MENONTON film baru berjudul Little Boy bagaikan memasuki suatu permenungan arti sebuah harapan. Harapan itu akan terwujud, karena ada iman.
Si kecil yang dikecilkan
Kisah berangkat dari Pepper Flynt Busbee (Jakob Salvati) bocah kecil yang tinggi badannya sepertinya tak bertambah-tambah. Pepper mendapat gelar “Little Boy” sebagai ejekan dari teman-temannya. Ukuran badannya sering dijadikan bahan hinaan dan tak jarang tindak kekerasan bocah-bocah sebayanya.
Adalah Freddy (Matthew Miller), bos kecil yang suka mempengaruhi teman-teman untuk mengejek Pepper. Badan Freddy yang gendut besar membuatnya ditakuti oleh anak-anak sebayanya. Pepper kehilangan teman. “Ia tidak punya teman,” kata seorang ibu tentang Little Boy.
Hanya ayahnya, James Busbee (Michael Rapaport) pribadi yang memberinya semangat, keberanian, dan juga penghiburan. James begitu kaya akan inspirasi untuk membentuk buah hatinya bertumbuh sebagai pribadi yang percaya diri.
Ia ajak Pepper berpetualang, dikisahi tokoh Ben-Eagle dsb. Sedang kakaknya London (David Henrie) kurang akrab dengannya. Suatu saat James harus meninggalkan keluarganya karena tugas negara. London rupanya gagal menjadi relawan perang di Filipina untuk melawan Jepang. Jameslah yang harus berangkat mewakili keluarganya. Dan Pepper tidak punya siapa-siapa.
Memupuk harapan
Perang yang tak kunjung usai ditambah berita tentang kehebatan Jepang telah mengecilkan harapan banyak warga Amerika akan kembalinya anggota keluarga mereka dari perang. Sampailah sebuah kabar bahwa pasukan dimana James bertugas dikalahkan oleh tentara Jepang. Nasib James tidak jelas apakah masih hidup atau sudah mati.
Little Boy memainkan peran penting dalam situasi ini. Ia mati-matian berusaha untuk mengembalikan ayahnya dari medan perang. Ia berburu “iman” mulai dari ahli sulap Ben-Eagle sampai berguru pada pastor di parokinya tentang bagaimana memiliki iman sebesar biji sesawi untuk memindahkan gunung. Dengan kaca mata seorang anak, Pepper menangkap pesan sabda Tuhan. Ia mencuri biji sesawi dari sebuah toko untuk dijadikan jimatnya. Ia mempraktekkan ilmu sulap Ben-Eagle. Satu harapannya, ayahnya akan pulang.
Pepper mempersonifikasi anak kecil yang ditempatkan oleh Yesus di tengah-tengah kerumunan orang untuk mengajarkan artinya beriman. Teman-teman, kakaknya dan bahkan pastor paroki ikut menertawakan keyakinan bocah ini. Begitulah iman seorang bocah kadang jadi bahan lelucon oleh orang-orang dewasa.
Tanpa dinyana, Pepper dipertemukan dengan tuan Hashimoto (Cary-Hiroyuki Tagawa) orang Jepang yang tinggal di kota kecil itu. Warga membenci Hashimoto diidentikkan dengan musuh perang Amerika. Hashimoto tampil seperti malaikat aneh yang mendampingi Pepper menyelesaikan misi untuk menunjukkan bahwa ia memiliki iman yang akan mengembalikan ayahnya dari perang Pasifik.
Apa yang dibuat oleh Pepper dan Hashimoto tentu membuat geger warga kota kecil tersebut. Kejadian demi kejadian menguji keyakinan Pepper. Sampai semua warga kota mengetahui dahsyatnya keyakinan bocah kecil yang besar ini. Semua mengakui dalam tubuh kecil itu tertanam harapan yang melebihi gunung mana pun. Ritual rutin Pepper di tepi laut saat matahari terbenam menjadi acara tontonan warga tentang betapa iman itu hidup dalam seorang anak. Dan mereka perlahan-lahan mulai berani berharap.
Hingga suatu saat dikabarkan bahwa Jepang kalah dalam perang dan James ternyata meninggal dalam peperangan. Inikah ending dari suatu harapan? Tetapi tak lama kemudian, dikabarkan adanya kekeliruan, James yang diberitakan sudah wafat ternyata masih selamat dan dirawat. Harapan itu ternyata tidak mati. Justru harapan itu terwujud ketika semua sepertinya sudah mati.