SEJAK kecil, kami setiap anggota keluarga memilih salah satu aktivitas sampingan yang dapat menghasilkan uang tambahan untuk menunjang ekonomi keluarga, seperti pedagang asongan rokok, kue, dsb.
Dan saya memilih sebagai tukang koran, pekerjaan yang menurut saya, paling menyenangkan, yang bisa saya lakoni setiap hari –kalau ada koran yang datang– selepas sekolah dan makan siang.
Karena koran sangat dinantikan oleh segenap pelanggan. Bayangkan sumber informasi saat itu hanya siaran radio saja.
Sebagai tukang antar koran, saya menjadi sangat dibutuhkan –bahkan disayang– oleh para pelanggan, isteri hingga anak-anak mereka yang juga menantikan bacaan seperti Intisari, Bobo, atau buku novel.
Oleh karena itu saya yang waktu itu baru berumur 10-an tahun itu bebas saja melenggang masuk rumah pelanggan, termasuk rumah dinas Bupati, Dandim, dan Danres yang semua petugas jaganya selalu berambut cepak itu.
Bayangkan dalam usia semuda itu saya sudah menjadi orang yang sangat dikenal di kota itu pada masa tersebut.
Undian Nalo
Pada zaman itu ada undian mingguan NALO (National Lottery) yang ditarik setiap Sabtu malam dan hasil penarikannya disiarkan oleh radio. Namun karena tidak ada alat perekam, maka bandar judi tidak berani membayar pemenang sebelum melihat iklan undian di koran Kompas yang terbit Senin berikutnya dan datang beberapa hari kemudian itu.
Koran Kompas menjadi satu-satunya bukti resmi hasil undian. Itu pun hanya bisa “beredar” setelah saya pulang sekolah. Ini menjadikan beberapa peminat informasi yang sangat berharga tersebut hanya bisa sabar menunggu di depan rumah kami saat saya membukakan koran Kompas bagi mereka.
Malari
Peristiwa Malari –Mala Petaka 15 Januari 1974– adalah peristiwa demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan sosial yang terjadi pada saat kunjungan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka di Jakarta yang berlanjut dengan sidang pengadilan tokoh mahasiswa Hariman Siregar dkk.
Kompas memberitakannya setiap sidang dan saya membacanya dengan cermat, termasuk memahami istilah hukum seperti duplik,replik, pleidoi, dsb.
Karena koran Kompas tiba terlambat di tangan pelanggan, dan diyakini saya sudah membacanya secara lengkap berurutan, maka saya suka diajak ngobrol oleh Kepala Kejaksaan Negeri tentang perkembangan hukum perkara tersebut. Ini benar-benar ngobrol tentang hukum dengan seorang anak SMP.
Wartawan senior Kompas J. Widodo pernah berkunjung ke pedalaman Ketapang tahun 1971. Karena waktu itu belum ada penginapan di kota kami, maka ia sempat numpang di rumah kami beberapa hari saat datang dan ketika hendak pergi lagi.
Sejak itulah, saya yang masih usia SD terinspirasi oleh beliau untuk kelak juga menjadi wartawan, terbayang bangganya kalau ada nama saya ditulis setiap kali membaca berita seperti: “Laporan wartawan Kompas, Threes Nio dari New York”. (Berlanjut)