KISAH ini bermula dari sebuah mobil jeep. Kini Jeep telah menjadi piranti yang terasa eksotik untuk perjalanan. Namun pada masa itu, jeep merupakan mobil hebat yang membawa harga diri, kebanggaan bahkan kemewahan tertentu bagi yang menungganginya. Juga bagi mereka yang sekedar menumpang dan kadang kala harus mendorong bila macet di tengah lumpur jalanan.
Di tahun 1954, jeep adalah pemandangan yang langka di daerah Wirosari, Kuwu, Tambakselo dan Groboban sekitarnya. Baru satu dua orang daerah Grobogan yang bisa berpapasan muka dengan jeep yang dikendarai orang pribumi. Zaman Belanda ketika banyak warga Belanda tinggal di Wirosari, mereka telah melihat tuan-tuan dan nonik-nonik menungganginya. Dengan keanggunan dan keangkuhan tersendiri mereka membawa kemajuan tehnologi transportasi itu.
Tapi tahun itu, orang Jawa naik jeep?… Ah pasti sebuah mukjizat. Namun di tahun itu, jeep meliuk-liuk di antara bongkahan batu dan tanah berdebu. Membawa empat lima pemuda bercelana kolor. Jeep membawa pesona sekaligus penanda. Bagi umat Katolik di daerah Wirosari, jeep menjadi penanda datangnya seorang gembala mengunjungi domba-domba di pedesaan.
Adalah Romo Soetapanitro, orang yang kita ceritakan ini mampu membawa jeep ke tengah kampung sekitar Wirosari. Bagaikan den bei ngirit para mantri, ia membawa serombongan katekis di dalam jeep-nya yang anggun. Bersama Romo Soeta, para katekis lulusan SGB Ambarawa ini turut serta keluar masuk kampung, menyusuri jalanan sulit, mengunjungi keluarga-keluarga, mewedarkan Sabda Bahagia, bernyanyi, merayakan ekaristi.
Mobil yang namanya konon berasal dari pengucapan huruf-huruf GP (general purpose= untuk umum) ini pada mulanya memang dikembangkan sebagai kendaraan militer untuk penyelidikan medan sebagai pengganti sepeda motor. Meski merupakan kendaraan bermotor roda empat terkecil untuk tentara Amerika, tenaga dan kemampuan geraknya besar. Itu tidak berarti tanpa cacat untuk areal Wirosari. Jeep ini sesekali atau lebih tepat seringkali ngambeg di tengah jalan. Para mantri harus mendorong, menarik, mangganjel batu. Suatu perkara yang tak pernah terlintas ketika mereka belajar di bangku sekolah guru.
Suatu kali, Romo Soeta memimpin perayaan ekaristi di Wirosari. Jayadi, salah seorang katekis yang bisa menyetir jeep membawanya ke kampung sebelah bernama Kuwu. Keanggunan, kemewahan serasa menjadi miliknya seutuhnya. Dengan tatapan mata orang kampung, hatinya kian membuncah. Senyumnya merekah, tangannya melambai bagaikan kapten yang sukses dalam perang kemerdekaan. Namun ‘dewi fortuna’, nasib baik tak sepenuhnya berpihak padanya. Mobil itu kian lambat….dan tak bergerak di depan puluhan mata kagum. Di hadapan tehnologi baru itu, ia keteteran. Mobil itu rusak di tengah jalan.
- “Ah bajingan kabeh bocah-bocah iki, ” komentar Romo Soeta.
- “Nggih Romo”, jawab mereka.
- “Tapi bajingane Gusti Yesus, bajingan sae”.
Dan kita pun tahu, cerita ini berujung happy ending. Romo dan para pemuda tetap berkelakar dalam rupa kesulitan itu. Dan jeep itu toh bisa jalan sebagaimana proses penyebaran kabar gembira juga berkembang di bumi Grobogan. Dan bajingan-bajingan sae itu menjadi pewarta iman di Tambakselo, Tambahrejo, Wirosari, Mojorebo, Tawangharjo, Kemadohbatur. Di Kuwu sendiri, tempat jeep itu terhenti, umat Katolik juga bertumbuh. Sebuah kapel terbangun.
Di tangan para bajingan sae itu iman Katolik mulai ditanamkan tersebar dan selanjutnya disuburkan oleh pewartaan para imam. Di sini, sejarah perkembangan iman tak bisa berfokus pada tokoh-tokoh hirarkhi. Anak-anak muda itu dengan segala kenakalan dan kekurangan mereka tahu memaknai hidup. Sebuah pemberian diri yang bebas bagi Gereja dan sesama.
Mereka ikut berjuang nyebar winih iman. Dengan kemudaan mereka, mereka terima tanggungjawab akan Gereja yang diberikan oleh penyelenggaraan ilahi. Mengingat minimnya pengetahuan dan pembekalan khusus mengenai iman Katolik, para bajingan sae ini di daerah Purwodadi seringkali disebut guru agama amatir. Namun tanpa sadar, dengan kiprah mereka bertumbuhlah Gereja, berkembanglah iklim positivisme baru.
Selain menandai keterlibatan awam dalam Njembaraken Kraton Dalem Gusti, para bajingan sae ini juga menandaskan betapa jalan pendidikan merupakan jalan penting sebagai sarana penyebaran iman. Daerah-daerah sekitar Wirosari di tahun 1954-an merupakan daerah gersang dan miskin pendidikan. Penyebaran ke daerah sulit ini merupakan pekerjaan caritas. Selain membawa angin pengetahuan dan kecerdasan, mereka turut membawa tumbuh mekarnya benih-benih iman kristiani.
Kini, sebagian katekis itu masih hidup meski zaman dan konteks hidup telah berubah. Jeep legendaris itu telah hancur dimakan usia. Menandai bahwa Gereja perlu aggiornamento, usaha memodernisasikan, memperbarui, menggiatkan kembali secara rohani dan institusional dengan tuntutan hari ini, zaman ini. Gereja harus berkembang dalam konteks zaman, semangat baru memerlukan wahana baru.
Pewartaan baru membutuhkan cara-cara baru. (jb. Haryono).