Tiba-tiba seorang teman datang ke rumah saya dengan panik menceritakan bahwa dia dilaporkan ke polisi oleh saudara kandungnya. Usut-punya usut ternyata dia selama ini sedang berselisih dengan saudara kandungnya karena pembagian warisan yang tidak pernah diselesaikan dan makin berlarut-larut selama setahun ini.
Perselisihan yang sebenarnya ranah perdata tersebut akhirnya tanpa dia sadari telah menyentuh ranah hukum pidana dan berurusan dengan polisi.
Saya berusaha mencari tahu kenapa permasalahan pembagian warisan dalam keluarga mereka itu berujung pada perpecahan keluarga. Bukankah seharusnya harta warisan orang tua yang nilainya cukup besar tersebut justru menyatukan mereka? Apa sebenarnya akar masalah dari semua perpecahan keluarga ini?
Ternyata semua ini terjadi karena salah satu tidak ada yang mau mengalah. Masing-masing merasa berhak mendapatkan bagian warisan yang besar. Semua ingin agar warisan dibagi sama rata. Inilah yang menyebabkan buntunya perbincangan yang dilakukan selama ini.
Ya, mereka tidak menyadari bahwa mereka menggunakan cara berhitung manusia atau saya sebut “matematika manusia”. Cara berpikir inilah yang telah membuat hati mereka serakah, karena masing-masing ingin mendapatkan bagian yang lebih besar. Masing-masing tidak mau merasa rugi. Masing-masing memakai kalkulator dengan rumus-rumus baku ciptaan manusia.
Bila sudah demikian, pembagian warisan orangtua yang nilainya cukup besar dan terdiri dari berbagai aset itu seolah tidak bisa dibagi untuk mereka yang hanya tiga bersaudara sebagai ahli warisnya.
Ketika diminta menengahinya, saya setuju membantu dan mulai bekerja bukan dengan “matematika manusia” tetapi dengan mengajak mereka membagi dengan “metematika Tuhan” setelah mengajak masing-masing pihak untuk berdoa terlebih dahulu sebelum membahas pembagian warisan itu agar Tuhan sendirilah yang membimbing hati mereka.
Setelah itu saya mengajak mereka menginventarisir seluruh harta warisan dan meminta masing-masing pihak saling berusaha memberikan bagian yang lebih besar kepada saudaranya. Semula mereka menganggap saya membuat lelucon atau bercanda, tetapi dengan cara demikian ternyata mereka merasa lebih nyaman dan hati mereka lebih bahagia. Karena mereka diajak untuk memikirkan saudaranya bukan memikirkan diri sendiri.
Ya, matematika Tuhan sangat berbeda dengan matematika manusia karena memang memiliki logika yang berbeda. Matematika Tuhan mengajarkan pada manusia untuk selalu merasa cukup walau dalam keterbatasan dan bersedia berbagi dari kekurangannya. Karena dengan demikian hati kita akan berkecukupan dan merasa bahagia.
Singkat cerita, dalam tempo hanya tiga hari saya berhasil mempertemukan tiga bersaudara dalam sebuah kesepakatan pembagian warisan orang tua. Anehnya masing-masing pihak merasa sangat bersyukur dengan apa yang telah disepakati dan diterimanya. Semua berakhir dengan dengan sebuah kesepakatan yang memuaskan masing-masing pihak.
Saya sangat bersyukur menjadi salah satu sarana Tuhan untuk menyelesaikan masalah tiga bersaudara itu. Setelah saya renungkan, masalahnya bukanlah pada harta warisan atau pada nilai bagian yang masing-masing mereka dapatkan.
Kuncinya terletak di hati mereka untuk “lepas bebas” dan kesediaan hati untuk bersyukur, kerelaan hati untuk berbagi dan membagi warisan orang tua dengan cara berpikir gaya Tuhan.
Jangan sampai harta dunia memisahkan jalinan persaudaraan dan biarlah harta dunia menjadi wujud sarana bagi kita semua untuk saling mencintai dan saling peduli. Rumus Tuhan selalu nyata “Siapa memberi, Ia menerima”.