[media-credit name=”psbible” align=”alignleft” width=”300″]
Menurut ay. 18-23 perumpamaan ini dimaksud menjelaskan bahwa sabda Tuhan datang kepada siapa saja. Tetapi belum tentu pada semua orang sabda itu akan tumbuh dan membawa hasil berlimpah.
Benih sabda yang tertabur di pinggir jalan tak sempat tumbuh karena dimakan burung. Ada yang sempat tumbuh tapi tidak berakar seperti yang jatuh ke tanah berbatu-batu atau segera mati terhimpit semak duri. Hanya yang jatuh ke tanah subur bisa bertumbuh dan berbuah berlipat ganda. Apa warta perumpamaan itu? Dan apa maksud penjelasan yang khusus ditujukan kepada para murid?
Dari kehidupan bercocok tanam
Cara bercocok tanam pada zaman itu tidak selalu sama dengan yang dikenal sekarang. Dulu biasanya biji disemai sebelum tanah digarap. Bukan sebaliknya. Jadi tanahnya memang belum dibajak atau dicangkul atau dialiri air. Baru kemudian tanah yang sudah ada bijinya itu akan digemburkan. Praktik ini berkebalikan dengan yang biasa dibayangkan orang sekarang. Apa relevansinya bagi tafsir?
Biji yang disebut jatuh di pinggir jalanan itu bukan karena penaburnya menyemai secara acak atau tanpa rencana. Rekannya atau dia sendiri nanti akan menggemburkan tanah di pinggir jalanan yang baru saja ditaburinya tadi. Tetapi apa lacur, seperti diceritakan dalam perumpamaan itu, sebelum tanah sempat digarap, benih yang ditabur di situ keburu dimakan burung.
Yang jatuh ke tanah yang berbatu-batu? Yang dimaksud ialah tanah yang keras, berkapur dan gersang, seperti yang ada di wilayah Gunung Kidul. Penabur tidaklah kebetulan menabur di tanah berbatu-batu. Di situ sengaja ditaburkan benih. Lahan itu nanti akan dibajak, dicangkul, digemburkan sebisanya. Pendengar pada zaman dulu tentu tersenyum mendengar cerita ini.
Mereka tahu bahwa tanah berbatu-batu seperti itu akan tetap kurang baik bagi pertumbuhan biji tak peduli usaha perbaikan macam apapun. Juga bila diairi, dengan cepat akan kering karena airnya terserap ke kedalaman dan kecambah tidak akan mendapat air tanah. Mengapa si penabur tetap menyemai di situ? Karena termasuk ladangnya? Karena ia masih berharap ada yang luar biasa? Pendengar akan dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan ini dan akan belajar satu dua hal mengenai tekad sang penabur.
Begitu pula dengan biji yang jatuh di antara semak duri. Semak seperti itu bisa tumbuh di tanah kersang dan berbatu-batu sekalipun. Meski tanah yang akan digarap itu dibersihkan dari onak duri, sebentar lagi tentu akan tumbuh kembali. Dan benih yang disemai di tanah yang beronak itu tidak bakal tumbuh baik. Akan terhimpit. Kok dibiarkan saja? Kenapa penabur tetap menabur di situ? Sekali lagi pendengar diajak ikut memikirkan dan membaca kehidupan yang sering seperti hidup di tengah onak duri. Apa yang bisa terjadi?
Lalu apa itu tanah yang baik? Dari semula tentu tanah ini sudah baik. Benih yang ditabur di situ nanti akan tumbuh baik, tentunya setelah tanah digemburkan. Bagaimanapun juga perlu penggarapan agar benih bertumbuh baik dan berbuah melimpah. Tetapi apa bedanya dengan tanah di pinggir jalan? Biji yang jatuh ke tanah baik sebetulnya juga menghadapi risiko dimakan burung.
Tetapi tidak begitu kejadiannya. Mengapa? Mungkin karena biji ditaburkan pada waktu tak ada burung mengincar. Boleh jadi juga tanahnya segera digarap sehingga benihnya tertutup tanah dan mulai tumbuh dan burung-burung tak sempat memakannya. Siapakah yang menggarap tanah ini? Begitulah perumpamaan ini mengajak berpikir.