Jumat, 8 Desember 2017. SP Maria Dikandung Tanpa Dosa.
Bacaan: Kej 3:9-15.20; Mzm 98:1.2-3ab.3c-4; Ef 1:3-6.11-12: Luk 1:26-38
Renungan
DOSA Hawa dan Adam membawa rasa bersalah yang terwujud dalam sikap bersembunyi, takut, malu pada diri sendiri dan pada orang lain terutama di hadapan Tuhan : “ketika aku mendengar bahwa Engkau ada dalam taman ini, aku menjadi takut, karena aku telanjang; sebab itu aku bersembunyi.” Namun dampak dari rasa bersalah itu kemudian memunculkan pembelaan diri dan sikap blaming (menunjuk pada orang lain sebagai yang salah dan penyebab). Inilah dosa: ketidaktaatan yang membawa sikap menutup diri dan blaming sehingga keutuhan diri dan relasi dengan sesama dan Allah terkoyak. Berhadapan dengan dosa manusia, sikap Allah bukan hanya memaklumi kelemahan tetapi juga memberikan konsekwensi dan tetap memberi rahmat supaya manusia memang melawan kuasa kejahatan. Dalam situasi inilah kita mengenal dosa asal yang diwariskan secara turun menurun kepada keturunan Adam dan Hawa.
Figur Maria kontras dengan figur Hawa dan Adam. Maria digambarkan pribadi yang mengatakan “ya” dan konsisten “ya” kepada Allah. Hidup Maria diwarnai dengan sikap taat dan terbuka di hadapan Allah sepanjang hidupnya. Mengingat pribadi agung Yesus, yang adalah Sabda suci, maka Bunda Maria mengalami penebusan sejak ia dikandung. Ia dikhususkan oleh Allah untuk menerima secara layak dan pantas Yang Mahakudus untuk hadir dalam hidupnya.
Relasi suami isteri dan keluarga juga diwarnai dengan dosa dan rahmat. Jika pribadi salah satu anggota keluarga bertindak tidak benar/salah, biasanya akan muncul gejala-gejala seperti: mengasingkan diri, menjauh dari relasi, mencari kesibukan sendiri, tidak mau ditanya/tertutup, sembunyi-sembunyi dan menjadi “pribadi misterius” bagi pasangan-keluarganya. Dan jika sudah ketahuan salah, maka yang terjadi adalah pembelaan diri dan blaming terhadap orang lain. Ini adalah dosa yang bekerja dalam relasi suami isteri ataupun relasi dalam keluarga. Sikap yang perlu ditumbuhkan ketika relasi merenggang dan salah satu pasangan jatuh dalam dosa adalah dengan memikul tanggul jawab bersama. Saya ikut bertanggungjawab terhadap kelemahaman pasangan dan menjauhkan diri dari sikap blaming.
Relasi suami isteri, relasi dengan keluarga akan menjadi sebuah rahmat dan berkat, ketika sejak awal mula sudah terjadi keterbukaan satu sama lain: tidak ada yang harus disembunyikan di hadapan pasangan atau anggota keluarga. Hidup seperti ini dapat kita nikmati kalau pertama-tama kita masing-masing hidup benar dalam perkawinan-keluarga. Maka penting bagi kita untuk tidak bermain api. Yang kedua adalah membangun kepekaan dengan pasangan (coupleship) dalam pengambilan keputusan atau relasi. Yang paling mudah adalah dengan bertanya pada diri sendiri : “jika apa yang saya lakukan ini diketahui oleh pasangan saya, bagaimana perasaan-pikiran dan sikapnya? Atau “jika pasangan saya melakukan hal yang saya lakukan, bagaimana perasaan, pikiran dan sikap saya?” Hidup benar-taat dan keterbukaan sebagai coupleship ini akan menjauhkan perkawinan dan keluarga jauh dari dosa.
Kontemplasi
Gambarkan bagaimana dosa itu membawa rasa bersalah dan blaming dalam hidup Adam dan Hawa?
Refleksi
Bagaimana relasiku sebagai pasangan suami isteri dan sebagai keluarga? Apakah aku peka menangkap kerenggangan relasi? Bagaimana sikapku berhadapan denhan situasi seperti itu? Apakah aku menerima tanggungjawab ataukah blaming?
Bagaimana aku sendiri membangun sikap terbuka dan semangat coupleship dengan pasangan dan keluarga?
Doa
Ya Bapa, semoga kami boleh bertumbuh dalam ketaatan dan keterbukaan hidup. Ajarlah kami peka terhadap gejala gejala kerenggangan relasi dan segera mengambil tanggungjawab untuk membenahi relasi kembali. Jauhkan dari kami sikap menyalahkan dan melempar tanggungjawab satu sama lain, Amin.
Perutusan
Aku menjaga hidupku taat-benar dan membangun semangat kesatuan dengan pasangan/coupleship dalam pengambilan aneka keputusan (Morist MSF)
Kredit foto: Ilustrasi (Ist)