Makna dalam Perumpamaan Seorang Penabur (2)

2
3,844 views

[media-credit name=”maninthemaze” align=”alignleft” width=”300″][/media-credit]POKOK yang hendak disampaikan Yesus tentang kisah seorang penabur kiranya bukan terutama menyangkut perihal menabur, bukan pula terpusat pada sang penabur, baik dengan huruf p kecil maupun dengan huruf P besar, melainkan perihal tanah yang bakal digarap dan sudah ditaburi itu.

Perumpamaan ini diceritakan untuk menggugah kebijaksanaan batin. Bila melihat benih yang jatuh di tanah yang begini atau yang begitu, bagaimana reaksi kita?

Pendengar diajak melihat bahwa pada dasarnya ada dua macam tanah. Ada tanah yang dapat memberi hasil dan ada tanah yang akan tetap mandul. Penyebab tanah mandul macam-macam: kehilangan benih, memang kersang, atau ditumbuhi semak berduri. Dalam konteks Injil Matius, tanah yang mandul ini ialah orang-orang yang tidak bersedia menerima Yesus dan pewartaannya. Mereka itu disebut kaum Farisi.

Bersama kaum Saduki, mereka sebenarnya pernah diimbau Yohanes Pembaptis agar menghasilkan buah sesuai dengan perubahan sikap (“pertobatan”) yang mereka niatkan ketika minta dibaptis olehnya (Mat 3:8).

Yang diwartakan Yohanes Pembaptis kan kedatangan Yesus. Namun mereka menolak Yesus. Mereka itu tanah yang sudah disemai benih tetapi tidak bisa menikmati pertumbuhannya karena sudah kehilangan benih itu sendiri.

Mereka itu juga tanah kersang, bahkan tanah yang hanya bisa ditumbuhi onak. Lalu siapa tanah yang subur? Dalam Mat 12:50 Yesus berkata, “Siapa saja yang melakukan kehendak Bapaku di surga, dialah saudaraku laki-laki, saudaraku perempuan dan ibuku.” Mereka yang menjalankan kehendak Bapanya menjadi tanah yang memberi hasil.

Arti “menjalankan kehendak” itu ialah menuruti, mendengarkan. Jelas mendengarkan Bapa berarti menerima yang disampaikan olehNya kepada manusia, yakni Yesus sendiri. Orang Farisi menolaknya, karena itu mereka jadi tanah mandul. Para murid menerimanya dan mereka menjadi tanah subur bagi benih sabda.

Penerapan perumpamaan

Perumpamaan itu berakhir dengan seruan “Siapa yang bertelinga, hendaklah ia mendengar!” (ay. 9). Dalam alam pikiran orang Semit, telinga itu jalan untuk memperoleh pengertian dan kebijaksanaan. Karena itu, mendengar pertama-tama berarti mengerti dan bertindak sesuai dengan kesadaran ini.

Ayat itu mengajak orang menyadari bahwa memang ada tanah yang subur dan ada tanah yang tak menghasilkan apapun.

Lahan buruk tidak bisa diperbaiki? Tentu saja kesimpulan ini mengusik batin. Usaha perbaikan sia-sia? Lalu apa yang bisa diperbuat? Kalau begitu, tentunya tindakan yang paling cocok bila melihat ada benih jatuh ke tanah yang tak bakal menguntungkan ya memindah benih itu ke tanah yang subur supaya bisa tumbuh dan berbuah. Kita juga diimbau agar mengenali tanah yang baik supaya bisa menolong dengan sungguh. Itulah warta perumpamaan tadi.

2 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here