PULKAM (pulang kampung) selalu menjadi momen yang menarik bagi siapa saja. Seribu macam kisah menarik menjadi ‘bumbu penyedap’ ketika bernostalgia di kampung halaman.
Meskipun kadang harus menempuh jalan darat yang cukup lama, namun semua rasa capai bisa terbayarkan dengan nuansa alam yang memukau, udara segar jauh dari polusi dan kebisingan serta kearifan lokal khas kampung yang luar biasa.
Paroki St. Paulus Rasul Balai Karangan
Pulang kampung menjadi semacam refreshing, menimba kekuatan baru dari sentuhan alam nan elok.
Di artikel kali ini, penulis ingin berbagi sepenggal kisah menarik ketika menyusuri kawasan kampung mungil di tapal garis perbatasan Indonesia-Malaysia.
Saya berasal dari salah satu paroki di wilayah Keuskupan Sanggau (Kalimantan Barat), yaitu Paroki Santo Paulus Rasul – Balai Karangan.
Pusat paroki terletak di Desa Balai Karangan yang berjarak tempuh sedikitnya empat jam perjalanan darat dengan mobil dari Ibukota Pontianak, Kalbar.
Secara administratif pemerintahan, Balai Karangan ini masuk wilayah Kecamatan Sekayam, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat.
Lokasinya persis berbatasan langsung dengan Serawak, Malaysia Timur. Tapal batas ke dua negara dipisahkan oleh pegunungan.
Paroki ini resmi berdiri 14 Desember 2002 dan memiliki sekitar 50-an lebih stasi. Salah satunya Stasi di Dusun Lubuk Tengah.
Lubuk Tengah, permukiman mungil di tapal batas
Mengapa penulis tertarik untuk berbagi kisah mengenai dusun Lubuk Tengah yang terpencil berada dibawah kaki gunung ini?
Hal ini karena dusun kecil mencatat jumlah penduduk kurang lebih hanya 100 KK. Yang menarik lagi, mereka ini mempunyai keistimewaan yang cukup unik.
- Pertama, secara geografis, desa permukiman mereka menjadi desa terakhir yang menjadi pemisah jarak antara wilayah Indonesia dan Malaysia.
- Untuk bisa sampai ke wilayah teritorial negeri tetangga, kita hanya waktu sekitar sejam dengan berjalan kaki mendaki gunung. Cukup dekat bukan?
- Oleh karena itu, tidak heran bahwa dusun mungil ini kemudian dijuluki ‘pintu gerbang keluar-masuk’ Malaysia-Indonesia, lantaran jaraknya yang sangat dekat dengan garis tapal batas Indonesia dengan negeri jiran Malaysia.
- Masyarakat setempat lebih sering bertransaksi jual-beli ke tetangga ketimbang ke wilayah negeri sendiri.
- Dengan alasan ekonomi pula, para pemuda yang mulai menginjak usia dewasa pada umumnya lebih tergiur pergi melancong mengadu nasib ke Malaysia.
- Jarak yang sangat dekat juga menjadi alasan yang potensial untuk terjadinya relasi perkawinan campur beda negara.
Sejam dari Balai Karangan
Perjalanan menuju Dusun Lubuk Tengah di Balai Karangan lumayan gampang dan bisa dijangkau. Lokasinya bisa ditempuh dengan kendaraan roda empat, sekitar sejam dari pusat paroki.
Di sepanjang perjalanan memasuki kawasan dusun ini, aura dan pesona alam nan asri mulai terasa. Mata para pengunjung akan dimanjakan dengan pemandang segar ketika melihat hamparan sawah luas nan hijau tertata apik di sepanjang jalan.
Pegunungan yang menjulang gagah nan elok, dan hutan lebat dengan pohon-pohon besar yang masih dihuni bermacam-macam flora dan fauna. Serta terdengar juga bunyi gemericik air jernih mengalir dari celah bebatuan besar tak kalah menarik perhatian.
Lapor ke Pos Pamtas
Sebelum memasuki area dusun Lubuk Tengah ini, para pengunjung harus melapor ke Pos PAMTAS (Pengamanan Batas Indonesia-Malaysia) yang dijaga ketat oleh oknum TNI. Bagi pengunjung domestik luar pulau (Kalimantan), Anda cukup menunjukkan KTP (Kartu Tanda Penduduk) saja maka anda akan diperbolehkan masuk.
Gereja St. Yosep di atas bukit
Selain pantas dijuluki unik lantaran posisinya secara geografis menjadi pemisah jarak antara Indonesia dan Malaysia, Balai Karangan punya keistimewaan lain. Yakni, dusun permukiman ini memiliki bangunan gereja cukup megah di atas bukit.
Uniknya, ketika posisi berada di atas sekitaran gereja, kita bisa melihat hampir semua rumah penduduk dengan pemandangan gunung serta hutan belantara yang indah.
Gereja ini diresmikan oleh Mgr. Giulio Mencuccini CP (Uskup Keuskupan Sanggau) pada tanggal 24 November 2017 yang lalu dengan mengambil nama pelindung St. Yosep.
Gereja St. Yosep bisa menampung sekitar 200-an umat. Desain interior yang bernuansa motif Dayak ini menghabiskan biaya dengan pembangunan 650 juta rupiah.
Dana tersebut berasal dari sumbangan umat berjumlah Rp 300 juta, dari paroki Rp 100 juta, dari donatur Rp 150 juta rupiah dan dari phak lainnya sebesar Rp 100 juta.
Di acara pemberkatan Gereja St. Yosep Dusun Lubuk Tengah, Mgr. Julius juga menerimakan Sakramen Krisma kepada 115 orang.
Dalam sambutannya, Mgr. Giulio Mencuccini CP berpesan kepada seluruh umat agar menjaga dan merawat gereja ini dengan baik, “Bukan hanya bangunannya yang dirawat, tetapi iman umatnya juga. Jangan sampai gereja yang megah ini jadi kosong,” lanjut Uskup.
Terkait dengan pembinaan iman umat, penulis sempat berjumpa dengan salah satu OMK asal Ambarawa – Kabupaten Semarang, Jateng. Ia datang bersama beberapa teman OMK lainnya dan menyempatkan diri hadir di tengah umat guna berbagi pengalaman terkait dengan pengembangan SDM dan bina iman umat. (Berlanjut)
Paguh artikel neh suster