“YOUR father may have passed away. But you can still look up to the sky and wave goodbye. You can’t forget him no matter what. But at least the sky has one more angel to say hi to. Love and miss you dad”. (Angel in the Sky)
Namanya Risad Haditono. Tokoh Risad tiba-tiba dikenal publik. Ini gara-gara film “Susi Susanti – Love All”, yang sedang main di gedung-gedung bioskop di seluruh Indonesia.
Lebih-lebih kalau anda seorang ayah dari anak(-anak) perempuan, saya anjurkan untuk menonton film ini. Simak peran hebat “Papi Risad” terhadap kesuksesan puterinya, Susi Susanti.
Risad membuat saya menitikkan air mata sejak awal kisah. Saya “mbrebes mili” tiga kali. Semuanya karena hubungan seorang ayah dengan puetrinya yang menggetarkan. Mungkin saya terlalu emosionil.
Maklum, senasib dengan Risad. Saya mempunyai seorang anak perempuan.
Minggu lalu, saya sempat nonton film ini. Belum separuh kisah diputar, saya sudah menyimpulkan bahwa Risad adalah tokoh kunci di balik kesuksesan Susi sebagai atlit bulutangkis dunia.
Sejak Susi masih anak-anak, Risad sudah yakin bahwa bakat puterinya sangat istimewa. Risad tahu persis bagaimana seorang bocah bisa mencintai Bulutangkis. “Awalnya papi melatih footwork”.
Dan inilah kuncinya. Satu kalimat telah membakar semangat Susi, dan api yang semula kecil telah menjadi obor besar, yang terang benderang.
Terbukti, cita-cita Risad menjadi kenyataan sekian tahun kemudian. “Papi ingin Susi menjadi pemain Indonesia pertama yang merebut medali emas di ajang Olimpiade”.
Siapa membayangkan Susi kecil yang secara fisik kurang berotot, bisa menjuarai banyak pertandingan kejuaraan bulutangkis dunia?
Siapa menyangka Susi mampu mengerek Bendera Merah Putih diiringi Lagu Kebangsaan Indonesia Raya di Barcelona, pada tahun 1992?. Tak satu pun stakeholder bulutangkis nasional sampai pada mimpi itu, kecuali Risad Haditono, ayahnya.
Keluarga Risad tinggal di kota kecil Tasikmalaya, di sebuah rumah sederhana tanpa terlihat kemewahan sedikit pun.
Cita-citanya sebagai pemain bulutangkis pupus, terganjal cidera lutut. Tapi Risad memperoleh gantinya. Bahkan jauh lebih hebat. Puterinya juara bulutangkis malang-melintang di mana-mana.
Kisah berjalan biasa-biasa saja. Sederhana, atau malah sangat sederhana. Sampai suatu pagi, tampil adegan mengharukan. Diiringi mami Purwo Banowati, Risad keluar rumah, menyangking dua koper menggandeng Susi.
Naik bis tua, mereka menuju Jakarta. Tujuan mereka gedung tua di Ragunan, bertuliskan “PB Jaya Raya”. Susi diterima sebagai atlit untuk masuk pelatihan khusus bagi remaja berbakat.
Sebelum itu pergumulan di dalam keluarga Risad tidak sederhana. Tapi Risad selalu berhasil menenangkan, baik puterinya maupun isterinya.
Saat Susi ngambeg atau frustasi karena latihan yang sangat melelahkan, Risad selalu tampil dengan kata-kata hiburan yang menyegarkan. Susi selalu luluh dan kembali menggenggam raketnya.
Hari-hari pertama Susi di Ragunan, Risad menunggui, sambil terus mengawasinya. Tak jelas dia tinggal di mana.
Pernah Susi kesal dan membuang raket. Tiba-tiba Risad muncul dan memungutnya. Dengan nada rendah dan ngemong, Risad terus menghibur dan memompakan semangat. “Siapa yang mau menjadi juara dunia?”. “Siapa yang mau ke sini?”. “Atau, kita pulang saja ke Tasik?”.
Kembali Susi bertekuk lutut di pelukan sang papi.
Dua adegan menunjukkan kepahlawanan Risad. Susi mengeluh, sebelum masuk ke gelanggang final Olimpiade. “Papi, aku takut”.
Risad pula yang membereskan kekhawatiran sang juara.
Yang kedua. Tahun 1998, saat sang papi harus berjibaku menghadapi kerusuhan di Tasikmalaya, sementara Susi berlaga di piala Uber di Hongkong. Happy ending. Risad selamat dan Susi memboyong piala ke pangkuan Ibu Pertiwi.
Tapi apa kehebatan Risad hingga bisa sampai pada pencapaian itu?
Jawabnya hanya satu. Karena dia ayah Susi. Banyak peristiwa membuktikan bahwa hubungan seorang ayah dengan anak perempuannya bersifat unik. Risad-Susi adalah contoh ekstrem yang harus dicatat tersendiri.
Coba simak pendapat Dr. Carol Langlois, seorang researcher, psychologist and writer. Dia menjawab rahasia ini dalam artikel yang berjudul “Fathers, Daughters & Learning Self-Esteem”.
“A healthy father-daughter relationship is key for developing a girl’s positive self-esteem. For all little girls, dad is the first male figure in her life”.
Untuk Almarhum Risad Haditono, terimalah penghargaan dan penghormatan istimewa dari saya.
“Susi Susanti, puteri anda, adalah pahlawan olahraga yang luarbiasa. Ayahnya, tak kalah hebat, karena dari hati dan tangannya, sang juara bisa tercipta.”
@PM Susbandono
2 November 2019