PADA kesempatan itu seorang seminaris lainnya Ignatius Oktavianus membacakan puisi “Lelaki Penikmat Malam”. Sementara, seniman petani dari Gunung Sumbing Sarwo Edi membacakan geguritan “Sumunaring Cahyaning Seminari”; dan pegiat Komunitas Lima Gunung dari Bandongan, Pangadi, dengan geguritan “Jiwo Rogo Sejati”.
Pemimpin Padepokan “Tjipto Boedojo Tutup Ngisor” Gunung Merapi Sitras Anjilin dengan sejumlah anggotanya yang juga seniman petani menyajikan performa sastra “Pengarep-arepku” dan pegiat Studio Mendut (Menoreh) Ari Kusuma membawakan puisi “Calon Pastur dan Es Krim”.
Selain itu, seniman petani dari Gunung Andong, Gianto dan Supadi, masing-masing dengan karyanya “Angin Gunung” serta geguritan “Tembang Kautaman”, sedangkan Riyadi dari Gunung Merbabu dengan iringan tiupan seruling dan latar belakang penari topeng panji membawakan puisi “Gejolak Otak dan Hati”.
Pamong Seminari Mertoyudan, Romo Antonius Saptono Hadi Pr, memanfaatkan kesempatan malam itu untuk berbagi renungan melalui apa yang disebutnya sebagai puisi panggilan berjudul “Bahagia Menjadi Sandera Kristus”.
“’Pemberontakan diri tak berarti lagi. Kristus telah mengikatku dengan tali-tali kasihNya. Aku tak berdaya, rela, dan pasrah menjadi sandera Kristus. Aku bukan aku lagi, melainkan Kristus yang menghidupi dan menentukan kehidupanku. Mulutku dibuka untuk mewartakan pribadi Kristus. Tanganku dilepaskan untuk melakukan pekerjaanNya. Kakiku dibebaskan untuk menjalankan sabdaNya. Jiwa dan batinku dipakaiNya untuk menyatakan kasihNya. Itulah kebahagiaanku menjadi sandera Kristus’,” demikian dua di antara empat bait puisinya itu.
ARTIKEL TERKAIT
Malam Surgawi, Jelang 100 Tahun Seminari Mertoyudan (1)
Malam Surgawi Jelang 100 Tahun Seminari Mertoyudan (2)
“Pasukanku Nyaris Hancur” di Malam Surgawi Jelang 100 Tahun Seminari Mertoyudan (3)