Maaf Memaafkan

0
295 views
Ilustrasi (Ist)

TERKADANG orang masih bertanya, “Kenapa maaf-memaafkan itu penting dilakukan?”

Mengakui kesalahan dan meminta maaf itu sangat membantu menyingkirkan penghalang komunikasi yang sehat. Relasi keluarga bisa tegang bahkan pupus karena kesalahan.

Komunikasi antar sahabat bisa hancur karena kata-kata yang menyakitkan. Orang perlu “tongkat magis” untuk menyingkirkan penghalang itu.

Tongkat magis yang mendorong sebuah dialog terbangun kembali itu adalah perkataan, “Saya sungguh minta maaf”.

Permintaan maaf yang jujur itu membuka mekanisme pertahanan diri. Dengan permintaan maaf, orang tampil apa adanya. Tidak ada yang ditutup-tutupi. Ia adalah manusia yang bisa salah, tidak sempurna.

Permintaan maaf itu juga membuka luka-luka batin pada orang lain. Saat tertentu, orang marah-marah atau mengatakan sesuatu yang melukai. Bisa jadi orang itu tidak menyadari dampak kemarahannya. Orang yang terkena juga tidak mengatakan.

Namun “Jiwa yang terluka” itu menjadi penghalang relasi cinta dan dialog. Hubungan memburuk dan perlu suatu penyembuhan.

Hubungan yang tegang itu dapat dilunakkan secara secara ajaib dengan permintaan sederhana dan jujur yakni, maaf.

Dengan berani meminta maaf secara jujur, orang tidak menempatkan kesalahan pada diri sendiri. Ia tidak memutuskan siapa yang benar dan salah. Orang hanya mohon agar ia ditempatkan lagi dalam rengkuhan cinta.

Permintaan maaf jujur itu adalah sarana efektif menyembuhkan jiwa yang luka. Bukankah setiap hubungan umumnya diwarani luka dan kesalahan?

Takut mengakui kesalahan

Namun kenapa ada ketakutan untuk mengakui kesalahan? Kenapa ada banyak orang sulit minta maaf secara tulus?

Psikolog akan mengatakan bahwa kesulitan meminta maaf adalah masalah kejujuran pada diri sendiri. Sebelum memperoleh maaf, orang harus terlebih dahulu berani jujur pada diri sendiri tentang kegagalan dan keterbatasan diri. Orang harus berani mengakui kesalahannya pada orang lain yang terkena dampak kesalahan.

Saat orang meminta maaf secara jujur, pemberian maaf itu tidak ditarik kembali. Ketika terjadi saling pemaafan, pemberian itu menjadi sarana pelepasan. Buku diputihkan lagi. Orang yang minta maaf tidak perlu merasa bersalah lagi. Orang yang memberi maaf tidak perlu lagi menanggung kebencian.

Lingkaran pembenaran diri

Namun ada orang yang menolak meminta maaf karena sibuk merasionalisasi perbuatan dan perkataannya. Ia menolak melihat kebenaran secara obyektif. Ia sibuk membangun pembenaran diri. Begitulah, orang itu akan mudah tersesat dalam lingkaran pembenaran diri.

Dalam lingkaran pembenaran diri, orang memutar balikkan kebenaran, cuci tangan dari permasalahan, bahkan bisa saja ia menyalahkan fakta. Ia bekerja keras untuk membenarkan diri sendiri.

Sekali pembenaran diri dilakukan tidak akan ada lagi kebutuhan untuk mengakui secara jujur kesalahan atau kegagalan diri. Ia ingin cuci tangan dari kesalahan yang dibuatnya.

Untuk keluar dari lingkaran pembenaran diri yang menyesatkan itu, orang mesti bertanya pada diri sendiri:

  • Apakah aku menerima diriku apa adanya?
  • Apakah aku menerima diriku yang cacat, timpang, tidak sempurna dan penuh kekurangan?
  • Apakah aku berani mentertawakan diri dengan kelemahan-kelemahan?

Jika tidak dapat menerima diri apa adanya, orang juga tidak akan jujur dan apa adanya. Hidupnya tidak apa adanya, hidup yang dibuat-buat, hidupnya menjadi kepura-puraan yang panjang. Idul fitri dirayakan tiap tahun, namun habitus mengakui kesalahan secara jujur dan permintaan maaf sudahkah sungguh terbangun?

Selamat merayakan Idul Fitri 1440 H, mohon maaf lahir dan batin.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here