Renungan Harian
Jumat, 5 Agustus 2022
Bacaan I: Nah. 1: 15; 2: 2; 3: 1-3. 6-7
Injil: Mat. 16: 24-28
BAPAK itu usianya sudah 70 tahun, akan tetapi melihat fisik dan geraknya seperti belum berusia setua itu. Beliau masih aktif bekerja dari pagi hingga sore tidak jarang hingga malam.
Setiap hari, ia selalu berolahraga untuk menjaga kebugarannya. Kemana-mana selalu menyetir sendiri dan bahkan sering saya melihat ia mencuci mobilnya sendiri.
Saya melihat bapak ini sebagai sosok yang luar biasa. Beberapa kali saya dan teman-teman pergi makan bersama bapak ini, dan ap apun masih beliau makan; seolah tidak ada pantangan sama sekali; sementara kami yang lebih muda sering kali menghindari makanan tertentu karena masalah kesehatan.
Saya berteman cukup dekat dengan dia, sehingga sering dalam pembicaraan kami seperti teman. Kami sering mengejek dan bergurau dan saat-saat seperti itu saya merasa beliau seperti teman sebaya saya.
Beliau tidak pernah merasa harus menempatkan diri sebagai orang tua sebaliknya beliau selalu merasa sebagai orang muda.
Suatu kali dalam sebuah pembicaraan saya berkata: “Om, apa sih yang masih dicari? Hartamu itu tidak akan habis tujuh turunan, tetapi kok masih kerja keras luar biasa, mau untuk apa itu hartamu, nanti kalau mati toh tidak akan dibawa. Om juga masih ikut kursus sana-sini, ikut banyak kegiatan sana-sini, memang nanti St. Petrus akan tanya sertifikat?”
Bapak itu tertawa terbahak mendengar pernyataan dan pertanyaan saya.
“Romo, aku melakukan semua ini bukan untuk harta atau sertifikat atau hal-hal seperti itu. Betul katamu itu, nanti kalau aku mati tidak akan membawa apa-apa, yang kubutuhkan hanya tanah 2X1 m.dan dirimu misa untuk aku (beliau tertawa).
Aku melakukan semua itu untuk legacy (warisan) bagi anak dan cucu. Aku mau mewariskan contoh hidup. Contoh orang yang berjuang untuk hidup dan bukan untuk mati.
Aku mau anak cucuku nanti selalu berjuang, memperjuangkan hidup. Doa-doa itu penting tetapi juga harus diperjuangkan dan yang lebih penting perjuangan hidup itu untuk menabur bukan untuk panen.
Jadi aku itu mau anak cucuku tidak menjadi penikmat tetapi pejuang yang menabur benih-benih baik untuk semua orang.
Nanti kalau aku mati anak cucuku tidak melihat aku yang memberi harta atau hal-hal seperti itu tetapi melihat aku yang mewariskan perjuangan hidup.
Hidup itu kan tidak lama jadi harus diperjuangkan. Kalau aku jadi penikmat itu sama saja aku menunggu kematian dan aku akan mati beneran, tetapi kalau aku terus berjuang maka aku akan hidup. Nanti kan saatnya tiba Tuhan akan memberhentikan aku.
Nanti kalau Tuhan memanggil kamu ku-WA,” jawabnya dengan tertawa terbahak.
Saat bapak itu dipanggil Tuhan, aku menjadi sadar bahwa benar apa yang beliau katakan: “kalau hidup itu adalah perjuangan untuk hidup sehingga tetap hidup.”
Bagi keluarga dan banyak orang yang mengenal beliau, beliau dikenang sebagai sosok pejuang kehidupan, hidup untuk menabur dan saat beliau sudah berpulang banyak orang memanen apa yang beliau tabur.
Beliau telah meninggalkan warisan luar biasa yang tidak akan habis dimakan waktu.
Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Injil Matius: “Barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, akan kehilangan nyawanya tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya.”