Lectio Divina 5.3.2025 – Berbaliklah Kepada-Ku

0
0 views
Tamu Tuhan atau badut di Rabu Abu?, by Carl Spitzweg

Rabu. Hari Rabu Abu. Pantang dan Puasa (U)

  • Yl. 2:12-18
  • Mzm. 51:3-4.5-6a.12-13.14.17
  • 2Kor. 5:20-6:2
  • Mat. 6:1-6.16-18

Lectio 

1 “Ingatlah, jangan kamu mengamalkan kesalehanmu di depan umum supaya dilihat orang, karena jika melakukan demikian, kamu tidak memperoleh upah dari Bapamu yang di surga. 2 Jadi apabila engkau memberi sedekah, janganlah engkau menggembar-gemborkan hal itu, seperti yang dilakukan orang munafik di rumah-rumah ibadat dan di lorong-lorong, supaya mereka dipuji orang.

Sesungguhnya Aku berkata kepadamu: Mereka sudah mendapat upahnya. 3 Namun jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu. 4 Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.”

5 “Apabila kamu berdoa, janganlah berdoa seperti orang munafik. Mereka suka mengucapkan doanya dengan berdiri dalam rumah-rumah ibadat dan pada tikungan-tikungan jalan raya, supaya mereka dilihat orang. Sesungguhnya Aku berkata kepadamu: Mereka sudah mendapat upahnya.

6 Namun, jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka, Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.

16 “Apabila kamu berpuasa, janganlah muram mukamu seperti orang munafik. Mereka mengubah air mukanya, supaya orang melihat bahwa mereka sedang berpuasa. Sesungguhnya Aku berkata kepadamu: Mereka sudah mendapat upahnya.

17 Namun, apabila engkau berpuasa, minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu, 18 supaya jangan dilihat oleh orang bahwa engkau sedang berpuasa, melainkan hanya oleh Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka, Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.”

Meditatio-Exegese

Sekarang juga berbaliklah kepada-Ku

Nabi Yoel, anak Pethuel, berkarya di Yehuda kira-kira tahun 400 sebelum Masehi, 140 tahun setelah bangsa Yahudi kembali ke tanah air dari pembuangan Babel. Sejak bagian awal tulisannya, Nabi menggunakan bencana, yang tidah hanya diakibatkan oleh alam, tetapi terutama oleh kerakusan manusia, untuk mewartakan pertobatan dan Hari Tuhan.

Belalang telah menghancurkan segalanya. Ladang telah lenyap; tanah berkabung; gandum sudah musnah; pohon anggur, ara, delima, kurma dan apel sudah mengering. Buah-buah mereka sudah hilang dan persediaan minyak menipis.

Sang Nabi mendesak umat untuk mengikuti jalan μετανοια,  metanoia, berbalik kepada Allah dan bertobat. Mereka harus melakukan langkah pertama: mengoyakkan hati.  

Nabi Yoel berseru (Yl. 2:13), “Koyakkanlah hatimu dan jangan pakaianmu, berbaliklah kepada Tuhan, Allahmu, sebab Ia pengasih dan penyayang, panjang sabar dan berlimpah kasih setia.”, et scindite corda vestra et non vestimenta vestra,et convertimini ad Dominum Deum vestrum, quia benignus et misericors est, patiens et multae misericordiae.

Mengoyakkan hati bermakna meneliti kedalaman jiwa untuk mengenali setiap kecenderungan untuk melawan Allah dan dosa. Ia harus berbalik kepada Allah, menjadikan-Nya pusat hidup; serta mengimani bahwa Ia mengasihi, menyayangi, sabar dan berlimpah kasih setia.

Ungkapan Latin misericors dibentuk dari gabungan dua kata: miser, sedih, tidak bahagia, dan cor, hati. Ungkapan misericors bermakna berbelas kasih, hati-Nya tergerak oleh belas kasihan, seperti saat Yesus memandang penderita kusta, mengulurkan tangan dan menyembuhkan-Nya (bdk. Mrk. 1:41).

Santo Hieronimus menulis, “Berbaliklah kepada-Ku dengan segenap hatimu, dengan berpuasa, menangis dan meratap’: tunjukkan laku tobat dan pertobatan hatimu melalui puasa, dukacita dan air mata.

Dengan berpuasa sekarang, rasa laparmu kelak akan dipuaskan; derai air matamu suatu hari akan diganti tawa ria; dukacitamu dimasa depan ditukar dengan penghiburan.

Kebiasaan menyobek pakaian pada masa duka atau kemalangan sudah lazim dilakukan: imam besar merobek jubahnya untuk menunjukkan beratnya kejahatan yang ditanggung Sang Juruselamat; dan, menurut Kisah Para Rasul, Paulus dan Barnabas merobek jubah mereka ketika mereka mendengar caci dan hujat.

Tetapi aku minta kepadamu janganlah mengoyak pakaianmu, melainkan hatimu yang dipenuhi dosa. Hati, seperti kantong kulit anggur, tidak robek dengan sendirinya. Ia harus dirobek dengan sengaja.

Apabila kamu telah mengoyak hatimu, kembalilah kepada Tuhan, Allahmu, yang telah kamu tinggalkan karena dosa-dosamu. Jangan pernah meragukan pengampunan-Nya, karena betapapun banyaknya dan beratnya dosa-dosamu di masa lalu, Ia selalu mengampunimu karena Ia murah hati dan berbelas kasih.” (Commentarii in Ioelem, 2, 12ff).

Sayang, sering ungkapan tobat melalui puasa, doa dan sedekah hanya dimaknai sebagai kesalehan keagamaan saja. Sementara, jeritan yang menyayat kalbu dan bergema sampai langit tidak didengarkan. 

Tiap pribadi diundang tidak hanya memperhatikan,  mengulurkan tangan dan menyingsingkan lengan baju untuk yang menderita, seperti: tuna wisma, tuna karya, kecil, lemah, miskin, difabel, tetapi juga bumi yang menjadi rumah tinggal bersama dan telah dirusak oleh perilaku buruk manusia.

Paus Fransiskus berseru, ”Saudari ini sekarang menjerit karena segala kerusakan yang telah kita timpakan padanya, karena tanpa tanggung jawab kita  dan menyalahgunakan kekayaan yang telah diletakkan Allah di dalamnya. Kita bahkan berpikir bahwa kitalah pemilik dan penguasanya yang berhak untuk menjarahnya.

Kekerasan yang ada dalam hati kita yang terluka oleh dosa, tercermin dalam gejala-gejala penyakit yang kita lihat pada tanah, air, udara dan pada semua bentuk kehidupan. Oleh karena itu bumi,  terbebani dan hancur, termasuk kaum miskin yang paling ditinggalkan dan dilecehkan oleh kita. Ia “mengeluh dalam rasa sakit bersalin.” (Rm. 8:22).” (Ensiklik Laudato Si, 2).

Allah tetap terus mengundang manusia untuk didamaikan dengan-Nya. Santo Paulus berseru, ”Berilah dirimu didamaikan dengan Allah” (2Kor. 5:20). Pendamaian selalu berawal dari prakarsa Allah dan dilaksanakan melalui Yesus Kristus.

Yesus, yang serupa dengan kita, manusia, “tidak berbuat dosa” (Ibr. 4:15), menanggung dosa manusia (bdk. Yes. 53:4-12) dan mempersembahkan diri-Nya sendiri di kayu salib sebagai tebusan atas dosa manusia (bdk. 1Ptr. 2:22-25), mendamaikan manusia dengan Allah.

Maka, Allah tidak pernah menunda dan selalu menawarkan keselamatan-Nya, “Pada waktu Aku berkenan, Aku akan mendengarkan engkau, dan pada hari Aku menyelamatkan, Aku akan menolong engkau. Sesungguhnya, waktu ini adalah waktu perkenanan itu; sesungguhnya, hari ini adalah hari penyelamatan itu” (2Kor. 6:2).

Yang terjadi, biasanya penolakan atau penundaan dari pihak manusia. Oleh sebab itu, Gereja mengajarkan jalan μετανοια, metanoia, berbalik kepada Allah dan bertobat.

“Jalan metanoia dan pertobatan dilukiskan Yesus secara sangat mengesankan dalam perumpamaan mengenai “anak yang hilang”, yang pusatnya adalah “Bapa yang berbelaskasihan” (Luk. 15:11-24): godaan untuk mengenyam kebebasan semu, meninggalkan rumah Bapa; kemelaratan lahiriah yang menjerat sang putera, setelah ia memboroskan segala milik kepunyaannya.

Penghinaan yang mendalam, karena harus menggembalakan babi dan, lebih buruk lagi, kerinduan agar memuaskan diri dengan makanan babi; renungan akan harta benda yang telah hilang; penyesalan dan keputusan mengaku diri bersalah di depan Bapa; jalan kembali; penerimaan yang penuh murah hati oleh Bapa; kegembiraan Bapa: semuanya itu adalah ciri-ciri proses pertobatan.

Pakaian yang indah, cincin, dan perjamuan pesta adalah lambang kehidupan baru yang murni, layak, dan penuh kegembiraan, kehidupan seorang manusia yang kembali kepada Allah dan ke dalam pangkuan keluarganya, Gereja. Hanya hati Kristus, yang mengenal kedalaman cinta Bapa-Nya, dapat menggambarkan bagi kita jurang belas kasihan-Nya atas suatu cara yang begitu sederhana dan indah.” (Ketekismus Gereja Katolik, 1439).

Jika engkau memberi sedekah, berdoa dan berpuasa

Yesus tidak mempertanyakan amal kasih kepada mereka yang miskin. Amal kasih merupakan tuntutan Hukum Perjanjian Sinai (Kel. 21:2; 22:20-26; 23:10-13). Seluruh umat harus membuka tangan lebar-lebar bagi mereka yang ditindas dan miskin (Kel. 15:11).

Yesus mengecam niat seseorang untuk bersedekah, berdoa dan berpuasa bila hanya untuk mencari pujian bagi dirinya sendiri. Maka, Ia menyamakan perilaku itu seperti perilaku ‘orang munafik’.

Santo Augustinus menulis, “Orang munafik adalah ia yang berpura-pura menjadi pribadi yang penting, tetapi ternyata tidak demikian. Orang ini berpura-pura menjadi suci, tetapi tidak menunjukkan bukti  kesuciannya … 

Mereka tidak mendapatkan ganjaran sedikitpun dari Allah, yang menelisik hati manusia, “yang mencela tipu daya mereka.” Mereka mungkin mendapat ganjaran dari manusia, tetapi dari Allah mereka hanya mendengar, “Enyahlah dari hadapanku, kalian para pembuat dusta. Engkau mungkin bicara atas nama-Ku, menyerukan nama-Ku, tetapi kalian tidak melakukan kehendak-Ku.”  (Sermon on the Mount 2.2.5).

Di padang gurun berdoa dan berpuasa bersama Yesus

40 hari masa Prapaskah merupakan masa retret agung umat untuk mengikuti jejak Kristus yang tinggal di gurun selama empat puluh hari (Mrk. 1:13). 40 merupakan salah satu angka terpenting dalam Kitab Suci. Musa mendaki gunung untuk memandang wajah Allah selama empat puluh hari dengan berdoa dan puasa.

Bangsa Israel tinggal di padang gurun selama empat puluh tahun mempersiapkan diri  memasuki tanah terjanji. Nabi Elia berpuasa empat puluh hari saat berjalan ke gunung Tuhan. 40 hari melakukan doa, puasa, amal kasih, dan penyesalan atas dosa, umat-Nya diarahkan untuk merayakan Paskah Kristus saat Ia mengalahkan dosa, setan dan maut.    

Setiap saat selalu merupakan undangan untuk berbalik kepada Allah hingga Yesus Kristus datang dalam kemuliaanNya di akhir jaman. Untuk tiap pribadi, undangan itu berlangsung hingga saat ia dipanggil pada saat kematian, et in hora mortis nostri, dan pada saat kami mati (doa Salam Maria).

Santo Paulus menulis (2Kor. 6:2),  “Sesungguhnya, hari ini adalah hari penyelamatan itu.”, Ecce nunc dies salutis. Panggilan untuk keselamatan juga mengingatkan akan panggilan gembala yang baik, yang memanggil masing-masing dengan namanya (Yes. 43:1), “Aku memanggil dengan namamu.”, et vocavi nomine tuo.

Atas panggilan itu, setiap jiwa diharapkan menjawab (1Sam. 3:10), ”Berbicaralah, sebab hambamu mendengar.”,  Loquere quia audit servus tuus.

Sikap tobat dilandaskan pada kesadaran bahwa, “kita sendiri dibentuk dari debu tanah (Kejadian 2:7); tubuh kita tersusun dari partikel-partikel bumi, kita menghirup udaranya dan dihidupkan serta disegarkan oleh airnya.” (Paus Fransiskus Ensiklik Laudato Si, 2).

Sikap tobat tidak hanya diarahkan para  cara memperlakukan sesama manusia (bdk. Mat 25:31-46); tetapi juga pada seluruh ciptaan. “Bertobat berarti berhenti mengeksploitasi, menaklukkan ekologi secara liar. Kita harus kembali kepada maksud Tuhan ketika Ia mengundang kita untuk “mengusahakan dan memelihara” taman dunia (lihat Kej. 2:15).

Sementara “mengusahakan” berarti menggarap, membajak, atau mengerjakan; “memelihara” berarti melindungi, menjaga, melestarikan, merawat, mengawasi. Artinya, ada relasi tanggungjawab timbal balik antara manusia dan alam.” (Paus Fransiskus, Ensiklik Laudato Si, 67).

Tantangan bersama:

  • Bagaimana kita membela, memulihkan dan merawat alam lingkungan dari tindakan sewenang-wenang kita sendiri.
  • Bagaimana kita mengelola sumber daya untuk menciptakan kesejahteraan bersama.
  • Bagaimana membela dan merawat para korban dan mereka yang ditindas serta dirampas hak-hak asasinya (bdk. Janji Baptis).  

Hendaklah sedekah, doa dan puasamu tersembunyi

Tuhan mengingatkan para murid akan nafsu meninggikan diri sendiri. Tiap murid ditantang untuk mengasihi Allah melalui laku dan sikap hidup taat, hormat, segan dan penuh kasih pada Allah. Laku dan sikap hidup ini merupakan anugerah Roh Kudus, yang menghendaki sertiap murid Tuhan hidup suci untuk menyenangkan hati-Nya (bdk. Yes. 11:1-2).

Santo Gregorius Agung mengingatkan, “Biarlah pekerjaanmu diketahui orang; tetapi niat batinmu tetap tersembunyi. Marilah kita memberi contoh dengan perbuatan baik, agar dengan niat kita, yang dimaksudkan untuk menyenangkan hati Allah, tetapi kita selalu menyembunyikan niat itu dalam-dalam.”

Terlebih, Santo Basilius menganjurkan, “Hendaklah kita menjauhkan pujian yang sia-sia, karena itu menodai perbuatan baik, musuh tiap jiwa, ngengat bagi keutamaan, penghancur perbuatan baik, yang mewarnai racun dengan menyamarkan campuran madu tipu daya, dan yang menuangkan piala kematian pada jiwa manusia. Betapa manis pujian manusia bagi mereka yang belum pernah mengalaminya.”

Yesus terus meminta (Mat. 6:1), “Ingatlah, jangan kamu mengamalkan kesalehanmu di depan umum supaya dilihat orang, karena jika melakukan demikian, kamu tidak memperoleh upah dari Bapamu yang di surga.”, Attendite, ne iustitiam vestram faciatis coram hominibus, ut vi deamini ab eis; alioquin mercedem non habetis apud Patrem vestrum, qui in caelis est.

Katekese

Makna doa, amal kasih dan puasa. Paus Fransiskus, Buenos Aires, 17 Desember 1936:

Abu menandakan kehampaan yang bersembunyi di balik pencarian sia-sia akan barang-barang fana. Benda itu mengingatkan kita bahwa kefanaan nampak seperti debu yang hilang disapu angin lalu. Saudari dan saudara, kita tidak tinggal di dunia ini untuk mengejar angin.

Hati kita merindukan keabadian. Masa Prapaskah menjadi saat yan dianugerahkan Tuhan agar kita diperbaharui, agar kita mengolah hidup batin dan berjalan menuju Paskah, ke tempat di mana segalanya tidak akan musnah, ke tempat anugerah yang akan kita terima dari Bapa.

Masa Pra-Paskah juga merupakan peziarah untuk kesembuhan. Tidak untuk diubah dalam semalam, tatepi menghayati hidup setiap hari denan roh yang selalu diperbaharui, suatu ‘cara hidup’ yang berbeda. Doa, amal kasih dan puasa sangat membantu kita dalam membaharui diri.

Disucikan oleh Abu Prapaskah, disucikan dari kemunafikan yang kita tampilkan, ketiganya menjadi sangat berdaya guna dan membaharui hidup kita untuk menjalin relasi intim dengan Allah, saudara-saudari kita dan diri kita sendiri. 

Doa, doa dengan kerendahan hati, doa ‘di tempat tersembunyi’ (Mat. 6:6), dalam kesunyian di kamar kita, menjadi rahasia yang membuat hidup kita berkembang di mana-mana. Doa adalah suatu dialog, yang hangat dalam kasih dan kepercayaan, yang menghibur dan mengembangkan hidup kita.

Selama masa Pra Paskah ini, mari kita berdoa dengan memandang wajah Tuhan Yang Disalib. Mari kita membuka hati kita pada sentuhan kelemutan hati Allah, dan ke dalam luka-luka-Nya kita meletakkan luka-luka kita dan luka-luka dunia. Mari lah kita selalu bergegas dan segera berdiri di hadapan-Nya dalam keheningan.

Marilah kita menemukan kembali dialog yang penuh makna dan sederhana dengan Tuhan kita. Karena Allah tidak tertarik pada penampilan. Sesunguhnya, Ia menyukai apa yang ditemukan-Nya tersembunyi, “kasih yang hening”, yang jauh dari segala bentuk kepura-puraan dan hingar-bingar.

Jika doa selalu nyata, ia harus menghasilkan buah dalam amal kasih. Dan kasih membebaskan kita dari segala bentuk perbudakan yang terburuk, yakni perbudakan itu sendiri. Kasih dalam masa Prapaskah, yang disucikan oleh debu ini, mengembalikan kita pada suka cita terdalam yang ditemukan dalam tindak pemberian.

Amal kasih, yang dilakukan jauh dari tatapan mata, memenuhi hati dengan damai dan harapan. Amal kasih menyingkapkan keindahan dalam memberi, yang pada gilirannya menjadi menerima. Maka itu memungkinkan kita menemukan rahasia yang berharga: hati kita lebih bersuka cita karena memberi daripada menerima (bdk. Kis. 20:35). Akhirnya, puasa.

Puasa bukan pengaturan pola makan, diet. Tentu, puasa membebaskan kita dari kecenderungan untuk mementingkan diri sendiri dan pengejaran akan kebugaran jasmani. Puasa membantu kita untuk tidak hanya menjaga kesehatan, tetapi merawat jiwa kita pula. Puasa membuat kita menghargai barang-barang yang berguna bagi hidup kita.

Tindakan itu mengingatkan kita secara nyata bahwa hidup tidak bergantung pada barang fana yang selalu melintas dalam sekejap mata. Atau puasa tidak juga dibatasi atas makanan saja. Khususnya dalam masa Prapaskah. Kita harus berpantang dari segala hal yang dapat menciptakan segala jenis ketergantungan dalam diri kita.

Hal inilah yang harus kita renungkan, demikian juga dengan puasa agar berguna dan mengubah hidup kita sehari-hari. Doa, amal kasih dan puasa harus tumbuh ‘dalam keheningan’, tetapi hal itu tidak berlaku untuk pengaruhnya bagi kita.

Doa, amal kasih dan puasa tidak hanya menjadi obat untuk kita sendiri, tetapi juga untuk setiap orang. Ketiganya dapat mengubah sejarah.

Pertama, karena mereka yang mengalami dampaknya hampir-hampir tanpa sadar menularkan pada sesama. Namun, sejatinya, doa, amal kasih dan puasa menjadi jalan utama yang digunakan Allah untuk campur tangan dalam hidup kita dan dunia.” (Homily, Basilica of Santa Sabina, Ash Wednesday, 2 Maret 2022, dibacakan oleh Kardinal Pietro Paroline).

Oratio-Missio

Tuhan, anugerahilah aku iman yang hidup, harapan yang kuat dan kasih yang berkobar. Tuntunlah aku melalui masa tobat ini dan bantulah aku menghilangkan perilaku malas mendalami sabda-Mu dan semena-mena pada lingkungan hidupku. Amin.

  • Apa yang perlu aku lakukan untuk memperlakukan sesamaku dan alam lingkunganku?

Attendite, ne iustitiam vestram faciatis coram hominibus, ut vi deamini ab eis; alioquin mercedem non habetis apud Patrem vestrum, qui in caelis est –  Mattaeum 6:1

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here