Tahun C-1 – Pesta S. Yohanes Rasul dan Pengarang Injil
Kamis, 27 Desember 2018.
Bacaan: 1Yoh 1:1-4; Mzm 97:1-2.5-6.11-12; Yoh 20:2-8
Renungan
YOHANES adalah anak Zebedeus. Ia sudara Yakobus Tua. Ialah yang mempersiapkan perjamuan terakhir bersama Petrus. Ia juga yang “meletakkan kepalanya” di dada Yesus. Ia hadir bersama Maria di kaki salib dan menerima Maria sebagai ibunya. Ia juga yang berlari mendahului Petrus untuk melihat ke makan: “melihat dan percaya”. Menurut Santo Epifanio, Yohanes meningggal tidak seperti para rasul lainnya yang meninggal sebagai martir. Ia meninggal dengan dengan tenang di Efesus ketika ia berusia 94 tahun. Dari kisah hidupnya, kita menemukan pribadi yang secara fisik, afeksi dan hati dekat dengan Yesus. Kedekatan afeksi yang mendalam itu tertuang dalam Injilnya dan kitab Wahyu.
Kisah Yohanes Penginjil membawa kita untuk membangun kedekatan dengan Yesus bukan secara “formal” saja sebagai Guru dan Tuhan, tetapi juga secara afeksi. Afeksi ini dibangun dengan kedekatan fisik, ungkapan hati dan persahabatan kasih. Kita tidak hanya bersujud, menyembah dan memuji Yesus sebagai Guru dan Tuhan; tetapi kita juga dapat bercengkerama, curhat, meletakkan kita di bahunya ketika kita mengalami beban dan merasakan kehangatan pelukan kasihNya. Iman itu bukan hanya logika dan teologi tetapi juga menyangkut seluruh diri, termasuk juga afeksi dan kedekatan hati.
Kedekatan afeksi-hati ini juga penting dikembangkan terus menerus dalam hidup perkawinan dan keluarga. Relasi yang kaku-sungkan-bicara seperlunya-tidak punya tema pembicaraan-malas bertemu secara fisik-sibuk sendiri adalah “lampu kuning” bahwa dimensi afeksi-hati mulai hilang dalam relasi kita. Empati dan kesatuan hati perlu ditumbuhkan dengan memberikan waktu bersama, berjumpa dan dekat/bersentuhan secara fisik, berbicara dari hati ke hati dan bergembira dalam suasana akrab.
Demikian juga hidup berkomunitas sebagai religius ataupun imam. Kehilangan dimensi afeksi dalam membangun relasi membuat kita mengalami pengalaman “kesepian”. Kita akan cenderung hidup sendiri – melihat umat yang kita layani sebagai “mereka yang menjadi tanggungjawab kita dan kita adalah manager”, melihat rekan-rekan kerja kita sebagai “karyawan”. Seorang religius-imam adalah pribadi pembangun fraternitas. Kedekatan dan kedewasaan afeksi harus ada dalam kehidupan komunitas kita. Mereka adalah saudara-saudari kita, rekan berbagi hidup kita yang mendalam. Umat kita adalah saudara-saudari kita; dengan mereka kita dapat membangun persaudaraan yang mendalam dan mendewasakan dengan tetap saling menghargai cara hidup panggilan kita masing-masing. Kedekatan kita dengan Tuhan berjalan sejalan dengan kedekatan kita dengan sesama kita.
Kontemplasi
Gambarkanlah kedekatan Yohanes dengan Yesus dalam kisah-kisah tentang Yohanes.
Refleksi
Bagaimana aku membangun kedekatan afeksi dengan Tuhan dan anggota keluarga/komunitasku? Apa cara-cara yang dapat kukembangkan?
Doa
Ya Bapa, semoga relasi kami dengan Yesus PuteraMu semakin bertumbuh erat dan akrab, menyentuh hidup kami yang mendalam. Amin.
Perutusan
Bangunlah relasi anda dengan Tuhan dan sesama dalam dimensi afektif melalui kebersamaan, kedekatan fisik dan pembicaraan yang mendalam.
Kredit foto: Ilustrasi (Ist)