)
Oratio-Missio
Tuhan, Engkau datang untuk memulihkan damai dan relasi kami dengan Bapa di sorga. Semoga bila ada perpecahan, jadikanlah aku pembawa persatuan dan perdamaian. Bila ada pertengkaran, jadikanlah aku pembawa kerukunan dan pengampunan. Semoga seluruh keluarga dan bangsa-bangsa di dunia menemukan damai, keselarasan dan kerukunan dalam Dikau, Pangeran Damai Sejahtera dan Juruselamat. Amin.
- Apa yang perlu aku lakukan untuk mengantar anak-anak yang dipercayakan padaku untuk mengenal dan hidup berdasarkan pengetahuan dan kebijaksanaan Allah?
Quid est quod me quaerebatis? Nesciebatis quia in his, quae Patris mei sunt, oportet me esse? – Lucam 2:49