Utas iseng.
DI pusat Kota Taipei, Taiwan, terlihat sebuah gedung tinggi menjulang. Banguna ini pernah menjadi gedung tertinggi di dunia sebelum dikalahkan oleh Burj-e-Khalifa. Gedung itu diberi nama Yi-Ling-Yi (101), karena segitulah jumlah lantainya.
Gedung 101 itu dibentuk menyerupai bambu. Kenapa bambu?
Barangkali ada banyak jawaban. Tentu bambu sangat erat dengan kebudayaan China. Setiap hari orang Taiwan makan dengan sumpit yang kebanyakan dari bambu. Jumlah keseluruhan populasi Taiwan waktu itu mungkin sekitar 27 juta.
Kalau setiap kali makan, seorang menggunakan sepasang sumpit bambu, paling tidak sehari dibutuhkan sekitar 75 pasang sumpit bambu. Jumlah yang sangat besar kan?
Daur ulang
Namun salah satu keunggulan Taiwan adalah daur ulangnya.
Setiap kali makan di warung kecil saja, orang secara otomatis akan membereskan sendiri, menaruh sisa makanan di kotak yang disediakan, menaruh mangkuk kertas, sumpit, dan sisa lainnya di kotak-kotak yang sudah disediakan dan sudah dipilah.
Di jalan pun juga begitu.
Daur ulang memang paling mudah dilakukan, apabila dari sejak awal sisa sampah sudah dipilah-pilah antara sampah basah, sampah organik yang bisa didaur ulang, sampah logam, sampah plastik, dan seterusnya.
Kesadaran memilah sampah sudah menjadi tradisi hidup masyarakat Taiwan.
Bambu sebenarnya merupakan golongan rerumputan, yang mudah sekali tumbuh, berkembang, dan cepat dipanen. Bambu merupakan bahan bangunan yang cukup bagus, mudah didapatkan, bisa disediakan dalam jumlah banyak, dan memiliki sifat yang lentur.
Filosofi bambu
Tampaknya Gedung 101 itu juga dirancang mengikuti filosofi bambu itu: lentur. Dengan ketinggian yang begitu menjulang, dan kondisi geologis Taiwan yang sering gempa, maka kelenturan menjadi hal yang sangat penting.
Dengan kelenturannya, gedung itu bisa jauh lebih tahan gempa.
Kalau naik sampai beberapa lantai teratas, di bagian tengah gedung dapat disaksikan sebuah bola sangat besar yang disokong oleh beberapa tongkat hidrolik, sehingga bola itu bisa mengimbangi gerakan bila terjadi gempa.
Bola itu menjadi penyeimbang yang melawan gaya goyang gempa.
Selain Taiwan, negeri lain yang sangat sering terkena gempa adalah Jepang. Barangkali gempa sudah menjadi kejadian sehari-hari, sehingga orang terbiasa dan dilatih untuk terbiasa menghadapi gempa. Bahkan sejak anak sekolah pun sudah dilatih untuk tidak panik bila terjadi gempa.
Mereka sudah tahu apa yang harus dilakukan, bila terjadi gempa; mencari perlindungan yang aman, menyelamatkan diri, dan sebagainya.
Jepang merupakan negara yang sadar diri sebagai negara yang rawan bencana, sehingga memberi pendidikan kepada rakyatnya untuk menghadapi bahaya.
Bangunan kayu tahan gempa
Hal yang menarik adalah banyak bangunan tradisional Jepang yang menggunakan bahan kayu. Pagoda-pagoda bisa menjulang tinggi dan dibuat dari kayu. Rumah-rumah penduduk juga banyak yang terbuat dari kayu.
Kenapa justru mereka menggunakan konstruksi kayu?
Konstruksi kayu merupakan salah satu yang paling tahan gempa. Ketika gempa, barangkali bangunan memang bergerak, namun bisa pulih atau mudah dipulihkan. Tidak seperti bangunan barat yang biasanya menggunakan struktur rigid cremona, Jepang justru banyak menggunakan post and beam.
Pada rumah tradisional, tidak terlihat kuda-kuda dari sejumlah segitiga rigid, cremona, melainkan hanya susunan balok dan tiang saja. Ini relatif lebih mudah bergerak ketimbang kuda-kuda, meskipun pada praktiknya kuda-kuda juga bertumpu pada sendi dan roll.
Bangunan tradisional Nusantara juga banyak yang terbuat dari kayu. Dan sebenarnya banyak yang menggunakan sistem “post and beam” ketimbang kuda-kuda.
Bangunan joglo di Jawa, misalnya, hanya akan bergoyang kalau terjadi gempa, akan kembali ke posisi awal, atau mudah dipulihkan.
Demikian pula rumah-rumah tradisional yang membentang dari Aceh sampai Papua. Rata-rata dari kayu, dengan susunan yang juga lentur. Kalau sempat ke Pulau Moyo, pulau kecil di seberang Sumbawa, bahkan tampak rumah dibentuk agak miring, tidak tegak lurus kaku.
Nenek moyang kita tampaknya cukup kenal baik dengan alam sekitar di mana mereka tinggal. Mereka sadar dengan berbagai kemungkinan bahaya. Selain gempa, mereka juga sadar bahwa ada bahaya dari binatang buas, maupun dari bahaya banjir.
Maka dari itu mereka buat rumah panggung.
Di Nias, terutama Nias Selatan, misalnya di Desa Bawo Mataluo, berjejer-jejer, antara satu dengan yang lainnya.
Lantas bagaimana kalau terjadi kebakaran?
Orang Nias sangat cerdas, selain rumah panggung dari kayu, setiap rumah dikunci dengan balok miring yang diganjal sebuah batu.
Bila ada yang terbakar, tinggal batu itu disingkirkan, dan rumah itu digulingkan, sehingga kebakaran tidak menjalar ke rumah-rumah di kanan kirinya.
Betul-betul jenius luar biasa.
Rumah tradisional Nias dibentuk serupa perahu, pencahayaan dan penghawaan alaminya sangat bagus.
Kalau mau menyimak khazanah budaya kita, baik budaya yang tangible maupun intangible, kita akan kagum terhadap betapa piawainya nenek moyang dan leluhur kita dalam menyikapi alam di sekitarnya yang berubah-ubah.
Dan sikap utama untuk menghadapi aneka perubahan adalah kelenturan.
Sesungguhnya alam Nusantara ini juga selalu dihiasi dengan aneka perubahan. Dan bila demikian, satu-satunya modal agar bisa survive di tanah ini adalah sikap lentur.
Bukan kaku. Sesuatu yang kaku hanya akan mudah patah, retak, bahkan hancur berantakan.
Bambu yang mudah meliuk ketika diterpa angin maupun digoyang gempa, barangkali akan lebih bisa selamat dibandingkan dengan pohon beringin yang gagah perkasa, namun kaku.
Pohon cemara yang kendati menjulang, namun lebih mudah melentur, barangkali lebih tahan dibanding pohon lainnya.
Mengapa harus kaku?
Namun entah kenapa, semakin ke sini, kita justru semakin banyak menyaksikan kekakuan. Orang bangga bila bisa kaku dengan sesuatu yang dipegangnya kuat-kuat.
Makin banyak kita saksikan pameran kekerasan hati terhadap sesuatu, apalagi bila sesuatu itu konon disabdakan dari langit.
Semua serba kaku.
Bukan lentur. Sama sekali jauh berbeda dengan kelenturan yang tercermin dari gemulainya kelenturan tarian Nusantara.
Bahkan di tengah perubahan alam seperti yang ditandai dengan pandemi ini saja, sebagian orang masih dengan bangga mengungkapkan kekakuan hatinya untuk melakukan sesuatu yang secara praktis justru bisa membahayakan diri maupun orang-orang di sekitarnya.
Ki Ageng Suryomentaram, salah seorang spiritualis Jawa terkenal pernah mengatakan bahwa “di dunia ini tidak ada sesuatu pun yang perlu dibela atau ditolak mati-matian.”
Dan Bhante Uttamo pernah mengatakan bahwa “itu semua cuma ‘jaréné‘, katanya”.
Lha kenapa kalau cuma ‘jaréné ‘(katanya), kok perlu dilakukan dengan kaku?
Kenapa harus menganut ilmu “kudu” (harus), harus begini, harus begitu. Barangkali leluhur kita lebih bijak, seperti dinasihatkan oleh orang Bali bahwa semuanya mesti disesuaikan menurut desa, kala, patra.
Desa” artinya tempat, “kala” artinya waktu-zaman, dan “patra” berarti situasinya. Segala sesuatu itu mesti disesuaikan dengan tempatnya, waktunya, dan situasinya.
Tidak perlu bersitegang secara kaku. Yang kaku bisa patah, remuk, sedangkan yang lentur bisa survive.
Marcx 09/07/2021