Mak Kucing, Fotografer Profesional di Kota Lama Semarang

0
203 views
Ilustrasi: Komitmen. (Ist)

DUA pekan lalu, saya kembali bertemu dengan tokoh idola. Lokasinya di Kota Lama Semarang. Tepatnya, saya mencari dia karena experties-nya. Kami ingin membuat foto-foto dengan latar belakang klasik.

Tiga bulan lalu, secara kebetulan kami sudah bertemu dia.

Saat itu, ketika duduk santai di bangku panjang, seorang perempuan setengah baya, kumuh, tomboi dan berpakaian seenaknya menyapa kami.

“Mau difoto pak?Saya fotografer jalanan.”

Agak ragu, tapi saya menganggukkan kepala. Langsung dia meminta ponsel saya.

Sedikit khawatir saat ponsel dipegang orang tak dikenal. Terlambat, ponsel sudah digenggamnya, kami “terpaksa” mengikuti langkahnya.

Sedikit beratraksi, perempuan itu mengambil gambar kami. Gedung antik berwarna merah dan becak berbunga menjadi pemanis komposisi. Ternyata, hasilnya memukau.

Waktu terbatas. Hanya lima jepretan hasil karyanya.

Ketika kami berkunjung kembali ke Kota Lama, dengan rombongan yang lebih besar, kami menunggunya di tempat yang sama.

Tak sampai 15 menit, tokoh itu muncul. Dia mengenali wajah saya, pelanggan yang pernah dijepretnya. Saya langsung minta agar menggarap kami.

Dia mengangguk tak acuh.

Saya sambung dengan pertanyaan tentang tarifnya. Jawabannya mengagetkan.

“Terserah bapak aja”.

Beberapa obyek menjadi latar belakang sasarannya. Gereja Blenduk, Spiegel, Marba, Rumah Akar, dan Taman Srigunting.

Tak hanya itu, ia pun mengatur pose dengan tegas, cenderung galak.

“Kaki kanan ke depan, kepala tegak, tangan ke samping, dada membusung, mundur, maju, dan masih banyak perintahnya”.

Herannya, kami manut mengikutinya.

Waktu satu jam hampir habis. Tiga puluh empat snapshot tersimpan di ponsel kami. Pemotretan usai sudah. Hasilnya, semua istimewa.

Uang jasa yang diterima, segera dimasukkan ke saku celana, tanpa dihitung. Tak peduli berapa jumlahnya. Nampaknya, imbalan bukan sesuatu yang penting bagi dia. Karya dan pencapaian yang memuaskan pelanggan, jauh lebih utama.

Ada lagi yang menarik dari tokoh perempuan ini.

Dia mengaku bernama “Mak Kucing”. Nama asli disembunyikannya.

“Nama” itu disematkan karena dia pecinta kucing.

Ada 500-an kucing yang menjadi “anak asuhnya”. Dibelai, diberi makan, juga tempat untuk rebahan. Diajaknya kucing-kucing itu bercengkerama, dan terjalin dialog.

Terdengar bercakap-cakap dengan sekira 5 ekor kucing yang mengikuti kami saat shooting berlangsung. Mereka diminta bersabar karena “mak-mu” sedang cari uang untuk membeli makanan. Persis percakapan antara seorang ibu dengan anak-anaknya.

Dalam dunia manajemen SDM, kehebatan Mak Kucing sebagai fotografer disebut sebagai “engagement”.

Ada tiga syarat seseorang disebut “engage”.

  • Pertama, mempunyai “passion” terhadap apa yang digelutinya.
  • Kedua, loyal terhadap organisasi dan atau profesinya.
  • Ketiga, membuahkan pencapaian, kinerja atau achievement.

Salah satu dari tiga kriteria di atas absen, tak pantas disebut “engagement”.

Engagement” tidak berkenaan langsung dengan kompensasi, tetapi mampu melahirkan “satisfaction”.

Belum usai.

Karena ada “satisfaction”, secara implisit juga mengandung “pencapaian”. Faktor “pendapatan” diharapkan datang sebagai konsekuensi.

Kalau “kepuasan” dan “kecukupan” sudah digenggam, “Nikmat Tuhan mana yang kau dustakan?” (Ar Rahman 13).

Menyaksikan Mak Kucing di trotoar jalanan Kota Lama Semarang, saya berasa “ngangsu kawruh” (menimba kebijaksanaan).

Mak Kucing “engage”. Dia puas (satisfaction) dengan pekerjaannya. Menjadi lengkap karena dia mencintai dan dicintai serta (dan ini yang paling penting) berbagi semaksimal dia mampu, meski “hanya” kepada para kucing “kekasihnya”.

Engagement menjadi kata kunci kesuksesan seseorang dalam mengarungi hidupnya. Tapi, ironisnya, hanya 32 persen dari pekerja yang benar-benar engage, bahkan 18 persen lainnya justru disengage (Survei Gallup 2022, Kompas, Sabtu, 29 Juli 2023, halaman 7). Maka Mak Kucing menjadi teladan bagaimana bekerja dengan penuh makna.

Agar merasakan satisfaction, profesi tidak harus “high level”, mentereng, elit, posisi tinggi, bernuansa digital atau kaya raya.

Mak Kucing manusia sederhana. Dengan pekerjaaan yang sederhana pun, karena tekun, dan terus berusaha untuk profesional, dapat menciptakan kebahagiaan sejati.

Mak Kucing mengutamakan apa yang dia hasilkan bukan apa yang dia dapatkan.

“Engaged employees stay for what they give – disengaged employees stay for what they get.” (Blessing White’s The State of Employee Engagement 2008)

@pmsusbandono
5 September 2023

Baca juga: Pilot Senior tak Pernah Gugur, Hanya Beringsut Mundur

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here