Lectio Divina 30.06.2023 – Yang Tak Mungkin Menjadi Mungkin

0
194 views
Aku mau dan jadilah engkau sembuh, by Vatican News

Jumat. Pekan Biasa XII (H)

  • Kej.17:1.9-10.15-22
  • Mzm.128:1-2.3.4-5
  • Mat.8:1-4

Lectio

1 Setelah Yesus turun dari bukit, orang banyak berbondong-bondong mengikuti Dia. 2 Maka datanglah seorang yang sakit kusta kepada-Nya, lalu sujud menyembah Dia dan berkata: “Tuan, jika Tuan mau, Tuan dapat mentahirkan aku.”

3 Lalu Yesus mengulurkan tangan-Nya, menjamah orang itu dan berkata: “Aku mau, jadilah engkau tahir.” Seketika itu juga tahirlah orang itu dari pada kustanya.

4 Lalu Yesus berkata kepadanya: “Ingatlah, jangan engkau memberitahukan hal ini kepada siapapun, tetapi pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam dan persembahkanlah persembahan yang diperintahkan Musa, sebagai bukti bagi mereka.”

Meditatio-Exegese

Akulah Allah Yang Mahakuasa, hiduplah di hadapan-Ku dengan tidak bercela

Setelah Allah membaharui perjanjian-Nya dengan Abram tentang keturunan (Kej. 15), disingkapkan kewajiban yang harus dilakukan para bapa bangsa dan keturunan mereka. Mereka harus hidup suci, mengimani Allah yang esa dan benar, serta melakukan upacara sunat (Kej. 17:1.9-10).

Perjanjian selalu berasal dari prakarsa Allah. Maka manusia harus bertekat baja untuk melaksanakannya dengan setia. Dalam perjanjian ini, Abram harus melaksakanan sunat yang diperintahkan Allah kepadanya dan keturunannya.

Saat Allah meminta kesediaan Abram untuk setia pada tugas kewajiban yang ditetapkan-Nya, Allah menyingkap diri sebagai ‘Allah Yang Mahakuasa’, El-Shaddai, yang disematkan para bapa bangsa kepada Allah (bdk. Kej. 28:3; 35:11; 43:14; 48:3; 49:25). Nama ‘Yahwe’ belum disingkapkan (bdk. Kel. 3:13-14).

Sepanjang sejarah manusia, Allah menyingkapkan Jati Diri-Nya setahap demi setahap, sesuai kemampuan manusia. Saat menjumpai Abram, terjemahan bahasa Yunani, Septuaginta, menggunakan kata κύριος, kurios, Tuhan sebagai padanan ‘Allah Yang Mahakuasa’.

Maka, tradisi alkitabiah mencatat penggunaan nama-nama yang disematkan pada Allah selalu merujuk pada Allah yang sama dengan Dia yang menetapkan Perjanjian Sinai, Yahwe. 

Saat menjumpai Abram, Allah Yang Mahakuasa memintanya dan seluruh bangsanya hidup tanpa cela di hadapan-Nya.

Menurut bapa Gereja Klement dari Alexandria terdapat dua hal yang sangat erat terkait, “Hidup tanpa cela menjadi satu-satunya cara untuk tidak jatuh dalam dosa. Maka, tiap orang harus sadar bahwa Allah selalu menyertainya.” (Paedagogus, 3, 33, 3).

Kitab Suci mencatat pertama kali panggilan untuk hidup tanpa cela di hadapan Allah. Panggilan ini kelak diperluas Yesus untuk seluruh umat manusia, tanpa kecuali (Mat. 5:48). Sabda-Nya (Kej. 17:1), “Hiduplah di hadapan-Ku dengan tidak bercela.”, ambula coram me et esto perfectus

Abram menjadi yang pertama dalam tradisi  biblis yang namanya diubah oleh Allah. Ia mengubahnya menjadi pribadi dan tugas pengutusan baru. Abraham bermakna ‘bapa sejumlah besar bangsa’ (Kej. 17:5).

Maka, nama itu erat terkait dengan Perjanjian yang ditetapkan Allah. Seluruh hidup para bapa bangsa lekat dan setia pada Perjanjian yang ditetapkan Allah. Abraham menjadi ‘bapa Perjanjian’.

Dalam terang Perjanjian Baru, Abraham terkait juga dengan para bangsa yang bertobat dan mengimani Kristus (bdk. Rm. 4:17).

Nama ‘bapa sejumlah besar bangsa’ menubuatkan bahwa bangsa-bangsa bukan Yahudi akan ambil bagian dalam umat Perjanjian Baru, Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik.

Bagi bangsa Israel, sunat dipandang tak hanya sebagai perintah ilahi yang tercakup dalam Perjanjian dengan Allah.

Tetapi juga penanda yang membedakan dari bangsa lain dan menunjukan bahwa masing-masing adalah anggota umat Allah. Sunat juga menjadi pralambang pembaptisan Kristen.

“Penyunatan Yesus, pada hari kedelapan sesudah kelahiran-Nya (Luk. 2:21), adalah suatu bukti bahwa Ia termasuk dalam keturunan Abraham dalam bangsa perjanjian, bahwa Ia takluk kepada hukum (Gal. 4:4)  dan ditugaskan untuk ibadah Israel, yang dalamnya Ia akan mengambil bagian sepanjang hidup-Nya.

Ia adalah pratanda “penyunatan yang diberikan Kristus”: “Pembaptisan” (Kol 2:11 12).” (Katekismus Gereja Katolik, 527).

Dalam tata keselamatan baru, tanda itu, sunat, sudah tidak berlaku lagi. Santo Paulus menegaskan, “Sebab bagi orang-orang yang ada di dalam Kristus Yesus hal bersunat atau tidak bersunat tidak mempunyai sesuatu arti, hanya iman yang bekerja oleh kasih.” (Gal. 5:6).

Allah tetap setia pada janji-Nya untuk mengaruniakan anak pada Abraham (Kej. 15). Sarai, isteri Abraham, juga akan terlibat dalam pemenuhan janji itu. Maka, ia juga  akan mendapatkan nama baru, Sara, dan  peran baru sebagai ibu bangsa-bangsa (Kej. 17:16).

Memang ia sudah mendapatkan seorang anak laki-laki, Ismail, dari budaknya, Hagar, sesuai dengan adat istiadat saat itu. Namun, bukan melalui  dia Allah melaksanakan janji dan rencana keselamatan-Nya.

Saat Allah menyingkap janji-Nya tentang anak yang akan dilahirkan Sara, isterinya, Abraham ragu. Ia ragu karena usia tua. Mustahil ia yang berusia seratus tahun dan isterinya sembilan puluh tahun akan mendapatkan anak di babak akhir hidup.

Di samping, ia hanya memikirkan Ismail, yang dilahirkan untuknya, mewarisi berkat ilahi dan menjadi bapa banyak kaum. Memang, akhirnya, ia diberkati seperti harapan Abraham.

Tetapi, Allah menuntut Abraham dan Sara untuk terus membaharui iman dan setia berpegang pada janji Allah. Anak yang akan dilahirkannya akan mengambil peran kunci pada Perjanjian yang ditetapkan. Rencana dan karya Allah  jauh mengatasi keraguan dan pikiran sempati manusia.

Datanglah seorang yang sakit kusta kepada-Nya

Setiap penderita kusta harus hidup terpisah dan mengengakan pakaian compang camping. Yang bersentuhan dengannya penderita kusta pasti ikut najis (bdk. Im. 13:45-46).

Mengumpulkan seluruh keberanian, si kusta melanggar seluruh norma agama untuk bertemu Yesus. Ia menjumpai-Nya dengan sikap hormat bakti, seperti tata peribadatan. Ia datang, sujud dan menyembah.

Saat menyapa Yesus, ia menggunakan kata ‘Tuhan’. Yang layak mendapatkan penghormatan ini hanya Tuhan. Maka, ia berkata, “Tuan, jika Tuan mau, Tuan dapat mentahirkan aku.”, Domine, si vis, potes me mundare

Kata-katanya bermakna “Tidak perlulah Engkau menyentuh saya. Cukuplah bersabda sesuai kehendak-Mu, maka saya sembuh.”

Ia tidak memiliki kuasa memaksa Yesus. Ia menggantungkan kesembuhannya pada keputusan-Nya. Dan dengan rendah hati ia tidak mau Yesus menyentuh dirinya. 

Kalimat yang diucapkan si kusta memiliki tiga makna.

  • penyakit kusta pasti menajiskan seseorang;
  • penyakit kesepian, penyingkiran, bahkan, penghukuman sosial, disebabkan oleh masyarakat dan agama;
  • terpenting, menyingkapkan iman yang sangat kokoh pada kuasa Yesus Kristus.

Yesus mengulurkan tangan-Nya, menjamah orang itu dan berkata

Yesus bertindak di luar perkiraan si kusta. Ia mengabaikan hukum kenajisan yang diatur Hukum Taurat. Lalu bersabda (Mat 8:3), “Aku mau, jadilah engkau tahir.”, Volo, mundare.

Dengan menyentuh si kusta dan bersabda, “Aku mau.”

Yesus menegaskan, “Bagi-Ku, engkau sudah tidak tersingkir lagi. Aku tidak takut menyentuhmu dan menjadi najis. Dan Aku menerima engkau sebagai saudara.”   

“Jadilah engkau tahir.” (Mat 8:3) menyingkapkan bahwa Ia menyembuhkan orang sakit itu.

Maka, Yesus telah menyatakan wajah Allah yang baru – Allah yang berbelas kasih dan murah hati. Ia bertindak jauh mengatasi apa yang dilarang dalam hukum agama Yahudi. Ia menyentuh yang disingkirkan, diabaikan dan dianggap terkutuk.

Pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam

Yesus memerintahkan orang itu untuk pergi dan menemui imam sesuai ketentuan yang berlaku. Pada waktu itu imamlah yang menentukan apakah orang itu sudah sembuh atau belum dari penyakit kusta (bdk. Im. 14:2-3). 

Orang itu membutuhkan tanda pengakuan kesembuhan. Tanda itu menjadi sarana untuk kembali bersatu, bergaul atau berinteraksi dengan sesama anggota masyarakat secara wajar.

Dengan cara ini pula, Yesus memaksa institusi resmi untuk mengakui bahwa ia telah sembuh. Maka, Yesus tidak hanya menyembuhkan orang sakit itu. Tetapi Ia juga mengintegrasikan kembali dengan masyarakat.

Tetapi, menurut catatan Santo Markus (Mrk. 1:45), “Orang itu pergi memberitakan peristiwa itu dan menyebarkannya kemana-mana, sehingga Yesus tidak dapat lagi terang-terangan masuk ke dalam kota.

Ia tinggal di luar di tempat-tempat yang sepi; namun orang terus juga datang kepada-Nya dari segala penjuru.”

Yesus tidak lagi dapat masuk kota, karena Ia telah menjadi najis setelah menyentuh orang sakit itu. Maka Ia harus menyingkir ke tempat sunyi yang tidak dijamah orang (bdk. Bil. 5:2).

Santo Markus menunjukkan norma resmi kurang diperhatikan saat orang  dari pelbagai kalangan datang pada Yesus. Kerumunan pasti mencampakkan semua tata sosial yang telah diatur dengan baik.

Maka, untuk mewartakan Kabar Suka cita pada seluruh makhluk, para murid-Nya kita tidak perlu takut melanggar hukum agama yang berlawanan dengan rencana dan kehendak Allah.

Aturan itu tidak hanya menghambat mengalirnya kasih dan roh persaudaraan, serta mempersulit relasi dengan sesama. Tetapi juga mempersulit Yesus juga saat menjalin kedekatan dengan manusia. 

Katekese

Kristus pemilik kuasa menyembuhkan dan mentahirkan. Santo Yohanes Chrysostomus, 347-407:

“Dengan usaha yang sangat keras untuk sampai di depan kaki Yesus, si kusta memohon pada-Nya (Mrk. 1:40) dengan iman yang kuat. Ia mampu mengenali siapa Yesus.

Ia tidak memohon pada-Nya dengan kalimat bersyarat, “Jika Engkau memohonkan pada Allah” atau “Jika Engkau memohonkan untukku.”

Namun, ia hanya berkata, “Jika Tuan mau, Tuan dapat mentahirkan aku.” Ia tidak memohon, “Tuan, sembuhkanlah aku.”

Terlebih, Ia menyerahkan segala sesuatu kepada Tuhan dan penyembuhannya tergantung seluruhnya pada-Nya. Maka, ia bersaksi bahwa Tuhanlah yang empunya seluruh kuasa.

Orang mungkin bertanya, “Apa yang terjadi jika si kusta salah mengandaikan?” Jika ia telah membuat kesalahan, bukankan sudah layak bila Tuhan mengingatkan dan segera memberi hukuman?

Namun, apakah Ia melakukan ini semua? Tidak. Sebaliknya, Yesus menyembuhkan dan mengabulkan seluruh apa yang ia katakan.” (The Gospel Of Matthew, Homily 25.1).

Oratio-Missio

“Semoga kuasa kasih-Mu, Tuhan Yesus Kristus, yang kuat dan manis bagai madu, begitu memikat hati kami  sehingga menarik seluruh makhluk yang ada di kolong langit. Anugerahilah kami agar kami bersedia mati karena kasih kepada kasihMu, seperti Engkau rela mati karena kasih-Mu kepada kami. Amin.” (Doa Santo Fransiskus Asisi, 1181-1226, terjemahan bebas).

  • Apa yang perlu kulakukan pada yang paling disingkirkan, dihindari bahkan ditolak oleh komunitas atau keluarga atau lingkungan?

Et extendens manum, tetigit eum dicens, “Volo, mundare.” – Matthaeum 8:3

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here