PENDIDIKAN karakter dalam praksis membutuhkan proses pembentukan diri yang tentu saja melibatkan disiplin, refleksi, dan pencarian makna hidup.
Dalam literasi klasik, ada penekanan pada keheningan (stillness) sebagai elemen kunci dalam menjaga integritas pribadi. Pesan ini memiliki relevansi mendalam dalam pendidikan karakter, terutama dalam era modern yang penuh dengan distraksi dan tekanan sosial.
If you cannot attain stillness where you now live, consider living in exile, and try and make up your mind to go. Be like an astute business man: make stillness your criterion for testing the value of everything, and choose always what contributes to it. (Philokalia [VI]:34)
Ketenangan batin
Kutipan di atas menekankan pentingnya stillness atau ketenangan batin dalam kehidupan seseorang. Jika seseorang tidak dapat menemukan ketenangan di tempat tinggalnya saat ini, maka disarankan agar mempertimbangkan “hidup dalam pengasingan” (exile), yang bisa dimaknai secara harfiah (berpindah tempat) atau secara filosofis (menjauh dari gangguan duniawi).
Analogi dengan pengambil keputusan yang bijak menunjukkan bahwa keputusan dalam hidup sebaiknya didasarkan pada apakah sesuatu memberikan ketenangan batin atau tidak. Seperti seorang pimpinan yang menggunakan standar tertentu dalam menilai investasi atau keputusan penting, menjadikan ketenangan sebagai standar utama dalam memilih jalan hidup.
Hal demikian didukung oleh Filsafat Stoisisme, yang menekankan pencapaian ketenangan dan keteguhan batin sebagai tujuan utama dalam hidup, dengan cara menghindari distraksi yang tidak perlu dan memilih hal-hal mendukung kedamaian diri.
Salah satu tantangan besar dalam membangun karakter, yakni kemampuan menjaga kejernihan pikiran dan membebaskan diri dari pengaruh eksternal yang dapat mengaburkan nilai-nilai fundamental seseorang. Oleh karena itu, pembiasaan formatif bagi peserta didik dalam memilah dan memilih lingkungan kondusif bagi pertumbuhan spiritual dan moral perlu dilakukan.
Dalam realitas, orang yang secara kontinu bergaul dengan individu yang terlalu terikat pada urusan duniawi akan cenderung terseret dalam pola pikir yang sama. Hal demikian mengingatkan betapa pentingnya lingkungan belajar kondusif bagi perkembangan karakter yang kuat dan berprinsip.

Mampu kendalikan diri
Pendidikan karakter menuntut adanya pengendalian diri terhadap keinginan berlebihan. Ada bahaya ketergantungan pada kemudahan hidup yang dapat mengikis ketahanan batin seseorang. Oleh karenanya perlunya membangun kemandirian pada peserta didik, mengajarkan mereka agar tidak hanya mencari kenyamanan, tetapi juga memahami nilai dari perjuangan dan disiplin dalam menjalani hidup.
Henri Nouwen (1981) menekankan agar keheningan dapat menjadi ruang di mana seseorang dapat benar-benar bertemu dengan dirinya sendiri dan dengan Tuhan. Dalam bukunya The Way of the Heart, Nouwen menggambarkan keheningan sebagai jalan menuju transformasi batiniah yang memungkinkan seseorang menemukan makna terdalam dalam hidupnya.
Pengabaian terhadap aspek reflektif ini menyebabkan murid dan guru terjebak dalam rutinitas tanpa kesadaran penuh akan tujuan sejati dari pembelajaran. Oleh karena itu, keheningan seharusnya bukan sekadar pelarian, tetapi sebuah latihan aktif dalam mendengar suara hati dan membangun keutuhan diri.
Joseph Tetlow, S.J. (2008), dalam refleksinya tentang Ignatian Spirituality, mengajarkan bahwa keheningan dapat menjadi alat utama dalam discernment atau proses membedakan kehendak Tuhan dalam hidup. Dia menekankan bahwa dalam dunia yang semakin bising, keheningan bukanlah bentuk eskapisme/kecenderungan menghindar dari realitas, melainkan upaya memperoleh kejernihan dalam pengambilan keputusan.
Orang bijak seharusnya menjadikan ketenangan batin sebagai standar dalam menentukan apa yang benar-benar bernilai. Perspektif ini menegaskan bahwa keheningan bukan sekadar keadaan pasif, melainkan suatu kebijaksanaan yang diperoleh melalui latihan spiritual yang konsisten.

Internalisasi nilai-nilai
Thomas Merton (2003) menyoroti bahwa keheningan berfungsi sebagai jembatan menuju kedalaman jiwa dan kesadaran sosial. Orang yang memahami nilai keheningan tidak akan terasing dari dunia, tetapi justru lebih mampu berempati dan bertindak dengan penuh makna.
Dalam konteks pendidikan, pembelajaran tidak hanya bertumpu pada akumulasi informasi, tetapi juga pada proses internalisasi nilai-nilai yang memungkinkan seseorang bertindak dengan integritas dan kebijaksanaan.
Oleh karena itu, pendidikan yang hanya berorientasi pada prestasi akademik tanpa menumbuhkan ruang reflektif dapat melahirkan individu yang cerdas secara intelektual tetapi rapuh secara emosional dan spiritual.
Butuh keheningan untuk menata diri
Kardinal Carlo Martini (2012) menegaskan bahwa keheningan dapat menjadi prasyarat bagi dialog mendalam dengan diri sendiri dan dengan Tuhan. Dalam konteks kepemimpinan, dia melihat keheningan bukan sebagai bentuk pasivitas, melainkan sebagai sarana menemukan arah dan visi secara lebih jernih.
Dalam pendidikan, guru dan murid perlu diberikan kesempatan merenung, memahami nilai-nilai yang dianut, dan mengembangkan ketahanan batin dalam menghadapi kompleksitas dunia modern.
Dengan menjadikan, keheningan sebagai bagian integral dalam proses pembelajaran, pendidikan tidak hanya akan mencetak individu yang kompeten, tetapi juga yang memiliki kedalaman spiritual dan kematangan moral.
Akhirnya, ajakan untuk “hidup dalam pengasingan” tidak harus dimaknai secara harfiah. Tetapi dapat diartikan sebagai ajakan untuk tetap setia pada prinsip-prinsip diri meskipun berada dalam tekanan sosial.
Pendidikan karakter yang ideal menanamkan keberanian moral agar individu tidak mudah tergoda oleh tren sesaat atau tekanan kelompok yang bertentangan dengan nilai-nilai yang diyakininya.
Dengan demikian, pendidikan karakter yang efektif bukan sekedar soal menanamkan nilai. Tetapi juga menghasilkan ruang bagi individu dalam menemukan ketenangan batin, membangun ketahanan diri, dan memiliki keberanian moral agar tetap teguh pada prinsip hidup.
Dalam dunia yang semakin bising dan penuh distraksi, keheningan dan refleksi bukanlah bentuk eskapisme. Tetapi justru fondasi dari karakter yang kokoh dan bermakna.