Sentuhan psikologis dalam peradilan anak perlu untuk menghindari berbagai dampak kurang baik terhadap anak-anak yang berhadapan dengan hukum, kata psikolog Universitas Diponegoro Semarang Endang Sri Indrawati.
“Peradilan anak di Indonesia perlu pembenahan dengan sentuhan psikologis. Sebab, anak-anak adalah aset masa depan bangsa,” katanya di Semarang, Kamis, menanggapi munculnya beberapa kasus anak-anak yang diajukan ke meja hijau.
Ia menilai, psikolog perlu banyak dilibatkan dalam menangani permasalahan hukum yang melibatkan kalangan anak. Proses hukum yang dijalani anak-anak harus tidak sampai merusak kesehatan mental mereka.
Dengan keterlibatan psikolog secara intens, kata Endang yang juga pengajar Fakultas Psikologi Undip itu, anak-anak yang terlibat kasus hukum tidak merasa diteror yang pada akhirnya justru menyebabkan efek traumatis terhadap anak tersebut.
“Peradilan anak-anak memang kewenangan aparat hukum, namun sebaiknya kalangan psikolog dilibatkan dalam penanganan kasus yang melibatkan anak-anak, katakanlah mulai proses ’penangkapan’ sampai selesai,” katanya.
Membuat tertekan
Menurut dia, proses peradilan anak selama ini belum memperlihatkan sentuhan psikologis, karena proses hukum yang dijalani anak akan membuat anak secara psikologis merasa tertekan, ketakutan, dan dampak terhadap anak sangat buruk.
Sentuhan psikologis yang dimaksudkan, katanya, seperti proses interogasi yang lebih dititik beratkan kepada pemosisian diri sebagai pendengar yang baik karena subjek yang dihadapi adalah kalangan anak.
“Posisi menjadi pendengar yang baik dimaksudkan untuk menunjukkan sikap terbuka yang membuat anak merasa nyaman dan memberikan pengakuan sejujurnya. Prosesnya lebih pada mempertanyakan mengapa sampai melakukan,” katanya.
Ditanya proses persidangan anak yang melarang hakim dan jaksa mengenakan toga, ia menjelaskan, pakaian yang dipakai hakim dan penegak hukum lainnya dalam persidangan bisa saja memengaruhi perasaan si anak.
“Pakaian yang dikenakan hakim dan lainnya jangan sampai menimbulkan perasaan ’horor’ bagi si anak, misalnya pakaian dengan nuansa serba hitam, termasuk ’setting’ ruang sidang yang bisa dibuat lebih santai,” katanya.
Peradilan anak, katanya, sebaiknya lebih mengedepankan upaya pembinaan daripada sanksi, memberikan rasa jera agar tidak mengulangi perbuatannya lagi, serta yang terpenting mendorong anak berubah atas kemauan sendiri.