BESLUIT atau SK (Surat Keputusan) adalah sesuatu yang amat penting pada waktu tahun 1949 dan tentu saja sampai sekarang. Ketika suster diputuskan harus berangkat menjadi seorang misionaris ke Tanah Misi, maka pimpinan tarekat religius harus mengeluarkan terlebih dahulu sebuah besluit.
“Dan blesuit itu teramat penting untuk bisa mengurus semua dokumen perjalanan menuju Tanah Misi di Ketapang, Kalbar, Indonesia,” tutur Sr. Mathea Bakker OSA.
Rumitnya urusan administrasi
Tentang pentingnya harus bisa mendapatkan besluit ini, Sr. Mathea Bakker OSA lalu menjelaskan latar belakangnya sebagai berikut.
Tahun 1949, NKRI boleh dibilang baru “seumur jagung” paska Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945. Suasana kebangsaan dan hidup sosial di masyarakat di bekas wilayah Hindia-Belanda ini masih belum mapan di semua sektor bidang kehidupan.
Karena itu, begitu kapal besar Willem Ruys berhasil tiba berlabuh di Batavia (Jakarta), maka kelima suster muda OSA itu langsung mendatangi Jawatan (baca: Kantor) Urusan Kesehatan yang waktu itu masih dimiliki oleh Pemerintah Belanda untuk minta –katakanlah –semacam Surat Keputusan (SK) yang oleh Sr. Mathea Bakker OSA disebut besluit.
Besluit ini penting, katanya kemudian, apalagi karena waktu itu, “Tahun-tahun pertama setelah kemerdekaan, sentimen anti orang Belanda masih kencang di Indonesia,” ungkap Sr. Mathea OSA.
Apa dan di mana itu “Ketapang”?
Maka ketika sudah tiba di Batavia, terjadilah kurang lebih percakapan seperti ini dengan seorang pejabat Jawatan Urusan Kesehatan yang waktu itu masih ditangani oleh Pemerintah Belanda.
“Jadi… kalian ini siapa dan mau kemana?,” tanya seorang pejabat Jawatan Urusan Kesehatan –seorang bule Belanda– sebagaimana ditirukan kembali oleh Sr. Mathea Bakker OSA ketika ditanyai maksud kedatangannya dari Nederland ke Indonesia.
“Kami ini para Zusters Sint Augustinessen dari Heemstede …. Kami mau bekerja di sebuah RS milik Pemerintah RI di Ketapang,” jawabnya.
“Kami ini … sungguh tidak tahu … kamu itu siapa … dan mau kemana …, untuk apa di sana …,” kata pejabat orang Belanda itu sebagaimana kemudian ditirukan oleh Sr. Euphrasia Laan OSA.
Kebisuan total langsung mengunci mulut mereka.
“Ya begitulah yang terjadi. Tidak ada catatan apa pun di kapal Willem Ruys yang kami tumpangi itu tentang dokumen perjalanan kami menuju Ketapang, selain tentu saja dokumen pelayaran dari Rotterdam menuju Batavia melalui Port Said di Mesir dan Singapura,” sambung Sr. Euphrasia Laan OSA.
“Waduuuh …. suasananya sulit sekali … susah menerangkan hal itu kepada pejabat Jawatan Urusan Kesehatan, meskipun dia juga orang Belanda …. ,” lanjut Sr. Euphrasia Laan OSA.
Ayo balik lagi ke Nederland
Mendadak ‘frustrasi’ tiba-tiba menyergap benak dan gejolak hati salah satu suster muda OSA.
“Karena menemui ‘jalan buntu’ …. semua tidak mudheng (mengerti) dan kami pun juga bingung harus mengatakan apa dan bagaimana …. sehingga satu di antara kami sampai berujar demikian: ‘Kalau begitu, mumpung Kapal Willem Ruys masih bersandar di dermaga Tanjung Priok, maka kita semua bisa segera pulang balik lagi ke Nederland!’ … Kami berempat hanya bengong mendengar ungkapan kekesalan itu,” kata Sr. Euphrasia Laan OSA menirukan omongan kolega salah satu suster muda OSA di awal Desember 1949.
Namun kali ini, saat Sr. Euphrasia Laan OSA ini mengisahkan “kisah seru” di Jawatan Urusan Kesehatan milik perwakilan Pemerintah Belanda di Jakarta, paparannya itu diungkakan disertai derai tawa.
Dalam sebuah dokumen wawancara di Nederland pada tahun 2005 silam, Sr. Euphrasia Laan OSA mencoba mengingat suasana kebingungan dan kebuntuan bicara yang terjadi di Jawatan Urusan Kesehatan di Jakarta.
Suasana serba bingung itu langsung menggelayuti benak dan hati kelima suster muda OSA calon misionaris ke Ketapang itu, hanya sesaat begitu sampai di Batavia di awal bulan Desember, tahun 1949.
Lalu, tiba-tiba saja, entah ilham itu muncul dari mana, maka terjadilah konteks percakapan berikutnya seperti ini.
- “Tetapi …., kami para Zijster St. Augustinessen ini ingin tetap bisa pergi ke Ketapang,” kata kelima suster muda OSA itu dengan gagahnya.
- “Ketapang…. eh … tapi itu apa dan di mana?,” tanya pejabat Jawatan Urusan Kesehatan milik perwakilan Pemerintah Belanda di Batavia yang malah tampak bingung dan sepertinya juga tidak tahu apa-apa tentang “kota kecil” bernama Ketapang di Kalimantan Barat.
- “Eh … eh… iya … Maksud saya … Ketapang itu yang ada di West Borneo….,” jawab Sr. Mathea Bakker OSA menirukan suaranya sendiri guna mengkonfirmasi maksud kedatangan lima suster OSA “noni-noni” Belanda itu ke Indonesia dan ingin melanjutkan perjalanannya ke Pontianak dan lalu ke Ketapang Kalbar.
Lalu pecahlah ketawa di antara mereka. Dan percakapan itu berlanjut demikian:
- “Kami para Zijster St. Augustinessen dari Heemstede ini sengaja datang dalam rangka misi kemanusiaan yakni ingin bisa bekerja di sebuah RS milik Pemerintah RI di Ketapang,” tambahnya lagi semakin mantap.
Dan yang terjadi kemudian sungguh di luar dugaan.
Pejabat Jawatan Kesehatan berkulit putih dari Negeri Belanda itu pun lalu hanya manthuk-manthuk. Dan sejurus kemudian, ia langsung memberi cethok di atas sebuah kertas dokumen.
Maka, setelah halaman paspor kelima suster muda OSA itu mendapatkan entry permit clearance di Pelabuhan Tanjung Priok, kini mereka juga bisa memperoleh “lampu hijau” dari Jawatan Urusan Kesehatan milik Pemerintahan Belanda untuk bisa masuk dan bekerja di Tanah Misi di Ketapang, West Borneo.
“Berkat dan penyelenggaraan Tuhan itu sungguh benar terjadi … sehari kemudian, kami mendapat kabar gembira…. Besluit itu sudah diterbitkan sehingga hari-hari kemudian kami bersiap pergi ke Pontianak,” ungkap Sr. Mathea Bakker OSA.
“Di besluit itu,” terang Sr. Mathea OSA, “sudah tertulis nama-nama kami berlima dan keterangan tugas kami nantinya di bidang apa saja. Juga disebutkan kami akan mendapat gaji berapa,” lanjutnya.
Besluit (SK) dari Kantor Jakarta itu pun akhirnya terbit guna bisa mendapatkan izin bekerja di RS milik pemerintah di Ketapang .
Karenanya, beberapa hari kemudian, dan tanpa ba-bi-bu lagi, maka kelima suster muda OSA yang baru saja mendarat di Batavia ini pun langsung terbang dengan pesawat kecil menuju Pontianak. (Berlanjut)