YESUS dan tiga murid-Nya, yakni Petrus, Yakobus, dan Yohanes pergi mendaki gunung yang tinggi (Matius 17:1).
Gunung apa? Sulit diidentifikasi. Itu gunung simbolis.
Peristiwa itu mengajak kita merenungkan hal-hal berikut.
Pertama, untuk mencapai puncak gunung (kemuliaan) orang perlu mendaki. Berjalan mendaki gunung itu tantangan dan seni. Orang mesti mengerti cara dan tipsnya.
Kedua, para pendaki hanya membawa hal-hal yang amat diperlukan. Demikian pula para pendaki rohani dituntut melepaskan diri dari urusan dan hal dunia yang tidak perlu.
Mengambil jarak dari kesibukan sehari-hari; masuk ke dalam keheningan. Berada dalam hidup sehari-hari, tetapi memusatkan perhatian pada kemuliaan surgawi.
Di dalam Yesuslah orang menemukan kemuliaan sejati itu (Matius 17:2). Petrus memberikan kesaksian tentang kemuliaan itu (2 Petrus 1:16-19).
Untuk dapat menyaksikan dan mengalaminya orang perlu masuk ke tempat yang sunyi, mengkontemplasikannya. Orang juga dituntut siap menderita; menjadi seorang hamba yang melayani dan memberikan kasih seperti Yesus.
Ketiga, dalam kemuliaan-Nya itu identitas Yesus dinyatakan. Dia bukan hanya hamba, melainkan Tuhan.
Itulah Yesus yang sebenarnya. Melalui peran-Nya sebagai hamba yang memberikan kasih-Nya lewat pelayanan dan penderitaan, Yesus mencapai kemuliaan.
Tujuan dan tempat terakhir Yesus bukanlah makam, tetapi kemuliaan abadi.
Demikian pula mereka yang mengikuti Yesus dan rela menderita bersama-Nya akan mengambil bagian dalam kemuliaan itu. Penderitaan, kematian, dan kebangkitan mesti lebih dulu dilewati (Matius 17:9).
Pengalaman itu amat membahagiakan. Ketiga murid Yesus telah mengalaminya. Maka, Petrus berkata, “Tuhan, betapa bahagianya kami tinggal di tempat ini.” (Matius 17:4).
Panggilan setiap manusia ialah kemuliaan dan kebahagiaan itu. Bukan kemegahan dan kemuliaan duniawi.
Siapakah yang siap mendaki bersama Tuhan Yesus untuk sampai di sana?
Minggu, 6 Agustus 2023
Pesta Yesus Dimuliakan di atas Gunung