Sidharta Gautama (563 SM- 483 SM) sebelum dan sesudah mendapatkan pencerahan, buddha adalah pribadi yang suka belajar. Dalam film yang berjudul, “The Life of The Buddha”, Pangeran Sidharta memerhatikan dengan sepenuh hati apa yang dilakukan petani yang sedang membajak sawah. Dari pengamatan itulah, ia melakukan meditasi.
Untuk mendapatkan pencerahan, Sidharta Gautama belajar dari para guru. Ie Swe Ching dalam Sidharta Gautama, melukiskan bagaimana pencarian Sidharta untuk mencapai pencerahan begitu ketat dan keras. Sang guru berkata, Di sini orang harus mampu menahan berbagai penderitaan jasmani siang hari berjemur di bawah terik matahari dan malam hari berendam di dalam air yang dingin.
Sidharta sudah melaksanakan apa yang dianjurkan oleh gurunya, namun belum juga menemukan pencerahan. Dalam peziarahannya, dia tidak pernah berhenti belajar. Pandita Widyadharma dalam Riwayat Hidup Buddha Gotama mengisahkan bahwa Sidharta belajar dari ronggeng. Gotama berkata dalam hati, “Sungguh aneh keadaan di dunia ini bahwa seorang Bodhisatta (calon Buddha) mesti menerima pelajaran dari seorang penari ronggeng. Karena bodoh aku telah menarik demikian keras tali kehidupan, sehingga hampir-hampir saja putus. Memang seharusnya aku tidak boleh menarik tali itu terlalu keras atau terlalu kendor”.
Melalui belajar dengan apa yang ia alami, Sidharta Gautama mendapatkan pencerahan, enlightenment, buddha. Di sini sang Buddha bersikap amat rendah hati. Ibaratnya ia belajar dari orang yang kecil. Orang Jawa memiliki peribahasa, “Kebo nusu gudel” yang artinya kerbau yang adalah induk mengisap susu dari anaknya. Sudah layak dan sepantasnya, jika seseorang yang ingin mendapatkan pengetahuan tidak perlu malu jika harus berguru kepada yang muda.
Dalam film yang berjudul, The Story of Ruth dengan sutradari Henry Koster, di sana penceriteraannya lebih luas daripada yang tertulis dalam Kitab Suci (Rut 1: 1 – 4: 22). Rut dilukiskan sebagai pendeta Chemos belajar dari apa yang disembah oleh Mahlon, putra Naomi. Akhir dalam film tersebut sungguh membuat iman kita semakin mantap dengan kata-kata, Aminadab memperanakkan Nahason, Nahason memperanakkan Salmon Salmon memperanakkan Boas (suami Rut), Boas memperanakkan Obed, Obed memperanakkan Isai dan Isai memperanakkan Daud (Rut 4: 20-22).
Rut adalah wanita dari suku bangsa Moab. Lebih aneh lagi, ada orang yang belajar dari musuh-musuhnya. Sudah menjadi kelajiman bahwa kepala suku mencari musuh untuk bertarung dengan orang-orang yang kuat. Musuh-musuh yang kuat dari suku lain itu dianggap sebagai guru. Ia belajar bagaimana berperang dan jika musuhnya itu kalah dan mati, dia akan kembali ke rumah dan memberikan nama bayinya yang baru lahir dengan nama tersebut.
Film berjudul Jengis Khan, yang mengisahkan tentang kelahiran hingga kematiannya memperlihatkan bagaimana ayah Jengis Khan berperang melawan kepala suku pemberani yang bernama Temujin. Sampai di rumah ia membaptis putranya dengan nama Temujin dan nanti akan menjadi Jenghis Khan (1162 – 1227).
Baca Fabel
Yesus pernah bersabda, “Pandanglah burung-burung di langit, yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan oleh Bapamu yang di sorga. Bukankah kamu jauh melebihi burung-burung itu?” (Mat 6: 26) Rasa cemas, kuatir dan gelisah amat akrab dengan kehidupan kita. Yesus mengajak kita untuk belajar dari kesederhanaan satwa yang tidak diperhitungkan oleh manusia.
Burung-burung pipit itu selalu gembira, baik cuaca cerah maupun mendung. Beberapa abad sebelum Yesus lahir, Aesop (620 – 560 seb.M) telah mengajari kita dengan belajar dari kisah-kisah binatang, fabel. Kisah-kisah seperti: Pertemuan sekelompok tikus, Rubah dan anggur, Kera dan lumba-lumba, menyadarkan kita bahwa atas salah satu cara tigkah laku kita itu menyerupai binatang. Ada rasa dengki dan iri, serakah, angkuh, tidak mau kalah namun juga ada ketulusan dan kerendahan hati. Dari sanalah kita belajar.
Tentang sikap belajar, kita harus melihat dari niatnya. Fasilitas yang lengkap dan guru yang mantap jika sang murid tidak ada niat untuk belajar, maka akan sia-sia. Dalam pewayangan lakon Ekalaya, ada ksatria bernama Ekalaya atau Palgunadi yang hendak berguru kepada Dorna. Namun berhubung dirinya bukan putra bangsawan (keturunan bangsa Kuru), maka tidak memiliki hak untuk menjadi muridnya.
Terpaksa dengan niatnya yang tulus-murni ia belajar dari luar pagar istana. Tidak tanggung-tanggung, dia membuat patung Dorna dan ditaruh di padepokan-nya. Guru Dorna seolah-olah memberi pelajaran kepada ksatria itu. Dan memang benar, keahlian memanah ksatria itu sungguh luar biasa bahkan melebihi Arjuna, murid kesayangan Dorna. Sikap hidup yang seperti ini adalah mereka yang belajar bukan untuk sekolah, tetapi untuk hidup.
Seneca (4 seb. M – 65), dramawan Romawi berkata, “Non scholae sed vitae discimus” Apa yang dibuat oleh Ekalaya ini menyadarkan kita bahwa penghayatan studi kita tidak boleh terpancang pada gelar. Gelar akademik akhirnya hanya dilihat sebagai gengsi semata. Maka tidak mengherankan jika orang beramai-ramai menjadi plagiat sebuah skripsi, tesis maupun disertasi.
Akhir dari permenungan ini, saya ingat akan kata-kata Yesus sendiri, “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah dari pada-Ku karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapatkan ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan” (Mat 11: 28-30).