Hari Minggu Biasa XXII (H)
- Yer.20:7-9
- Mzm. 63:2.3-4.5-6.8-9
- Rm.12:1-2
- Mat. 16:21-27
Lectio
21 Sejak waktu itu Yesus mulai menyatakan kepada murid-murid-Nya bahwa Ia harus pergi ke Yerusalem dan menanggung banyak penderitaan dari pihak tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga. 22 Tetapi Petrus menarik Yesus ke samping dan menegor Dia, katanya: “Tuhan, kiranya Allah menjauhkan hal itu! Hal itu sekali-kali takkan menimpa Engkau.”
23 Maka Yesus berpaling dan berkata kepada Petrus: “Enyahlah Iblis. Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia.” 24 Lalu Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku.
25 Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya. 26 Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya? Dan apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya?
27 Sebab Anak Manusia akan datang dalam kemuliaan Bapa-Nya diiringi malaikat-malaikat-Nya; pada waktu itu Ia akan membalas setiap orang menurut perbuatannya.
Meditatio-Exegese
Dalam hatiku ada sesuatu yang seperti api yang menyala-nyala, terkurung dalam tulang-tulangku
Sangat dramatik Nabi Yeremia melukiskan perasaan suka cita dan putus asa karena setia melaksanakan tugas perutusan sebagai penyambung lidah Allah. Luapan suka cita segera berakhir dengan duka yang menyayat. Keberhasilan menuntun umat segera berubah menjadi frustrasi berkepanjangan dan mengiris hati.
Nabi Yeremia, dilahirkan dari keluarga Imam Hilkia kira-kira 640 sebelum Masehi di Anatot, desa kicil sekitar 3 mil di utara Yerusalem. Pada tahun ke-13 pemerintahan Raja Yosia, 626 sebelum Masehi, ia dipanggil Allah untuk menjadi nabi-Nya. Nabi selalu bersemangat saat terlibat dalam pembaharuan hidup moral dan iman pada masa Raja Yosia berkuasa.
Yosia memulai pembaharuan setelah hidup moral dan iman dirusak pada jaman pendahulunya, Raja Manashe dan Amon (2 Raj. 21:1-23). Keduanya meninggalkan TUHAN, Allah nenek moyangnya dan tidak hidup menurut kehendak TUHAN. Padahal, Manasye mewarisi kecemerlangan hidup iman umat yang dibangun ayahnya, Raja Hizkia, seperti dicatat dalam Kitab Para Raja (2Raj. 18:3-4).
Sayang, Raja Yosia mengabaikan nasihat Yeremia. Ia justru terlibat dalam perang konyol melawan Firaun Nekho dari Mesir, yang sedang mengerahkan pasukan melawan Asyur. Yosia kalah dan dibunuh di Megido, tahun 609 sebelum Masehi (2Raj. 23:29).
Sejak saat itu, seluruh raja Yehuda menjadi taklukan Nekho. Maka, pengaruh asing mulai merasuki seluruh sendi kehidupan umat, termasuk penyembahan berhala dan dewa-dewi asing. Perjanjian Sinai dan Allah ditinggalkan.
Kesedihan hati Allah dan keputus asaan nabi diungkapkan dalam kalimat yang menyayat hati. Kedua kerajaan disamakan dengan dua saudari yang masing-masing melacurkan diri dan mengkhianati Allah.
“Dengan sundalnya yang sembrono itu maka ia mencemarkan negeri dan berzinah dengan menyembah batu dan kayu. Juga dengan semuanya ini Yehuda, saudaranya perempuan yang tidak setia itu, tidak kembali kepada-Ku dengan tulus hatinya, tetapi dengan pura-pura, demikianlah firman TUHAN.” (Yer. 3:9-10).
Setelah kematian Raja Yosia, umat di Yehuda dipanggil untuk kembali kepada Allah. Tetapi Suara Allah melalui Nabi Yeremia ditolak. Utusan-Nya diperlakukan semena-mena. Nabi ditangkap, dipukul dan dipasung di Gerbang Benyamin (Yes. 20:2), walau dilepaskan pada keesokan hari.
Perlakuan buruk di luar batas kemampuan untuk menanggung membuat nabi merasa ditinggalkan Allah. Ia hanya bisa meratap atas derita yang seolah tak mampu ditanggungnya.
Allah dirasakan telah menipunya, karena Ia seolah tak mau tahu akan penderitaan yang harus ditanggung sebagai nabi Alllah (Yer. 20:7). Tekanan jiwa karena penolakan dan olok-olok oleh umat yang dilayani, bahkan keluarga sendiri, melipat-gandakan derita yang harus ditanggung. Terlebih, nabi dipenjara, dianiaya terus-menerus, termasuk dipasung oleh imam agung saat itu, Pasyhur bin Imer.
Nabi mengalami tak hanya krisis iman, tetapi juga krisis harapan. Seluruh pengabdiannya pada umat, terlebih pada Allah, tidak menghasilkan apa-apa, kecuali derita tiada henti.
Keluhnya (Yer. 20:7b-8), “Aku telah menjadi tertawaan sepanjang hari, semuanya mereka mengolok-olokkan aku. Sebab setiap kali aku berbicara, terpaksa aku berteriak, terpaksa berseru: “Kelaliman! Aniaya!””, Factus sum in derisum tota die, omnes subsannant me. Quia quotiescumque loquor, vociferor, iniquitatem et vastitatem clamito.
Nabi Yeremia ingin menolak panggilannya dan lari dari tugas perutusan. Tetapi ia tidak mampu, karena Allah seperti “seperti api yang menyala-nyala”, yang tanpa henti berkobar di seluruh pipa tulang. Dan ia tak mampu memadamkan kobaran itu.
Kata nabi (Yer. 20:9), “Aku berlelah-lelah untuk menahannya, tetapi aku tidak sanggup.”, et defeci, ferre non sustinens.
Santo Yohanes dari Salib menyimpulkan bahwa terkadang kehendak Allah sulit dipahami, “Sangat sulit kita memahami sepenuhnya sabda dan tindakan Allah. Bahkan untuk menentukan apa maknanya, kita sering jatuh dalam kesalahan dan kebingungan.
Para nabi yang dipercaya Allah untuk menyampaikan kehendak-Nya mengetahui hal ini dengan baik. Tugas mereka untuk bernubuat kepada umat sering merupakan tugas yang sangat menakutkan, karena mereka tidak selalu memahami apa yang ucapkan para nabi akan terjadi.” (dikutip dari Ascent of Mount Carmel, 2.20,6).
Di saat-saat sulit dan penuh derita karena panggilan-Nya, tiap murid harus mengingat pesan Santo Paulus, “Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia.
Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya.” (1Kor. 10:13).
Pergi, menanggung, dibunuh dan dibangkitkan
Santo Matius menempatkan syarat untuk mengikuti Yesus tepat setelah pengakuan iman Petrus bahwa Yesus adalah Sang Mesias (Mat 16:13-20) dan sebelum Yesus menampakkan kemuliaan-Nya (Mat 17:1-8). Yesus meminta kedua belas rasul untuk menyampaikan, menurut kata orang, siapa diri-Nya, dan, menurut mereka sendiri, siapa diriNya.
Petrus menjawab, “Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!” (Mat. 16: 16). Ia terus mendesak para murid untuk tidak mengatakan apapun kepada orang lain sampai pada masa setelah kebangkitan-Nya.
Sejak saat itulah, setahap demi setahap, Yesus menjelaskan kepada kedua belas rasul apa yang dimaksud dengan Mesias, seperti yang dikehendaki Allah. Yesus tidak menghendaki adanya salah pengertian tentang identitas diri-Nya.
Ia menghayati tugas perutusan-Nya sebagai Hamba Allah yang menderita seturut dengan nubuat Nabi Yesaya (bdk. Yes 52:13-53:12).
Santo Matiusdalam Mat. 16:21 menggunakan empat kata kerja penting: pergi, menanggung, dibunuh dan dibangkitkan. Keempatnya diikat dengan suatu keharusan, harus. Keharusan menyingkapkan ketaatan untuk melaksanakan kehendak Allah, karena kehendak-Nya selalu mengarah pada keselamatan.
Kematian Yesus dipandang sebagai sebagai konsekuensi ‘logis’ atas sikap batian-Nya yang tidak mau berkompromi dengan kehendak penguasa sipil, penguasa lembaga kegamaan dan orang banyak.
Sikap batin-Nya hanya tertuju pada melaksanakan kehendak Bapa-Nya, “Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya.” (Yoh 4:34).
Sama seperti para nabi yang melaksanakan kehendak Allah, Yesus dibunuh. Namun, Perjanjian Baru mempercayai bahwa kematian dan kebangkitan-Nya merupakan cara yang harus dilalui dan diterima dengan bebas.
Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku
Santo Matius menggunakan kataσκανδαλον, skandalon, pencobaan, jerat, batu sandungan. Kata ini selalu bermakna menyimpang dari arah yang telah ditetapkan. Walau pada kesempatan sebelumnya menerima pujian, kini Petrus menjadi batu sandungan.
Petrus berusaha menghalangi Yesus dan meminta-Nya untuk menyimpang dari kehendak Bapa. Petrus menghendaki Yesus mengambil jalan yang lebih enak dan mudah. Inilah alasan mengapa Yesus membandingkan Petrus dengan setan atau iblis, karena setan selalu berupaya menghalangi Yesus dan para murid-Nya untuk setia pada tugas perutusan Allah (bdk. Kisah pencobaan di gurun dalam Mat 4:1-11).
Ia tidak mau mengikuti keinginan dan harapan orang banyak. Mereka menghendaki Mesias yang gagah perkasa, seperti pahlawan perang atau penakluk atau hakim yang menaklukkan seluruh musuh Israel, termasuk Kekaisaran Romawi. Ia itulah yang menegakkan tahta Daud.
Ia harus menyangkal dirinya sendiri, memikul salibnya, dan mengikut Aku
Yesus menggunakan lambang yang menimbulkan kegentaran, ketakutan dan kengerian, yakni: salib, alat untuk menghukum mati para penjahat. Lambang itu digunakan untuk menakar kesetiaan setiap murid-Nya.
Masing-masing murid harus mau melucuti seluruh keinginan yang berlawanan dengan kehendak-Nya hingga titik puncaknya, yakni: menyatukan kehendak untuk rela mengorbankan diri, bahkan mati, untuk bersatu dengan-Nya. Ketika seorang murid mengikuti jalan yang ditempuh-Nya, ia ambil bagian dalam misteri penebusan umat manusia.
Jalan ini layak ditempuh oleh orang-orang benar. Mereka menanggung derita yang tidak selayaknya diterima. Derita menjadi konsekuensi dari penolakan atas kebenaran Injili yang mereka wartakan. Jalan ini pasti berbeda dengan penderitaan yang harus ditanggung karena dosa yang dilakukan atau sebagai kaki tangan atau pendukung perbuatan-perbuatan jahat.
Setiap murid-Nya dan mengganti keinginan sendiri dengan kehendak Allah. Santo Yohanes dari Salib, mengingatkan untuk tidak mengikuti pikiran orang banyak yang “meminta Allah melakukan kehendak-Nya seperti yang mereka sendiri inginkan.
Mereka resah karena harus melakukan apa yang Ia kehendaki dan mereka selalu menentang untuk menjadikan kehendak Allah sebagai kehendak sendiri.
Maka, berpendapat jika kehendak mereka sendiri tidak terlaksana dan kesenangan tidak diraih, itu berarti bukan kehendak Allah. Di sisi lain, ketika mereka sendiri menemukan kepuasan, Allah pun puas. Jadi, mereka menentukan kehendak Allah sesuai dengan kepentingan diri sendiri, bukan diri mereka sendiri menurut Allah.” (dikutip dari Dark Night of the Soul, Book 1, Chapter 7, 3).
Panggilan Yesus selalu mengkaitkan alasan yang khas, yaitu: ‘karena Aku’. Alasan ini membedakan dengan yang lain. Orang lain mau mengorbankan hidup karena, barang kali, mereka mengalami pengalaman pahit yang mengubah hidup mereka. Tetapi, Ia bersabda, “Akan tetapi, siapa yang kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan mendapatkannya.” Terlebih, Santo Markus menambahkan, “karena Aku dan karena Injil”(Mrk 8: 35).
Sabda Yesus, “Apa untungnya jika seseorang memperoleh seluruh dunia, tetapi kehilangan nyawanya?
Atau, apa yang bisa seseorang berikan sebagai ganti nyawanya?” juga mengingatkan akan doa pemazmur saat ia bermadah bahwa orang tidak akan mampu membayar tebusan bagi dirinya sendiri, “Tidak seorangpun dapat membebaskan dirinya, atau memberikan tebusan kepada Allah ganti nyawanya, karena terlalu mahal harga pembebasan nyawanya, dan tidak memadai untuk selama-lamanya” (Mzm 49: 8-9).
Anak Manusia akan datang dalam kemuliaan Bapa-Nya
Inilah saat pengadilan itu datang. Anak Manusia akan datang seperti dinubuatkan dalam penglihatan Nabi Daniel (Dan 7:13-14). Ia akan mengajak setiap orang yang rela memberikan nyawanya bagi sahabatnya.
SabdaNya, “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh 15:13). Kasih itu diwujudkan dalam melakukan perintah Sang Sahabat (bdk. Yoh 15:14): Setiap kali kamu membantu yang miskin, yang sakit, yang tak punya rumah, tahanan, orang asing, kamu melakukannya untuk Aku (lih. Mat 25: 34-45). Dan sekarang, Ia menuntut pula untuk memperhatikan rumah kita bersama, bumi (Paus Fransiskus, Laudato Si).
Katekese
Mengikuti Yesus dengan suka cita. Konsili Vatikan II
“Di dorong oleh cinta kasih yang berasal dari Allah, mereka mengamalkan kebaikan terhadap semua orang, terutama terhadap rekan-rekan seiman (lih. Gal 6:10), sementara mereka menanggalkan “segala kejahatan, segala tipu muslihat dan segala macam kemunafikan, kedengkian dan fitnah” (1Ptr 2:1), dan dengan demikian menarik sesama kepada Kristus.
Sebab cinta kasih Allah, yang “dicurahkan ke dalam hati kita melalui Roh Kudus yang dikurniakan kepada kita” (Rom 5:5), menjadikan kaum awam mampu untuk sungguh-sungguh mewujudkan semangat Sabda Bahagia dalam hidup mereka. Sementara mengikuti Yesus yang miskin, mereka tidak merasa hancur karena kekurangan harta duniawi, tetapi juga tidak menjadi sombong karena kelimpahan.
Sambil mengikuti Kristus yang rendah hati, mereka tidak gila hormat (lih. Gal 5:26), melainkan berusaha berkenan kepada Allah lebih daripada kepada manusia, serta selalu siap sedia untuk meninggalkan segalanya demi Kristus (lih. Luk 14:26) dan menanggung penganiayaan demi keadilan (lih. Mat 5:10), sementara mengenangkan sabda Tuhan, “Barang siapa mau mengikuti Aku, hendaklah ia mengingkari dirinya dan memikul salibnya dan mengikuti Aku” (Mat 16:24) (Dekrit tentang Kerasulan Awam, Apostolicam Actuacitatem, 4).
Oratio-Missio
- Ambillah, ya Tuhan, dan terimalah segenap kemerdekaanku, ingatanku, budiku serta segenap kehendakku; apa saja yang kupunyai dan kumiliki. Engkaulah yang telah memberikan itu kepadaku. Kepada-Mulah, ya Tuhan, semua itu kupersembahkan kembali; segalanya itu milikmu. Pergunakanlah itu menurut kehendakmu. Berilah aku kasih dan rahmatMu. Sebab sudah cukuplah bagiku.” (doa Santo Ignatius dari Loyola, 1491-1556, terjemahan bebas)
- Apa yang perlu aku lakukan untuk melakukan segala ‘karena AKU’?
qui autem perdiderit animam suam propter me, inveniet eam – Matthaeum 16:25