Rabu. Minggu Biasa XXXI, Hari Biasa (H)
- Flp 2:12-18
- Mzm 27:1.4.13-14
- Luk 14:25-33
Lectio
25 Pada suatu kali banyak orang berduyun-duyun mengikuti Yesus dalam perjalanan-Nya. Sambil berpaling Ia berkata kepada mereka: 26 “Jikalau seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku.
27 Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku. 28 Sebab siapakah di antara kamu yang kalau mau mendirikan sebuah menara tidak duduk dahulu membuat anggaran biayanya, kalau-kalau cukup uangnya untuk menyelesaikan pekerjaan itu?
29 Supaya jikalau ia sudah meletakkan dasarnya dan tidak dapat menyelesaikannya, jangan-jangan semua orang yang melihatnya, mengejek dia, 30 sambil berkata: Orang itu mulai mendirikan, tetapi ia tidak sanggup menyelesaikannya.
31 Atau, raja manakah yang kalau mau pergi berperang melawan raja lain tidak duduk dahulu untuk mempertimbangkan, apakah dengan sepuluh ribu orang ia sanggup menghadapi lawan yang mendatanginya dengan dua puluh ribu orang?
32 Jikalau tidak, ia akan mengirim utusan selama musuh itu masih jauh untuk menanyakan syarat-syarat perdamaian. 33 Demikian pulalah tiap-tiap orang di antara kamu, yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat menjadi murid-Ku.
Meditatio-Exegese
Tetaplah kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar
Paulus menasihati umat Filipi untuk mengikuti ajaran Yesus dan Injil, bukan yang lain. Mereka harus setia mengikuti tidak hanya saat ia bersama mereka, tetapi juga saat ia tidak lagi bersama mereka. Pesannya, “Tetaplah kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar.” (Flp. 2:12).
Mengerjakan keselamatan bermakna tiap pribadi meninggalkan dan membuka diri sendiri supaya kasih Allah menguasai hatinya. Keselamatan tidak pernah diraih melalui usaha sendiri, tetapi anugerah-Nya dan tiap pribadi dituntut bertindak sesuai kehendak-Nya.
Maka, saat pribadi dikuasai oleh kasih Allah, apa yang dikatakan dan dilakukan dan melakukan apa yang dikatakan selalu bersumber dari bimbingan Roh-Nya.
Sang Rasul menulis (Flp. 2:13), “Allah-lah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya.”, Deus est enim, qui operatur in vobis et velle et perficere pro suo beneplacito.
Ungkapan khas Kitab Suci dengan takut dan gentar digunakan beberapa kali oleh Paulus dan tidak memiliki makna ‘rasa takut’. Ungkapan itu menyingkapkan rasa segan dan hormat yang muncul dari hati ketika orang mulai menyadari Allah yang hadir sungguh sanggat menggentarkan dan tak mampu dicerna nalar.
Paulus menunjukkan cara dan kapan kuasa Allah yang menyelamatkan dan kehendak Kristus dialami tiap pribadi. Kuasa dan kehendak-Nya diharus diwujudnyatakan tanpa bersungut-sungut atau berbantah.
Rasul agung menunjukkan ada sementara umat yang selalu mengeluh dan saling berbantahan, serta menumpahkan rasa marah pada Allah. Perbantahan dapat menjadi masalah besar dalam Gereja dan hanya menghasilkan perpecahan dan pemisahan.
Di tengah masyarakat, orang Kristen harus bertindak ‘tiada beraib dan tiada bernoda’. Tindakan yang diwujudnyatakan dalam hidup pribadi dan hidup bersama masyarakat menjadi cahaya bintang yang bersinar di tengah gelap malam.
Dengan cara hidup murni tiap pribadi memenuhi kehendak-Nya, “Hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di surga.” (Mat. 5:16).
Penulis Surat kepada Diognetus, antara abad ke-2 dan ke-3, mengingatkan, “Yang membedakan orang Kristen dan kebanyakan bukan kebangsaan, atau bahasa, atau adat istiadat. Orang Kristen tidak hidup terpisah dari sesama warga kota; mereka tidak bicara dengan bahasa yang berbeda. Atau melakukan cara hidup yang tidak sama dengan warga lain […]
Singkatnya, relasi orang Kristen dengan dunia seperti ralasi jiwa dengan tubuh. Sama seperti jiwa dialirkan pada tiap bagian tubuh, demikan juga orang Kristen hidup di setiap jengkal di seantero dunia.” (Letter to Diognetus, 5:1 dan 2; 6:1).
Maka, tiap pribadi menghadirkan Kristus di lingkungan yang menopang hidup. Masing-masing bertindak dengan cara yang membuat siapa pun yang mereka kenal mampu merasakan semerbak ‘bau yang harum dari Kristus’ (2Kor. 2:15).
Ia tidak dapat menjadi murid-Ku
Dalam perjalan ke Yerusalem, Yesus diikuti oleh banyak orang (Luk. 9:51.25). Kepada mereka Ia mengajukan syarat untuk menjadi muridNya.
Tidak membenci. Yesus menuntut siapa saja yang hendak menjadi murid-Nya harus menjadikan-Nya prioritas paling utama dan pertama dalam dalam komunitas yang didirikan-Nya. Ecclesia, Gereja, umat baru yang dipanggil untuk mengimani-Nya, dipersatukan oleh iman kepada-Nya.
Landasan hidup komunitas itu adalah kasih, agape, bukan ikatan kekerabatan, kesukuan, atau ikatan primordial lain. Landasan itu memungkinkan semua orang saling mengasihi dan memandang sebagai saudara (bdk. Mat. 5:46-47).
Yesus menekankan kasih saat bersabda (Yoh. 15:13), “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.”, maiorem hac dilectionem nemo habet, ut animam suam quis ponat pro amicis suis.
Tidak memikul salibnya dan mengikut Aku. Penyaliban merupakan penghukuman paling kejam dan hina. Yesus pun bersedia menanggung hukuman ini untuk membuka cakrawala hidup baru, yaitu hidup merdeka dari dosa, setan dan maut.
Setiap murid harus menempatkan Yesus sebagai prioritas paling utama dan pertama. Ia harus menjadikan Yesus sebagai tujuan hidupnya, merdeka untuk bersatu dengan Yesus.
Setia kepada Yesus sampai mati, termasuk, kalau perlu kehilangan nyawa karena-Nya. Itu berarti memikul salib dan mengikutiNya. Hidup dengan pantas dan tidak mengikuti keinginan daging menjadi cara mengikuti-Nya.
Santo Paulus berkata, “Sebab, jika kamu hidup menurut daging, kamu akan mati; tetapi jika oleh Roh kamu mematikan perbuatan-perbuatan tubuhmu, kamu akan hidup.” (Rm 8:13).
Tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya. Segala milik bisa bermakna apa saja yang mampu memisahkan manusia dari Yesus: anak, isteri, kegemaran, harta dan apa saja. Pengikut Yesus dituntut untuk selalu menjadikan-Nya Raja dalam seluruh aspek hidup – cara pikir, cara merasa dan cara bertindak.
Banyak orang berani menentang sekalipun itu kaisar, karena Sang Raja (Kis. 17:7), “Mereka semua bertindak melawan ketetapan-ketetapan Kaisar dengan mengatakan, bahwa ada seorang raja lain, yaitu Yesus.”, et hi omnes contra decreta Caesaris faciunt, regem alium dicentes esse, Iesum.
Sebab siapakah di antara kamu… Mengikuti Yesus selalu merupakan keputusan bulat, tidak setengah-setengah. Yang mengikuti-Nya dengan setengah hati pasti gagal.
Katekese
Yesus mengijinkan kita mengasihi keluarga, tetapi tidak lebih dari kasih kita pada Allah. Santo Cyrilus dari Alexandria, 375-444:
“Yesus bersabda, “Siapa yang lebih mengasihi ayah atau ibunya daripada Aku, tidak layak bagi-Ku. Dan, siapa yang lebih mengasihi anak laki-laki atau anaknya perempuan daripada Aku, tidak layak bagi-Ku.” (Mat. 10:37).
Dengan menambah ‘lebih daripada Aku’, jelaslah bahwa Ia mengijinkan kita mengasihi, tetapi tidak lebih besar dari kasih kita pada-Nya. Ia meminta kita mengasihi-Nya pada derajad tertinggi dan paling murni.
Kasih Allah dalam diri mereka yang sempurna dalam jiwa pasti berkaitan dengan apa yang lebih luhur karena kita menghormati dan memperhatikan baik pada orang tua maupun pada anak-anak secara kodrati.” (Commentary On Luke, Homily 105)
Oratio-Missio
Ambillah Tuhan dan terimalah seluruh kebebasanku, ingatanku, pikiranku dan segenap kehendakku, segala kepunyaan dan milikku. Engkaulah yang memberikan, pada-Mu Tuhan kukembalikan.
Semuanya milik-Mu, pergunakanlah sekehendakMu. Berilah aku cinta dan rahmat-Mu, cukup sudah itu bagiku. Amin. (Doa Santo Ignatius dari Loyola, terjemahan bebas)
- Apa yang perlu kulakukan untuk menjadi pengikut-Nya yang setia?
Et, qui non baiulat crucem suam et venit post me, non potest esse meus discipulus – Lucam 14:27