Tahun C-1. Pekan Biasa XX.
PW SP Maria, Ratu Kamis, 22 Agustus 2019
Bacaan: Hak 11:29-39a; Mzm 40:5.7-10; Mat 22:1-14.
Renungan:
NAZAR Yefta, panglima Israel, sangat kontroversial: “..maka yang keluar dari pintu rumahku untuk menemui aku ……akan menjadi milik Tuhan. Aku akan mempersembahkannya sebagi kurban bakaran”. Dan yang muncul ternyata adalah anaknya perempuan yang tunggal. Iapun melakukan sebagaimana di nazarkan. Apakah Tuhan “menghendaki Yefta mempersembahkan anaknya sebagai kurban bakaran bagi Allah? Bukankah ini praktek korban bangsa yang tidak mengenal Allah? Apakah tepat sikap Jefta? Pertama perlu kita camkan bahwa, sejak dari awal, pikiran bangsa Israel adalah tidak mengorbankan manusia. Maka penafsiran mengenai mengorbankan anaknya itu dapat ditafsirkan dengan hal lain: mempersembahkan anaknya untuk hidup tidak menikah atau mempersembahkan hidup anaknya hanya untuk kepentingan Tuhan. Dan Allah tidak menghendaki kematian anak-anak Israel. Namun lepas dari macamnya penafsiran, kita mau belajar satu hal : nilai kesetiaan janji manusia kepada Allah yang melebihi apapun dan siapapun. Yefta setia pada janjinya walaupun janji itu disertai dengan pengorbanan.
Mudah bagi kita berjanji di depan Altar untuk hidup menerima, mengasihi dan setia pasangan kita dalam keadaan apapun; mudah bagi kita untuk mengucapkan janji prasetya di hadapan Tuhan sesuai dengan aturan tarekat kita; mudah bagi kita untuk taat kepada uskup dan para pemimpin kita dalam melaksanakan tri matra imamat kita. Tetapi kembali, kadang situasi-situasi sulit, membawa kita goyah untuk setia. Karena setia berarti memilih hidup benar di hadapan Tuhan walaupun kadang disertai pengorbanan yang tidak kecil. Kadang kasih dan kesetiaan kita luntur ketika pasangan kita berubah menjadi beban dan tidak setia atau meninggalkan kita. Kadang penghayatan janji prasetya kita berjalan berbeda dengan penghayatan tarekat karena aneka pembenaran kita. Kadang kita tidak taat dan bersatu dengan pemimpin kita, dengan mengambil keputusan-kebijakan pastoral dan menjadi pengatur / otoriter. Kesetiaan Yefta pada nazarnya adalah sebuah tanda harga diri seorang panglima yang mengatakan “ya” dan “ya”.
Kontemplasi:
Gambarkan kisah Yefta ini dalam kerangka mengambil pilihan janji kesetiaan kepada Allah.
Refleksi:
Apa arti janji yang kubuat di hadapan Allah? Apakah aku melihat janji itu sebagai Yelfta melihat janjinya? Apa tantangan dan bagaimana aku belajar untuk tetap setia pada janji yang aku buat?
Doa:
Ya Bapa, kepadaMu kami berjanji menjadi pengikut dan pelayanMu; di hadapanMupun kami untuk mengasihi dan setia satu sama lain. Semoga aku senantiasa menunjung janji setia kami sebagai sebuah kehormatan yang bernilai di hadapanMu. Amin.
Perutusan:
Penuhilah janji kasih dan setia yang Anda buat dihadapan Allah walaupun komitmen akan janji itu harus disertai pengorbanan yang tidak ringan.
(Morist MSF-www.misafajava.org)
Kredit foto: Ilustrasi (Ist)