Minggu. Hari Minggu Biasa XVIII (H)
- Pkh. 1:2;2:21-23
- Mzm. 90:3-4.5-6.12-13.14.17
- Kol. 3:1-5.9-11
- Luk. 12:13-21
Lectio
13 Seorang dari orang banyak itu berkata kepada Yesus: “Guru, katakanlah kepada saudaraku supaya ia berbagi warisan dengan aku.” 14 Tetapi Yesus berkata kepadanya: “Saudara, siapakah yang telah mengangkat Aku menjadi hakim atau pengantara atas kamu?” 15 Kata-Nya lagi kepada mereka: “Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu.”
16 Kemudian Ia mengatakan kepada mereka suatu perumpamaan, kata-Nya: “Ada seorang kaya, tanahnya berlimpah-limpah hasilnya. 17 Ia bertanya dalam hatinya: Apakah yang harus aku perbuat, sebab aku tidak mempunyai tempat di mana aku dapat menyimpan hasil tanahku.
18 Lalu katanya: Inilah yang akan aku perbuat; aku akan merombak lumbung-lumbungku dan aku akan mendirikan yang lebih besar dan aku akan menyimpan di dalamnya segala gandum dan barang-barangku.
19 Sesudah itu aku akan berkata kepada jiwaku: Jiwaku, ada padamu banyak barang, tertimbun untuk bertahun-tahun lamanya; beristirahatlah, makanlah, minumlah dan bersenang-senanglah.
20 Tetapi firman Allah kepadanya: Hai engkau orang bodoh, pada malam ini juga jiwamu akan diambil dari padamu, dan apa yang telah kausediakan, untuk siapakah itu nanti? 21 Demikianlah jadinya dengan orang yang mengumpulkan harta bagi dirinya sendiri, jikalau ia tidak kaya di hadapan Allah.”
Meditatio-Exegese
Kesia-siaan belaka, segala sesuatu adalah sia-sia
Abad ketiga sebelum Masehi, penjajahan bangsa Mesir yang berkebudayaan Yunani membuat seluruh Yehuda seolah kehilangan jati diri. Selain menghisap seluruh kekayaan negeri, manusia dan tanah (Pkh. 4:1; 5:7), penjajah mengakarkan budaya asing pada umat yang setia pada Yahwe, Allah.
Situasi ini membuat hampir tiap orang kehilangan daya juang, semangat dan kemampuan untuk melakukan perubahan. Allah seolah-olah sangat jauh, tak bisa didikati dan disapa. KaryaNya seolah-olah tak dapat dimengerti dan diselami (Pkh. 3:11; 8:16–17).
Menanggapi tantangan yang mengancam jati diri umat Allah, penulis suci mengundang semua untuk merenungkan akan kesia-siaan dan kembali kepada hikmat Allah. Punulis suci mengidentifikasi diri sebagai Qoheleth, yang berakar dari kata Ibrani, qahal, berkumpul, atau bersekutu.
Maka, qoheleth bermakna seseorang yang mengundang untuk berkumpul atau bersekutu, yang dipadankan dengan kata Yunani, ekklesia. Dari kata itu berasal kata gereja, jemaat yang diundang untuk berkumpul dan menjadikan Yesus sebagai pusat hidup dan iman.
Kitab Pengkhotbah diawali dan diakhiri dengan kata-kata yang sama (Pkh. 1:2; bdk. 12:8), “Kesia-siaan belaka, kata Pengkhotbah, kesia-siaan belaka, segala sesuatu adalah sia-sia.”, Vanitas vanitatum, dixit Ecclesiastes,vanitas vanitatum et omnia vanitas.
Dengan tepat dan penuh tekanan makna, ayat ini merangkum gagasan pokok Kitab Pengkhotbah dan penilaian penulis suci atas harta milik duniawi dan buah usaha manusia. Segala sesuatu mencakup juga buah olah pikir/refleksi atas pengalaman hidup atau kebijaksanaan adalah kesia-siaan.
Kesia-siaan, dalam bahasa Ibrani diungkapkan dengan kata hebel, yang sepadan dengan kata uap, udara. Kata ini erat terkait dengan gagasan bahwa suatu benda bersifat tidak tetap, tidak nyata, ilutif. Di samping itu, kata Ibrani itu bermakna yang berlalu dengan sangat cepat, sementara atau sesuatu yang tidak dapat dipegang atau dinalar.
Maka, setiap kerja keras, olah pikir dan pengumpulan harta benda yang diharapkan memberi kebahagiaan hanya menghasilkan kehampaan. Tanpa Allah, suluruh yang diperoleh manusia dari segala usaha yang dilakukannya dengan jerih payah di bawah matahari dan dari keinginan hatinya berakhir tanpa faedah (Pkh. 2:22).
Pengkhotbah mempertentangkan amsal atau kebijaksanaan alkitabiah dengan kebijaksanaan Yunani, yang datang menjajah. Dengan pemikiran kritis, ia mempertanyakan seluruh ajaran asing yang diterima dengan suka cita oleh kebanyakan orang saat itu. Tetapi, sang pengkhotbah menyipulkan bahwa mereka menempuh jalan yang keliru.
Sikap kritisnya tidak dilandaskan pada kemampuan budi manusia untuk mengetahui kebenaran. Apa yang ia tentang adalah kegagalan para pencari kebijaksanaan ketika kebijaksanaan itu tidak berlandaskan pada pondasi yang kokoh.
Santo Basilius menulis, “Kitab Pengkhotbah menjelaskan dengan tepat bahwa benda dibuat dari, dan menunjukkan serta memperjelas pada kita mereka merupakan kesia-siaan dunia. Maka, kita harus memahami bahwa benda-benda sementara yang kita temukan dalam hidup tidak layak untuk dirindukan.
Kita seharusnya tidak mencurahkan seluruh perhatian pada benda yang tak berguna atau meluapkan kerinduan kita untuk meraih barang ciptaan.” (In principium Proverbiorum, 1).
Siapakah yang telah mengangkat Aku menjadi hakim atas kamu?
Urusan warisan harus diselesaikan oleh masing-masing pihak. Yesus paham benar kalau warisan berhubungan identitas seseorang (1Raj. 21:1-3) dan bekal untuk bertahan hidup (Bil. 27:1-11; 36:1-12).
Perpecahan keluarga kemungkinan besar terjadi apabila jumlah anggota keluarga banyak, dan luasan tanah terbatas. Hukum Taurat mengatasi persoalan itu dengan menetapkan anak laki-laki sulung menerima dua kali lipat (Ul 21:17).
Yesus menolak permintaan untuk menjadi penengah dalam urusan warisan, sama seperti ketika Ia menolak permintaan akan tanda dari surga (Luk. 11:16). Orang muda itu hanya tertarik pada kepentingannya sendiri. Ia tidak mau dengan suka rela berbagi dan terus tidak puas dangan penerimaan dua kali lipat (Ul 21:17).
Yesus melihat bahaya orang mempertuhankan benda dan mengingini harta orang lain (bdk. Kel. 20:3.17). Maka, Ia menggunakan kesempatan itu untuk mendidik tentang bahaya ketamakan.
Santo Augustinus dari Hippo, 354-430, menulis,”Ketamakan berkehendak memisahkan, sedangkan kasih mempersatukan. Apa makna “Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan.”, jika tidak bermakna “penuhi dirimu sendiri dengan cinta kasih?”
Karena memintingkan cinta diri, kita membuat Tuhan tidak merasa nyaman, kita memperlakukan saudara kita seperti yang dilakukan orang itu melawan adiknya. Seharusnya kita tidak mengucapkan permintaan yang sama.
Orang itu berkata, “Guru, katakanlah kepada saudaraku supaya ia berbagi warisan dengan aku.”, maka kita seharusnya berkata, “Guru, katakanlah pada saudaraku bahwa ia dapat mengambil warisanku.” (Sermon 265.9).
Ada seorang kaya
Tidak ada salahnya bila orang memiliki harta benda. Ayub, misalnya, “memiliki tujuh ribu ekor kambing domba, tiga ribu ekor unta, lima ratus pasang lembu, lima ratus keledai betina dan budak-budak dalam jumlah yang sangat besar, sehingga orang itu adalah yang terkaya dari semua orang di sebelah timur.” (Ayb. 1:3).
Karena kekayaannya yang melimpah ruah, Ayub tidak melekatkan diri pada harta miliknya. Yang membedakan antara Ayub dan orang kaya tak bernama dalam Lukas adalah disposisi (sikap batin) terhadap kekayaan.
Penggunaan kata ‘aku’ dan ‘ku’ tercatat 13 kali (Luk. 12:17-19). Santo Lukas menyingkapkan bahwa disposisi batin orang itu bukan tertambat pada Allah, tetapi ia mengandalkan dirinya sendiri dan harta miliknya.
Kepada jiwanya, ia berkata, “… beristirahatlah, makanlah, minumlah dan bersenang-senanglah!” (Luk. 12:19). Ia tidak mau repot lagi. Ia ingin menikmati hidup sejahtera.
Si kaya ini mirip dengan si kaya yang menolak mengulurkan tangan pada pengemis di muka pintu rumahnya, Lazarus (Luk. 16:19-31).
Hai engkau orang bodoh
Si penimbun harta dikatakan bodoh bukan karena daya nalarnya kurang dari patokan normal. Ia bodoh karena ia bergantung pada dirinya sendiri dan harta miliknya; bersikap sombong; dan mengingkari, bahkan, meniadakan Allah. Santo Lukas menulis (Luk. 12:20), “Hai engkau orang bodoh!”, Stulte.
Pemazmur berseru, “Orang bebal berkata dalam hatinya, “Tidak ada Allah.” (Ayb. 31:24-28; Mzm. 14:1; 53:1; bdk. Luk. 12:19). Ia bodoh karena tidak bertindak bijaksana dan memasukkan diri dalam bahaya kehancuran kekal (Sir. 11:18-19).
Ia bodoh karena seluruh hidup dicurahkan untuk menimbun bagi dirinya sendiri harta yang dimakan ngengat dan karat, bukan harta yang di surga (Mat 6:19-20). Ia lupa bahwa manusia itu debu dan hari-hari hidupnya seperti rumput atau bunga di padang yang tumbuh sebentar, layu dan, segera kering (bdk. Mzm 103:14.15).
Maka, ketika jiwanya diambil, harta itu tidak akan menyelamatkan jiwanya. Mengulang kata Pengkhotbah (Pkh. 1:2), “Kesia-siaan belaka, kata Pengkhotbah, kesia-siaan belaka, segala sesuatu adalah sia-sia.”, Vanitas vanitatum, dixit Ecclesiastes,vanitas vanitatum et omnia vanitas.
Katekese
Dikelilingi harta benda, buta pada cinta kasih. Santo Cyrilus dari Alexandria, 376-444:
“Apa yang dilakukan si kaya itu, yang dikelilingi dengan kelimpahan benda yang jumlahnya tak terhitung? Dalam tekanan jiwa dan kecemasan, ia berbicara tentang kemiskinan. Ia berkata, “Apa yang harus aku perbuat?” …
Ia tidak mempertimbangkan masa depannya. Ia tidak mengangkat matanya pada Allah. Ia tidak mempertimbangkan bagaimana menggunakan harta untuk memperoleh harta yang ada di atas, di surga. Ia tidak menghormati kaum miskin atau berkeinginan menghormatinya. Ia tidak berbela rasa terhadap mereka yang menderita.
Ketidak-mauannya tidak menggerakkan atau menyadarkankan hatinya untuk berbelas kasih. Lebih tak masuk akal lagi, ia ingin beristirahat sepanjang hidupnya, seolah-olah ia memanen apa yang dihasilkan dari tanah.
Ia berkata, “Aku akan berkata pada jiwaku: Jiwaku, ada padamu banyak barang, tertimbun untuk bertahun-tahun lamanya; beristirahatlah, makanlah, minumlah dan bersenang-senanglah!”
“Hai engkau orang bodoh,” seseorang berkata padamu, “Kamu memiliki lumbung untuk hasil panenmu, tetap di mana kamu akan menerima panenmu sendiri untuk bertahun-tahun kemudian? Pada malam ini juga jiwamu akan diambil dari padamu, dan apa yang telah kausediakan, untuk siapakah itu nanti? Atas keputusan Allah, hidupmu disudahi.”
Allah, demikian disampaikan pada kita, berkata pada orang kaya itu, “Hai engkau orang bodoh, pada malam ini juga jiwamu akan diambil dari padamu. Dan apa yang telah kausediakan, untuk siapakah itu nanti?” (Commentary On Luke, Homily 89).
Oratio-Missio
Tuhan, bebaskanlah hatiku dari kelekatan akan harta dan keinginan untuk menguasai harta milik orang lain. Semoga aku selalu menjadikan-Mu sebagai harta paling berharga dibandingkan dengan harta benda. Bantulah aku untuk menggunakan berkat bendawi untuk kebaikan sesama dan menggunakannya untuk memuji dan memuliakan-Mu. Amin.
- Apa yan harus aku lakukan untuk selalu mengandalkan Allah?
Sic est qui sibi thesaurizat, et non est in Deum dives – Lucam 12:21