Makna Natal: Sukacita Rohani Hingga Refleksi Hidup Keseharian

4
371 views
Ilustrasi: Lukisan tentang peristiwa perayaan natal pertama di Greccio di mana Fransikus Assisi menghadirkan peristiwa kelahiran Yesus lengkap dengan semua kondisi waktu terjadi di Betlekem. (Fictorium N. Ginting OFMConv)

RANGKAIAN perayaan Hari Natal baru saja usai. Semuanya memberi kesan mendalam bagi banyak orang; termasuk saya. Meskipun perayaan ini telah berlalu setelah Hari Raya Epifani atau Penampakan Tuhan dirayakan, semangat kebersamaan dan sukacita terus dijaga agar tetap hadir dalam keseharian.

Natal bagi umat Kristiani memiliki makna sangat dalam, karena merupakan peringatan akan kelahiran Kanak-kanak Yesus di tengah-tengah dunia secara fisik. Hari tersebut dianggap sebagai momen bersejarah yang membawa berkah; mengingatkan umat akan kelahiran baru sebagai bentuk pemulihan manusia dari segala dosa dan kesalahan.

Mengenakan baju putih sebagai simbol kesucian, umat Kristiani diingatkan untuk menjunjung tinggi nilai kesucian dalam kehidupan sehari-hari. Memori Natal kerap menghadirkan nostalgia yang manis dalam kenangan saya. Khususnya pada waktu kecil, ketika masih duduk di kelas IV di SD Strada Kampung Sawah.

Ilustrasi – Tertidur (Ping)

Tidak hadiri ekaristi, tapi malah tiduran di luar gereja

Suasana malam Natal begitu meriah dan penuh kehangatan. Namun, saya justru lebih tertarik untuk bermain dengan teman-teman di halaman gereja. Bersama-sama, kami tidur-tiduran di kap mobil umat yang diparkir, menciptakan kenangan yang tak terlupakan.

Setelah perayaan Ekaristi Natal selesai, rasa gembira menyelimuti kami dan kami pulang dengan hati penuh kebahagiaan. Meski mungkin agak aneh, kegembiraan ini tidak terkait dengan partisipasi saya dalam misa. Namun lebih kepada momen kebersamaan dan keceriaan bersama teman-teman.

Akan tetapi, di hari setelah liburan Natal-Tahun Baru, ketika teman-teman sekelas menceritakan pengalaman perayaan Natal mereka dalam sebuah ibadah, saya merasa sedikit menyesal. Saya diam saja, tidak bisa berbagi pengalaman yang sama. Itu karena pilihan saya untuk tidur-tiduran di atas mobil orang, ketika Perayaan Ekaristi justru masih berlangsung.

Ada rasa penyesalan yang menghantuiku. Bertanya-tanya mengapa saya tidak ikut serta dalam perayaan Ekaristi Natal bersama teman-teman. Pengalaman tersebut memberi pelajaran berharga tentang pentingnya memilih dengan bijak dan tidak melewatkan momen-momen sakral dalam perayaan keagamaan.

Ilustrasi: Pohon Natal 2023. (Mathias Hariyadi)

Bukan untuk senang-senang

Pada suatu waktu, saya bertekad untuk merayakan Natal tahun berikutnya dengan lebih hikmat, didorong oleh penyesalan yang muncul karena pengalaman bersantai-santai pada tahun sebelumnya. Merasa asing, ketika harus berbagi cerita atau pengalaman dengan teman-teman membuat saya menyadari bahwa makna Natal sejatinya lebih dari sekadar momen bersenang-senang.

Tahun berikutnya, sebagai seorang anak desa di Kampung Sawah, saya merayakan Malam Natal dalam suasana hujan gerimis setelah hujan lebat dan udaranya pun terasa agak dingin. Sebelum berangkat ke gereja, saya menyantap makanan khas desa: daging kerbau dengan sayur daun singkong. Kemudian mandi dan berpakaian rapih, serta menenteng sandal mengingat jalan setapak yang berlumpur.

Sesampai di gereja, langkah pertama adalah mencari tempat cuci kaki, lalu dengan penuh antusiasme, saya memilih duduk di bagian depan agar bisa melihat romo dan para pelayan gereja secara lebih dekat.

Ilustrasi: Bersukacitalah. (Ist)

Momen tersebut menjadi Perayaan Natal pertama saya yang sungguh khusuk dan penuh makna. Keterlibatan saya dalam ritual gereja -seperti mengikuti rangkaian liturgi ekaristi dan mendengarkan khotbah romo- membawa kebahagiaan begitu mendalam.

Rasa sukacita yang saya rasakan pada malam itu membekas hingga sekarang, mengajari saya berikut ini. Yakni, merayakan Natal dengan hikmat dan penuh kekhusukan memberi makna lebih bagi diri sendiri dan hubungan dengan sesama.

Pengalaman itu mengubah pandangan saya tentang Perayaan Natal; membuat saya lebih memahami esensi kebersamaan dan spiritualitas dalam merayakan momen yang sakral.

Ikut main drama Natal

Setelah liburan Natal berlalu, saya pun memiliki banyak cerita untuk dibagikan kepada teman-teman. Terutama tentang bagaimana saya merasakan sukacita Natal secara rohani. Namun, tidak hanya dalam aspek rohaniah, saya juga terlibat dalam kegiatan jasmani yang menyenangkan. Saya berpartisipasi dalam latihan drama Natal yang akan dipentaskan di atas panggung.

Mendapat peran sebagai salah satu penunggu pintu penginapan yang menolak kedatangan Bunda Maria dan Bapak Yosef untuk bermalam, saya dengan antusias melibatkan diri dalam dunia peran tersebut. Meskipun peran itu hanyalah fiksi dalam sebuah drama, saya menikmatinya sepenuhnya, tanpa menyadari bahwa kegembiraan peran itu akan menimbulkan candaan dari teman-teman keesokan harinya.

Ilustrasi: Pergeralan drama musikal bertitel “Kasih Ayah” tengah dibesut oleh Rumah Khalwat – Balai Budaya Rejosari Kudus dan naik naik tayang pertengahan Juli 2021. (Balai Budaya Rejosari Kudus)

Mengubah persepsi

Keesokan harinya, saya dihadapkan pada komentar dari seorang teman yang mengatakan, “Wah, ini dia orangnya yang menolak Bunda Maria dan Bapak Yosef menginap.”

Dengan spontan, saya merespon, “Kan itu hanya drama. Kalau beneran ya pasti diterima dong.”

Namun, tanpa disadari, percakapan tersebut menjadi sebuah refleksi mendalam. Slogan sederhana “kalau beneran diterima dong” menggugah pemikiran saya tentang makna Natal sejati.

Natal bukan hanya tentang menyelami drama atau perayaan secara semu. Tetapi lebih dalam lagi, Natal mengajari umat Kristiani benar-benar menerima kedatangan Maria dan Yosef, orangtua Yesus, yang melahirkan Kanak Yesus. Menerima bukan hanya sebagai peran dramatis. Melainkan sebuah komitmen ikut ambil bagian dalam perjuangan keluarga kudus Nasaret.

Meskipun tantangan itu tidak mudah, umat Kristiani diingatkan bahwa sebelum dapat menerima perjuangan Keluarga Kudus Nasaret, Tuhan telah memberi begitu banyak anugerah kepada orang percaya sebagai bentuk persiapan memahami dan menerima makna sejati Natal.

Ilusrasi: Perayaan Natal di Greccio, Italia yang dihadiri oleh St.. Fransiskus Assisi. (Romo Fictorium Natanael Ginting OFMConv)

Memaknai Perayaan Natal

Sebagai catatan akhir, slogan sederhana “kalau beneran diterima dong” menjadi katalisator yang mengubah pandangan saya terhadap perayaan Natal.

Natal tidak hanya tentang simbolisme atau ritual, tetapi lebih pada kesediaan untuk benar-benar menerima kedatangan Maria dan Yosef dalam kehidupan sehari-hari. Menerima bukan hanya sebagai peran dramatis di atas panggung, melainkan sebagai komitmen untuk ikut ambil bagian dalam perjuangan Keluarga Kudus Nasaret.

Natal bagi orang percaya merupakan panggilan untuk hidup dalam kebersamaan, mengamini perjuangan Keluarga Kudus Nasaret, dan menyadari bahwa setiap peran dalam kehidupan ini memiliki makna yang mendalam. Meskipun tantangan dan kesulitan mungkin hadir, kesediaan untuk menerima, merayakan, dan mengubah hidup menjadi dasar utama dalam merayakan Natal yang sesungguhnya.

Oleh Odemus Bei Witono, SJ

Direktur Perkumpulan Strada, dan Pemerhati atas Isu-isu Pendidikan

4 COMMENTS

  1. maknanya dalam sekali… dimana masa anak anak penuh dengan suka cita dan sekarang menjadi nyata yang terucap kan.
    sehat selalu Romo

  2. Malam Rm Bei
    Sangat menginspirasi dan maknanya dalam sekali. Membuat saya untuk inspropeksi dan di ingatkan untuk selalu bersyukur…

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here