Home BERITA Malam Cinta yang Nyata

Malam Cinta yang Nyata

0
22 views
Ilustrasi: Membasuh kaki sebagai tindakan simbolis rendah hati dan membersihkan diri dari kedosaan. (Romo Nico Setiawan OMI)

Kamis, 17 April 2025

Kel 12:1-8.11-14
Mzm. 116:12-13.15-16bc.17-18
Yoh. 13:1-15

MEMBASUH kaki bukan sekadar tindakan simbolis.

Membasuh kaki adalah tindakan yang mengguncang ego, yang meruntuhkan tembok harga diri, dan mengangkat nilai kerendahan hati ke tempat yang mulia.

Saat Yesus membasuh kaki para murid-Nya, Ia tidak sedang mempertontonkan kebajikan. Ia sedang mengajarkan bahwa kasih sejati dimulai dari merendahkan diri, dari membuka hati, dan dari tangan yang bersedia menyentuh debu kehidupan orang lain.

Membasuh kaki berarti merendahkan hati, mengakui bahwa kita pun bukan siapa-siapa tanpa kasih. Kita semua butuh diampuni, dipahami, dan dipeluk dalam kelemahan kita.

Maka ketika kita membasuh kaki sesama, kita belajar untuk berdamai, bukan hanya dengan orang lain, tapi juga dengan diri sendiri.

Membasuh kaki berarti membuka tangan untuk memaafkan. Dan memang, itu tidak mudah. Kadang lebih mudah menyimpan luka daripada mengulurkan tangan.

Tuhan Yesus Kristus sudah menunjukkan bahwa kasih bukan tentang kemudahan, melainkan tentang keberanian untuk memberi diri, bahkan saat itu menyakitkan.

Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian, “Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu.”

Yesus tidak hanya mengajar dengan kata-kata. Ia mengajar dengan hidup-Nya. Dengan tangan yang membasuh kaki murid-murid-Nya, Ia menunjukkan bahwa kasih sejati adalah kasih yang rela merendah.

Ketika Sang Guru berlutut di hadapan murid-murid-Nya, dunia dibalikkan, yang besar menjadi pelayan, yang mulia menjadi hamba.

Malam ini adalah malam cinta yang nyata. Bukan cinta dalam bentuk puisi manis atau kartu ucapan yang dilapisi bunga-bunga. Tapi cinta yang berdarah di taman Getsemani.

Cinta yang berlutut di ruang atas. Cinta yang tidak hanya berkata, “Aku mengasihimu,” tapi juga, “Aku akan melayanimu, bahkan hingga akhir.”

Marilah kita belajar mencintai seperti Kristus: dengan tangan yang siap membasuh, dengan hati yang siap mengampuni, dan dengan hidup yang siap memberi.

Karena di sanalah kita menemukan makna sejati dari kasih: bukan untuk menerima, tapi untuk memberi, bahkan ketika itu menuntut seluruh diri.

Bagaimana dengan diriku?

Apakah aku sudah menyatakan kasih dengan perbuatan nyata?

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here